Minggu, 30 September 2012

Sayap Sayap Kokoh



Kedua kakinya sudah terasa berat untuk melangkah, urat nadinya tampak membesar dan menggurati kulit kakinya. Langkah yang berat  itu terus menapaki jalan jalan kecil, terpaan angin sore  mulai menghalangi langkah yang mulai gontai. Matanya yang tersembunyi di lengkung pipi sesekali menatap tajam dan lurus ke depan, sesekali juga menatap dalam dalam jalan jalan kecil desa yang masih berwarna merah tanah liat. Namun dia sama sekali tiada sedetikpun berani menatap cakrawala.yang bersemburat awan jingga, meski berkas berkas sinar matahari masih kelihatan menyela daun daun pisang sepanjang jalan itu. Lantaran di cakrawala itulah kini kedua anaknya merangkai kehidupam mereka.

Berias bunga warna warni, bercanda ria dengan bidadari penghuni cakrawala senja. Layaknya hidup di Kahyangan Suralaya Dari kedua kulit mereka memancarkan aroma keharuman surgawi. Mereka sama sekali tiada mengenal waktu, angan dan membanting tulang demi sepiring nasi jagung, sekerat singkong. Mereka tidur di kasur angin, dengan bantal bersusun tujuh.Mereka hidup di suatu kehidupan yang sama sekali tiada kebohongan, kemunafikan dan kebiadaban

Meski cuma sesekali, kedua anaknya tiada pernah mau menengoknya, apalagi untuk menemaninya menebar semai kehidupan di sawah mereka yang tidak seberapa luasnya. Sekeranjang sembilu kini mengiris hatinya yang terus saja melemah melawan kendaraan waktu yang tak mau meletih. Gubug bambunya kini sudah mulai kelihatan, tak berdaya melawan ilalang yang tingginya hampir separo tubuhnya. Dia hanya mampu menyelipkan hidupnya di sebuah gubug tua di tengah padang, yang berada di sudut kota bersama istrinya yang renta.

Wajah gubug itu langsung menyeringai dan memberikan senyum yang hambar, senyum yang dia sendiri tak mampu mengartikan. Hanya saat saat  bahagia saja yang ada di benaknya kini. Meski kenangan itu telah lewat  entah berapa puluh tahun. Saat Dirman anak sulungnya membantu menyisir tanah subur di sawahnya untuk semi padi dan palawija sebelum matahari berani menampakan wajah di kampung  yang telah didera revolusi, sementara Nurlela putri bungsunya sibuk menghidangkan teh alam panas bercampur gula aren. Istrinya Aryati telah  terlebih dahulu menyongsong kehidupan dengan pergi ke kebun untuk memetik sayur sekedar untuk sarapan keluarga petani ini. Itulah sketsa hidup Soenaryo dan keluarganya di tengah badai revolusi, yang ditiupkan komintern-komintern yang ganas.

Namun setumpuk kisah perjalanan anak manusia yang dia miliki, yang memenuhi rongga dadanya kini telah menjadi debu, termasuk kedua anaknya yang ikut terbakar bersama rumahnya, yang kala itu terbuat dari papan jati yang megah menjulang tinggi, setinggi cita-citanya kala dia masih muda. Rumah dan kedua anaknya ikut menjadi debu-debu revolusi kala komintern membakar sebilah kehidupanya secara biadab.

Sementara itu istrinya yang tercinta, sudah tak bertulang lagi lantaran terpagut dalam kegetiran. Iapun langsung pinsan dipelukan laki-laki tegar pemimpin pemuda yang kontra komintern dan berusaha menepis kehadiran komunis di tanah kelahiranya Ampel, Boyolali . Tetapi Tuhan yang Kuasa masih berkenan memberikan KaruniaNYA, istrinya mampu membuka tabir semu perlahan,mulai dan mampu mengerti makna realita hidup. Meski mereka hanya segelintir hamba Tuhan yang terselip di bingkai kehidupan yang telah pengap.

“Aku sudah buat teh hangat kesukaanmu, Pak!, minumlah sebelum dingin” . Suaminya hanya diam membisu, tapi teh hangat kesukaanya kini telah membasahi tenggorokanya, rona wajahnya kini agak segar, secuil keceriaan mulai muncul. Direbahkan tubuhnya yang tinggi itu pada korsi renta, yang sudah kusam tapi masih setia menemani Soenaryo sejak

“Alhamdulillah, hari ini lahan kita siap untuk ditanami, Bu !. Besok aku coba untuk menebar bibit tembakau”
“Aki ikut, ya Pak “
“Sudahlah, kan pinggangmu belum sembuh, istirahatlah dulu sampai kamu sehat, Kalau kamu sakit, siapa yang masak, siapa yang merawat gubug ini ?”
“Rasanya tambah hari bukanya tambah sembuh. Tapi tambah terasa sakit, Pak “
“Makanya istirahat, biar tak kambuh lagi. Harusnya memang batu ginjalmu dioperasi saja Bu ?”
“Biaya darimana, Pak ?”
“Aku melihatmu semakin hari,semakin pucat. Kita jual saja sawah kita to Bu, untuk biaya operasimu ?”
“Kita mau makan apa ?. Hanya itu harta kita. Berapa banyak yang sudah kita jual to Pak. Sekarang biarlah yang tersisa,   menjadi sawah kehidupan kita”
“Aku masih mampu mengayuh becak, Bu ?”
“Masya Allah, Pak !, tua bangka seperti kita mampunya hanya menunggu berkalang tanah. Kalau  tiap hari kamu masuk angin terus bagaimana mau jadi tukang becak ?”.

Tiada sepatah katapun yang mampu dilontarkan Soenaryo dari mulut yang terkunci, terkatup bibir bibir yang menghitam dan keriput. Teh manisnya kini mulai mendingin, namun direguknya hingga habis. Gubugnya kini dikungkung oleh temaram senja yang meremang. Namun sebersit anganya kini mulai bergayut di hatinya. Betapa berbedanya dia kini dengan kehidupan kala dia masih muda, kala pemuda di desanya menunjuknya dia menjadi ketua front pemuda. Pemuda Soenaryo yang  kondang sebagai pemberani tiada tandingnya, saat itu telah malang melintang di Boyolali menggalang kekuatan anti komunis.

Maka suatu hari yang tiada pernah dilupakan, di tengah selimut malam yang menggigit, pintu depan rumahnya telah digedor kawanan pemuda PKI yang jumlahnya ratusan, yang dipimpin Sadewo simpatisan Barisan Tani Indonenesia Boyolali.

“Kamu tanda tangani surat ini, atau mati “ pekik Sadewo  dengan sorot mata yang tajam dan tangan yang kekar kini sudah berada di leher Soenaryo. Pekik ketakutan kedua putra Soenaryopun kini memenuhi setiap sudut ruang tamunya yang luas, berdinding kayu jati dan berlantai semen.

“Sadewo, kamu anak kemarin sore, jangan berani berhadapan denganku. Sedikitpun aku tak gentar, bila harus berhadapan denganku. Sampai kapanpun aku tidak akan menjadi anjing komunis di negara ini. Aku manusia beragama, bukan kafir seperti kamu ! “
“Jangan banyak bicara, tanda tangani ini, atau seluruh rumah ini akan hangus”
“Anak ingusan beraninya hanya menggertak, apa ini yang disebut revolusi merah. Apa dengan cara begini Aidit akan memimpin negri ini. Aku tak sudi dipimpin manusia-manusia biadab sepertimu. Ini yang kau bilang Indonesia di Jalan  Baru gagasan Muso itu, ayo jawab, Sadewo !, atau kamu sekarang menjadi anjing…yang hanya  berani menyalak”

“Kurang ajar, kau pantas mati, namun saksikan dahulu rumahmu dimakan api. Memang harus dengan cara begini manusia kontra revolusi pantas mati”

Soenaryo kini tak berdaya, kala beberapa pasang tangan menyeret tubuh dia  dan istrinya menuju halaman rumahnya yang luas. Beratus mulut mulut biadabpun kini ikut mengulilti pasangan suami istri itu dengan cacian “anjing kapitalis, anjing imperialis, anjing nekolim dan cacian lainya yang sudah tidak mampu lagi dia dengar. Kini Soenaryo menyaksikan sendiri rumahnya terbakar habis bersama dengan kedua belahan jiwanya. Teriakan kedua anaknya dari dalam rumah begitu menusukan selaksa kegetiran dalam hatinya, yang tiada pernah mampu dia lupakan.

Kursi kuno kayu jati kini terlihat bergoyang pelahan, lantaran darah dalam nadinya mendidih dan menggetarkan otot tubuhnya yang telah rapuh. Kedua tanganya mengepal dengan dengus nafas yang panjang.

“Sudahlah, Pak. Memang inilah jalan hidup kita”
“Kenapa jalan hidup kita seperti ini. Aku selalu berdoa tiap waktu, agar Dirman dan Nurlela di alam kelanggengan berbahagia. Mereka berdua adalah anak anak korban revolusi, sudah selayaknya mereka mendapat pertolongan dari Tuhan yang Kuasa”
“Itulah kekuatan kita, Pak !. Hari sudah malam dan pinggangku semakin nyeri tertusuk angin malam. Aku sekarang mau tidur, tubuhku sudah mulai lemas. Aku membayangkan anak anak kita di sana selalu tidur berkasur angin, sehingga tubuh mereka tidak merasa penat. Berbeda dengan kita yang renta, tidur di kasur empukpun masih terasa sakit “

Soenaryo segera mengulurkan tanganya untuk membimbing istrinya ke tempat peraduan di dalam bilik bambu yang mulai rapuh di makan usia. Kini mereka hanya pasrah menghadapi hari esok yang kelam.Namun mereka berdua masih menyelipkan perasaan bahagia, karena mereka yang menghancurkan hidup keluarganya telah mendapat balasan yang setimpal.

Jumat, 21 September 2012

Mampir Tegal dulu....



Hantu  Demokrasi....
hantu demokrasi...
berebut kursi...warna warni dasi
menggapai ouncak petinggi...
tak peduli, si kecil berebut nasi...
dari pongah gigi..meluncurkan kata basi
tak ada senyum peduli...
hanya suara hati yang mati...
jangankan sebuah solusi...
kau lebih berarti...bila menjinjing benci..
jangan sedih kawan sehati..
esok masih ada pagi
tempat kita mengatur nafas nanti....20 Sept 12


 Pantai Cinta
Bukankahkan pantai ini yang kau pilih ?....
berhias buih putih
bertelanjang kaki berkejaran di liuk pohon bakau...
kau pilih catatan yang dilukis camar camar...
jangan kau turuti...bara api di hati...
kau adalah untaian melati...dari Beirby...
yang elok dan glamour
secerah warna pematang di sawah...
sesegar pepohonan di kebon kita...

jangan kau tikam pantai, ini dengan
kata hati yang liar...dan akupun terkapar...
lukislah warna elok pagi berpupur mentari semburat
warna kuning emas...kau dan aku senada
mendulang kata cinta dari butir pasir
yang malu dan memerah wajahnya
di pantai kita berlabuh...SEMARANG, 21 Sept 2012


 Hujan
hujan...
kemanakah kau menyelinap...?
sengajakah kau bersembunyi di
lekuk tubuh bidadari...bercanda ria dengan
Dewi Supraba..atau Dewi Dersonolo..
awan yang kau kirim...hanya mampu
memberi kabar, betapa sawah ladang telah retak,
tumbuhan meranggas...

adakah pintamu, yang masih kusembunyikan...?
meski telah aku tebarkan harum melati
agar kau lebih gairah menjenguku..
yang telah mengering kerongkongan ini
yang tersudut dalam deru debu atmosfer

hujan...
jangan kau turut menjadi saksi
pada episode manusia yang
membunuh rasa syukurnya sendiri
aku rindu padamu...21 Sept 2012...SEMAR...


G a l a u
jangan kau curahkan galau..
dalam keranjang cinta...
lantas kau letakan hiidup..di gantungan baju,
atau benak otak atau Sang Dajjal..
bersenyum busuk
atau tertikam sorot mata elang yang tajam
mengoyak jalan jalan yang kau tempuk
bersenyumlah dengan gadismu...
merapikan tanaman bunga di beranda hati
hingga sebuah senyum renyah darinya...
di tengah keranjang wewangi cinta
Sang Sufi
kawanan bintang di kanvas malam...
tak satupun yang menyodorkan catatan harianya...
nanar kuning rembulan, yang mencoba menyingkap
dalam jubah yang menjadi saksi, pergulatan syahdu...
tak berhasil memalngkan wajahnya...
dia hanya menguliti dirinya sendiri...
dalam prosa yang tertoreh di bilah hidupnya....

Sang Sufi terus menerjang sang kehendak
yang memenuhi beranda hatinya...
dia menumpahkan apa yang basah dalam lidahnya...
menjadi untaian dan pernik mutiara
sehingga lolongan anjing terbungkam
dia memiliki malam ini bergumal
dengan hitam putih Syaithon, yang memusari...

Dia menangis...sang tebing menjadi runtuh..
Dia terperangah...putaran bumi menjadi galau...
Dia Tawajuh...Bumipun santun dalam gemulai
hidup manusia...Semarang, 18 SEPT 12

Tegal lan kenanganku.....

samar pedut kota Tegal..
ampak ampak ana perenge esuk....
ijo godong royo royo ora obah
senajan wengi mau angin ketiga tetabuhan
gending dolanan alam Kota Tegal...
mbok ayu wis pada melok pupuran..
menyang pasar, podo golet butuhe agesang...

Kota kiye wis banget akeh kenangan
sing nyokot sendi sendi balungku
apa sajroning ayu pasuryane kotaku
ana pangurapanku sing ngiras pantes
bisa kanggo lelabuhan atiku
kabeh sedulurku lan seisine kota kiye
Sugeng Pepanggihan kotaku ....PUISI TEGALAN



Pinesti....
 
hari ini panas masih mengelupas kulitku...
namun semua tak meluruh...
hari hari masih bersyahwat dengan kulit dagingku....
dalam tidur siangku...
dalam menyusuri aspal aspal pongah...
gerigi roda hidup..masih mengoyaku dalam dalam
tahukah kau hari ?...dalam berandamu
aku tanam kembang setaman...
agar aku dapat lelap, dalam tidur panjang
cakrawala senja aku gambar jelas..
menjadi kanvas indah untuk aku dan istriku
akan aku buru terus hari-hariku...gairahku...
malam panjangku, dalam LindungaMU....



 Duh GUSTI ALLAH...curhatku...
aku punguti hidup, dalam benang merah
yang tergambar dalam cakrawala di istanaMU..
meski setiap sudut bumi, dengan rakus mengoyak sayapku...
namun aku hanya bisa memberi kabar pada
hitam dan putihnya warna burung burung camar
di pantai...berhias karang dan buih putih

aku terpojok dalam relung....
dimana pedang waktu menebas bilik jantung..
saat kepongahan menyumbat nadi darah
kusampaikan pada Puncak Mahameru
namun hanya jendela yang tertutup rapat...

aku menukik berbaring di awan hitam
bergigi tajam, tak mengenaliku
namun aku adalah lengan legam
di bahu yang kekar, dada yang terlapang
berkat KasihMU...dimanakah Kau Tuhanku...?



KITA BERBEDA....

aku dan rembulan...
adalah berbeda jauh berbeda...
kau berambut sutra berkain beludru Eropa
berdandan putri negeri kaca,
di etalase tak sebutirpun debu

aku...
bersarapan ubi dan gula jawa
hanya mampu merapikan butir padi...
berias daun jagung...krtrla rambat..

kau menebar asa dengan kuda kuda gedong loji
aku hanya panda menyeka keringat emak
yang renta di gubug bambu...

aku dan kau jauh berdiri
kuusap peluh...berdebu tanah sawah
kau hiasi manik baju dengan serpihan mutiara
aku dan kau berbeda...SEMARANG 9 September 12


Pepalang Urip...

 Aduh Gusti sing Makaryo Jagad...
kepriben anggonku bisa menyat...
saka pepalang, urip sing landep lan kejem...
sawah kebon inyong wis medegdeg ora ana tetukulan...
palawija entek dipangan walang
demo mung garing telake inyong
Gusti..paringana Pituduh lan sakabehane...
pan apa maning uripku
senadyan atiku gosong digarang dosa
ming inyong ora kuat adoh saka Gusti...

tengahe wengi, mung Gusti ALLAH...
sing amping amping nang pojok jantunge inyong
aja adoh karo aku Gusti ALLAH.....PUISI TEGALAN


Nang endi....?

Alun Alun Tegal,
bersetubuh dengan lampu senja di moncer kotaku
lagi bae kereta biru Kaligung
menjeritkan roda besinya ...semua terhenyak
nanging nang atine inyong, ana saklebeting..
bening pasuryan sulistiyaning warna
ancik ancik warna warni lampu stasiun...
saiki nang endi sampeyan...?
apa wis klalen pinggire Kali Ketiwon
iwak sepat, mujair pada playon sadewane tanggul watu
aku karo sampeyan, pada aruh aruh sore
nang Tegal sing dadi impenanku.....PUISI TEGALAN



Mawar Jingga
Top of Form

Bottom of Form
 mawar jingga...yang kau tanam
entah di sisi langit sebelah mana..
terbawa angin prahara..pekik halilantar
menyambutku..
aku hanya berdikokoh dengan lenganku yang kecil
pekat awanpun hanya mengerlingkan mata
aku di pusari tebing kokoh yang angkuh

jangan kau kemas dusta
dalam lesung pipimu....manja dan ceria
kau sodorkan dalam adonan canda ria
tunggulah angin musim, saat...
semua isi cakrawala menyambutku dengan senyum
saat kuncup mawar merah merona
kau dalam wajah lesu...Semarang, 9 sep 12


Gula Gula Cinta...

aku disisi yang mampu kau pandang
meski jalan menghitam tertikam gerimis semalam,
namun kau gula senyum di pagi ini
sehingga pagi tak bergincu galau
sedulah teh hangat bergula senyumu
semerah mawar...

tepislah lampu sorot jalan
berornamen warna warni hidup
penuh jajanan Hamburger dan roti Belanda
kita adalah penuh dengan nafas tawakal kepadaNYA
peganglah erat tanganku
sehangat mentari sepengalah
di tengahnya terselip liku jalan

aku dan kau satu...9 sept 12 SEMARANG

Rabu, 12 September 2012

Cinderella saka TEGAL




wis kurang apa, Cinderella ?
apa kudu rembulan, sing bunder ayu...
kepenak ngringkel  nang sajroning gaun malamu...
sing digelar saka Himalaya nganti Puncak Semeru
kejaba mung Kuncung Semar....
sing bisa adum kasekten karo inyong...

pada- pada warna pelangi...
jejer werna pitu sajroning grimis riwis riwis
kuwe katresnanku marang sampeyan...
sing ayune kaya dakocan urip...
digubet jarit guratane Parang Barong...
nganti kepriben maning, uripr inyong kiye...?

wis rada ambekan...mumpun esih jembar kalanganne
muncar srengengene lan adem hawane
ayo pada tetembungan sing apik
kaya kuning resik kulitmu...

lan lodang dalan penguripane sakloron
mbokmenawa esuk esih ana gumebyaring urip
nganti inyng bisa nggawe umah
laya gedong loji kompeni...apik
temboke putih bersih, akeh tetanduran kembang...

mawar, kaya katresnanmu
melati, kaya atimu sing tak arep-arep
kenanga, kaya semburat srengenge wayah esuk
ora kudu pedut sing medeni
sing bisa nunjem atimu....
Cinderellaku...!,......

Tegal, 10 Sept 2012