Kamis, 31 Mei 2012

kau ulurkan ikatan bunga


Dalam senyum mengusung ornamen  debu dan hari
Untuk kau raih, aku tak mampu menggapai
Bila senja telah bertutur dalah bahasa pelangi.

Aku terbangkan angin waktu
Memburumu...tak kunjung aku sampai
Lantaran kau terselip dalam senja

Aku berikan seribu makna dalam sebuah
karangan kata, merah, jingga hingga biru
kau menolehkan wajah, dalam arti  yang aku
tak tahu.

Kau hanya memberi salam kepada angin lalu
Aku terhenyak, saat aku menggapai makna
Ini adalah garis langit
Yang bersemayam “Mahkota Bersusun Tujuh”
Akupun hanya mengakrabi doa
Agar pematang dan sawahmu dirimbuni
Padi yang menguning
Tempat kau berseloroh dengan bidadari
Selamat Jalan Kakanda.

(Tegal, 24 Januari 2012).

impian tentang negeriku

Sang Baghaskara”, kala mengintip dengan malu
Pada tiap penjuru “Negeri dengan dandanan sulaman beludru biru. Menapaki “Tanah tanah legam Papua”.....
dan sebentar membasuh wajahya, di “ Pemandian Arafuru

Kita mengulum senyum, dengan bola mata
menyisir setiap “ Lekuk tubuh Borneo dan Minahasa”.

Dalam telanjangnya nafas ,
dan sejauh kita mampu meluruskan pandang mata,
Sejauh itu pula, bersolek bukit, lembah dan pematang sawah,
dengan bedak dari halimun
dari celah bukit dan puncak puncak gunung.
Bibir gincu perawan desa, adalah apa yang harus kita
saksikan. Dari eksotis tiap ramahnya padang dan sawah.

Apakah masih ada, sebuah keluh dari sepotong peluh
Hingga merontanya tangan kita, yang telah kosong  dari
guratan-giratan petuah nenek moyang kita
ataukah kita hanya ingin menjadi “tiupan prahara”
yang merontangkan tiap bunga bunga persembahan
sang pengantin baru.

Lantas sepi, hanya asap kedurjanaan.

Kita bentangkan tudung saji berkain biru,
Melengkung dari dua samudra lepas
Mengait pada “Laut Kidul” dan “Laut China Selatan”
Agar “Sang Atmosfer” di atas sana
Tidak menyeruakan lagi tentang kabar sumbang
Tentang ngarai yang hijau
di pinggir permadani kuning padi padi yang masak.

“Puncak Mahameru”, tak kan mungkin goyah
Untuk sebuah tambatan, dari hati yang menerjangkan
Bara api.
Kita jaga bersama
Agar sawah dan ngarai
Terus hadir dalam mimpi kita  (Tegal, 21 Nopember 2011)

Gadis Desa

Si gadis desa mengecup pagi ini,
Lantaran hanya itu yang dia miliki,
Berjajar beribu bunga menjadi pagar rumahnya
Dan sebuah basuhan air embun
Nurlela berikan tiap, mentari di Timur.
Karena hanyalah hidup damai yang dia
impikan.

Gadis desa sejenak menyambangi cermin miliknya
Di dinding bambu rumah panggung
Keriput dan lipatan wajahnya
Kini lebih kentara
Apa karena ini gambaran hidupnya ?
Dari apa yang pernah ia dengar
tentang dandanan seronok kehidupan ini.

Gadis desa,
Lebih memilih, merapikan tiap pagi
Yang hadir, pada tiap sendi tulangnya
Ketimbang menikam hidup
ini menjadi “pecahan kaca yang tajam” ….(Tegal, 21 Nopember 2011)




taman bunga berajut benang emas


Dalam jambangan berlapis emas,
Semua bunga  tergelar di petak taman bunga berlantai “perlente”
Bunga Tulip, melonggarkan “stelan ketatnya” agar tak tertikam
basahnya embun tropis,  Bunga Sakura menyeringai girang
karena telah mendinginya cincin api,
sementara Bunga Levender menutup kencang kelopaknya
agar tidak tertusuk nyamuk nyamuk bugil penghias jaman

“Bunga Ilalang” hanya mengkituti Angin Tenggara,
Dari titik kulminasi atmosfer, sang bunga yang ringan tanpa daya
Menundukan wajahnya agar lebih kentara menyaksikan
perhelatan di tengah taman bunga….seribu warna.
Sang bunga ilalang berniat menggemakan gamelan jawa
Agar perhelatan bertambah serempak dan “berornament pluralisme”
Namun panas mentari menyengatnya dan menghardik sehingga
sang bunga ilalangpun meluruh dalam nafas sesak dan dada terguncang

Dalam lakon yang memainkan beribu pucuk bunga-bunga keramat
Mahamerupun  tiada pernah memberikan sepotong angin,
Agar Ilalang, Kamboja dan Sedap Malam mampu berias
layaknya penari “Tari Bali”,  yang tiada penah kehabisan nafas.
Namun tepian langitpun menepisnya
Mengapa mereka memenuhi taman bunga, disaat “Sang Anak Krakatau”
telah kesepian dan menutup jendela langit dengan tirai
hitam kelam……
Disaat sawah-sawah negeri bertumbuh perdu bergerigi
Dan kali yang melintanginya telah berwarna hitam airnya.

Jangan ada lagi langkah galau, ilalangku !
Nantikan tergelarnya tirai sepanjang pantai mutumanikam
Yang berkain beludru lembut berwarna biru muda
Tempat yang ramah agar kau mampu merebahkan punggungmu
yang sakit di lemparkan oleh aspal-aspal jalan yang berlobang.
Biarlah Sang Dewa bersemayam di “Indrakila”
Biarkan sang empu taman bunga berlapis emas, menengadah wajah
Dan terus tertawa, karena angin senja telah menawanya dalam kubangan
Jaman, yang berangin semilir dan sejuk.

Kita hanya mampu memincingkan mata
Agar lengan lengan kita terus bertambah tangguh
Untuk menghimpun, tarian jaman yang tercecer.
Kita bersatu dalam tautan akar meski lemah, tapi
Akan mampu menahan Angin Tenggara dalam keranjang bambu
Milik kita sendiri,…..
(Semarang, 28 Nopember 2011).

Anggrek Bulan  di Pantai Biru

Kini jalan panjang di depan, adalah milikmu, Sang Angger Bulan
Jangan kau lupakan jalan yang menauti “Jembatan Ampera”
Di sana telah tertinggal batu hitam untuk menoreh sejarah
Basuhlah dengan embun dini hari
Agar mampu menyungging senyum cerah

Bukankah sebuah buku harian yang harus kau tutup rapat
Dengan bingkai keagungan “Samudra Pasai” hingga “Majapahit”
Namun kini tertutup mendung tebal….
Karena debu debu jalan, yang merebak memenuhi angkasa
Dan tergerus meradangnya nafas binal
Dari penghuni yang nanar matanya

Entah kapan kawanan burung yang lunglai sayapnya
Mengabarkan adanya pantai biru
Yang dihiasai nyiur melambai dan bakau yang tersenyum pilu
Untuk sebuah rumah bambu,
Agar semua bunga bisa mencengkeramkan akarnya  
(Semarang, 28 Nopember 2011).

Senyum

Mengapa kanvas lukisan hanya menampakan gurat warna
Yang hambar, pucat dan mengurungkan sebuah eksotis
Apakah gambaran alam telah menepikan sinar mentari
Ataukah memang jalan panjang telah terkubur,
dalam …ganasnya alam yang berpaling muka.
Karena bernyali ciut pada pekikan dan hardikan
Angin-angin gila dan putting beliung menyeret
Padi padi yang berjejer rapi di sawah,

Hanya seutas senyum cukuplah
Penawar dahaga untuk bidadari penghuni “Swargaloka”
(Semarang, 28 Nopember 2011).

Kini Tinggal Bunga Bunga Semi

Semerbak wewangi bunga di taman telah
terbawa nafsu angin kembara,
Dalam saku saku baju, mereka mengerti hidup
di batas itulah. Sorot matahari yang melegam
telah dijadikan musuh.
Jagalah diantara batas itu,
Untuk bunga yang muda perkasa
Agar mereka tidak saling beradu berseteru benci
(Semarang, 28 Nopember 2011).





hidup


aku tidak mengerti, akupun  heran
mengapa aku tidak terbang saja,
hinggap di sekumpulan musim
tidak ada kemarau ataupun hujan
petir hanya kembang api
penghias dinding rumahku
debu kemarau hanya gincu bibirku…

aku menghempas langkah
membentur batu  bermata dingin
diam membisu di perut  tebing
aku terkungkung, berteriak nyaring
tak satu tautan angin mengantarku
bila telah lelap angin pancaroba

aku turut merebah,
bersama ilalang, saat angin senja
mengoyaknya dengan taringnya yang tajam
aku mengerling mata pada batas nyata
antara memacu derap dan mengatur nafas
binalnya jarum waktu membinasakakanku

lidahku kelu, membaca guratan hidup
benang benang putih telah jauh dariku
saat telah dekat, aku terkapar dalam
bunga warna warni……
aku tak sanggup membaca buku cerita langit,
entah hingga kapan
aku dalam sudut hati


malam
dendang yang kudengar dari suara alam
di tepian telaga biru, siul angin
dijebak rumpun bambu
malampun dalam birama
sendu dan rindu
aku terdiam di tengahnya


saat kau datang
kau datang membawa hari
dalam buritan perahu
menjerat ombak yang kian lantang
aku bersatu dengan angin laut
hingga kutemukan pantaiku
kusemai bakung dan beluntas
agar kau sejenak
mengatur hari

mataharuku
tak sanggup lagi aku dalam deru nafas
hingga memilih sendiri cerita indah
jangan pernah mengusamkan sajak dan puisi
hingga kau temukan bait
tentang negeri indah bercakrawala rindu

SEMARANG, 20 Mei 2012