Sabtu, 02 Juni 2012

pelacur dari bibir neraka


memang kita belum mampu merapikan pagar bunga
pada halaman rumah berdinding rajutan ilalang,
berlantai tanah yang menggeliatkan nafas yang berlalulalang
memburu tirai jaman, yang tertusuk jarum waktu
hingga kita terlentang, dalam atmosfer kemunafikan

satu dua bilik bambu kita lewati
dari jaman negeri ini meradang dalam nanar merah darah
hingga senyum semu dari “perlente”, yang berkerah baju sutera
tiada pernah punya rasa malu, terpinang angin tenggara
yang ganas dan bergigi pongah

kita lebih memilih seloroh pelacur berliuk tubuh anyir
yang bangkit dari bibir neraka, yang membenamkan
kepedulian di tengah lumpur hitam
bersendi tulang rapuh dihempas prahara Papua dan Negeri Serambi
telah kering sudah peraduan pengantin baru
di balik kelambu biru malam, bersimphoni belalang padang.
kita enggan mentautkan angin segar dari beranda
Jaya Wijaya hingga Bukit Barisan.

mengapa tiada lagi stambul dari para pujangga
dengan untaian kata santun dan senyum tipis
semesra ibu ibu dari negeri yang menyodorkan sarapan pagi
dengan secagkir kopi hangat dan ubi rebus
menyambut pagi dengan “Gamelan Jawa” dan “Serampang Dua Belas

kita hanya pandai menjinjing amarah di tepi jantung
tak ada lagi, anak desa berlarian mengejar kupu kupu
di tengah padang menghijau, menautkan empat cakrawala
kita hanya mampu menghempaskan debu konflik
menyesakan dada dan nafas yang saling memburu

kita kaya dengan kepalan tangan
dan makian pada semua yang berjejer di remang panggung opera
kita tiada lagi di tengah “Tarian Santun” di benang katulistiwa
hingga senja di pantai menuggu biduk kertas untuk berlabuh
mari kita buka jendela langit
agar benang putih mampu menjemput doa kita

(Tegal, 27 Februari 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar