Sejak pemerintahan Belanda terusir dari Bumi
Nusantara dan hengkang dengan wajah lesu, lantaran kalah perang dengan Tentara Dai Nipon, Hotel Casablangka di pinggiran Kota Semarang
sudah tidak lagi berdandan eksotis lagi, tapi lebih menyodorkan
ornament-ornamen gaya Eropa yang ditelikung kepedihan. Gelas gelas piala Baverage Cock Tail Party kini
merenungi nasibnya, terbengkelai di meja portir pub hotel itu berserakan
bercampur debu.
Wanita wanita “Inlander” penghibur para serdadu KNIL pun
telah mengungsi entah kemana. Berandanyapun kini berdandan kekumuhan dan tiada
lagi bersenyum ceria, berbeda dahulu kala para perwira NICA dan KNIL mengumbar
nafsu durjana dengan nafas berbau brandy,
whisky ataupun vodka.
Angin gunung
Ungaran kini menggantikan kecerian hotel itu dengan membawa kedinginan.
Sementara itu suara burung kenari dan jalak kini menggantikan Gramaphone yang menyuguhkan Mozart
yang dahulu banyak digandrungi perwira NICA. Mereka dengan setianya masih
menyanyikan lagu ceria tiap saat dibuai angin Gunung Ungaran
Hesti sang wanita
penghibur dan primadona Hotel Casablangka kinipun merajuk hatinya sendiri untuk
segera pulang ke desanya di kaki Gunung Merapi. Meninggalkan lembah hitam yang
melilitinya, meski bedak dan gincu yang ia jadikan kawan setia guna menyodorkan
cinta warna-warni, bak kembang kertas kepada anak buah Kapten Van Mook, bregundal NICA, yang saben hari menghujamkan
nafsu gairah syetan kepada wanita Inlander tak berdaya. Hesti hanya bisa merenungi
ketika gelas brendy sudah tiada
lagi disisinya, ketika dia bermandikan Gulden hanya untuk sepenggal
hidupnya,yang terkikis tajamnya badai kehidupan.
Namun Hesti masih
menempatkan Kapten Burhanudin, pejuang TKR di sudut hatinya, yang kini entah
terbawa angin revolusi, di belahan bumi mana atau hanya mengintip di balik awan
hitam yang menaungi hidup Hesti. Tatap mata kapten pujaanya itu telah membawkanya
sebuah cawan berisi aroma cinta dan berhasil meneduhkan hatinya. Kala hidupnya memang
menjadi lekang dipusari ketidak adilan jaman. Apalah artinya lengan seorang
wanita desa yang tiada berdaya melayani nafsu durjana anjing anjing itu,
apalagi di bawah todongan revolver, ketika NICA menyerbu desanya. Dengan biadab
pula mereka lantas menculikgadis-gadis desa dan mendekamnya di Hotel
Casablangka.
Maka jeritan hati
Hestipun tiada pernah padam lantaran perahu
cinta Hesti tiada pernah tertambatkan, meski Kapten Burhan pernah memberikan
dia juga sekeranjang janji, untuk dibenahi bersama ketika malam penganten,
entah kapan.
Roda jaman terus
berputar, namun tetap saja tajam geriginya masih kokoh menguliti anak bangsa
yang bergelora menghembuskan api revolusi. Nagasaki dan Hiroshima
menjadi saksi korban ketajaman roda jaman, ketika semua daging telah terpisahkan
dari ,kulitnya. Mulusnya kulit perawan perawan kedua kota itu, telah menghangus
menjelma layaknya iblis yang menjerit menakutkan.Namun tiada yang menghiraukan,
lantaran pejaka pejaka Dai Nipon-pun ikut merasakan pedihnya
seribu sembilu yang memenuhi tubuhnya. Angin kebiadaban dari sekutu benar benar
kejam, tiada lagi punya hati untuk memeluk kasih berujud sayap malaikat penebar
kasih sayang.
Desember 1945,
menjadi bulan yang sangat mengiris hati Hesti. Karena pada bulan itu hari-hari
kehidupannya di bawah Gunung Merapi, hanya berhias hujan dan angin dingin
Gunung Merapi. Kini diapun hanya mampu merajut hari yang sepi dan
meletihkan. Namun dari mulut ke mulut
Hesti mendengar kabar, bahwa Ambarawa telah meradang bara dan kepulan mesiu, tatkala
tentara NICA di bawah pimpinan Brigadir
Bethell meregang hidup dan mati berhadapan dengan TKR yang dipimpin
langsung oleh Komandan Divisi V Banyumas, Kol. Soedirman, yang berintikan kekuatan Yon. Imam
Adrongi, Yon. Soeharto dan Yon. Soegeng.
Palagan Ambarawa mampu mengokohkan sebagai tempat untuk mencurahkan peluh dan
tetesan darah dan kini kembali membisu setelah di pertengahan Desemnber 1945
Tikus Tikus NICA mampu kembali menghirup udara bebas setelah hampir satu bulan terkepung “supit
urangnya” Pak Dirman. Namun dasar tikus,
sematan “kalah perang “ belum juga menyurutkan hasrat mereka.
Hati Hesti kembali
sejuk, sebuah harapan kini hadir di sudut hatinya lantaran dia tahu persis
“kapten pujaan hatinya” pastilah ikut menyalakan bedilnya demi kehormatan dan
jiwa besarnya. Lenganya yang kokh dan tegap pastilah mampu melentingkan
mitralyuir, water canon 12, 7, granat atau bahkan tankpun mampu dia bungkam.
“Oh..Casablangka kau pasti akan berdandan
ceria dengan bulan purnama di atapmu,
bunga anyelir, dahlia serta mawar merah membara akan mewangi di berandamu.
Tunggulah Casablangka, aku akan bermandikan cinta mutu manikam dengan kapten
pujaanku di berandamu, aku akan membawanya berjalan ke setiap penjuru ruanganmu
bersama dia”. Berkali kali Hesti menyekun hatinya, agar bilah cintanya
yang mongering kini tumbuh bersemi lagi.
***
Deru Jeep Willys
buatan Amerika kini lalu lalang di halaman Cassablangka, namun angin Gunung
Ungaran masih saja terasa liar dan terus menyelinapkan kedinginan di setiap
tulang laskar TKR yang baru saja
merayakan kemenangan. Mereka kini sementara bermarkas di Cassablangka karena
tergiur dengan eksotisnya, bak gadis desa yang lagi mandi di sungai desa dengan
gemercik air yang dingin.
Kapten Burhan yang
tergabung dengan Batalyon Soeharto kini melemaskan semua badanya dan memilih
bersandar pada kursi berkulit macan di ruang lobby Cassablangka, yang hanya
menyisakan kebisuan. Warna dindingnya telah kusam dan berdebu, mirip dinding
rumah “ Palace of Vampir Princess”, Namun Kapten Burhan tiada pernah
menjerambabkan anganya pada kebisuan hotel tak berpenghuni itu.
“Kapten, seorang
wanita mata-mata berhasil ditangkap anak-anak. Tapi dia mengenalmu”Laporan
komandan jaga Sersan Hamid tiba tiba saja menggetarkan kebisuan ruang lobby
hotel itu.
“Suruh dia
menghadapku”
“Siap, Kapten !”.
Kapten Burhan menjadi terpanggang hatinya, lantaran sebuah rasa penasaran
menyeruak dalam hatinya.
Kini tiba tiba
saja warna pelangi mengungkungi langit Hotel Casablangka, yang telah terbelah
dan menaburkan kembang warna warni, untuk hiasan sebuah hati yang sedang memaknai cinta.
Kapten Burhan tiba tiba saja menjelma menjadi “malaikat dengan sejuta sayap”,
untuk menerbangkan hatinya jauh dari muka bumi.Sebuah fatamorgana hati yang
tiada bisa terbayangkan oleh “kapten pujaan” ini.
“Hesti..!!!”
“Mas Burhan !!!”.
“Tapi, apa benar engkau Hesti. Mengapa engkau ada di
sini”
“Ceritanya
panjang, Mas !”
“Tapi aku perlu
jawaban darimu, mengapa kamu tahu aku ada di sini, agar mereka tidak menuduhmu
mata-mata “
“Aku dengar dari beberapa anggota TKR
Ambarawa, bahwa Batalyon Soeharto sementara bermarkas di hotel ini. Mereka juga
menyebutmu turut dalam batalyon ini” Burhan kini tiada bedanya dengan setiap ruangan Casablangka, yang memilih
terpagut sepi. Burhan diam seribu bahasa, hanya pandangan mata liar beruntai
“Tembang Asmaranda” menyelusuri setiap jengkal tubuh Hesti yang telah lima
tahun berpisah.
Burhan mengajak
Hesti untuk menebarkan sejuta rasa cinta di Beranda Hotel Casablangka yang
berlatar belakang lukisan alam Gunung Ungaran. Namun demikian seberkas hasrat
hati Hesti kini mulai tumbuh untuk menyodorkan kepada “kapten pujaannya”
tentang dirinya selama menjadi wanita penghibur tentara NICA. Diapun kini
membeberkan bait demi bait episode yang menggayuti kehidupan Hesti dengan rona
warna yang hitam pekat.
Kapten Burhan
menjadi pucat wajahnya, tiada pernah dia menemui sebuah keberanian sebesar ini
untuk menerima Hesti kembali. Meski Thomson yang dipegang tangan kokohnya
berhasil membabat habis semua NICA yang pernah menghadangnya. Namun hatinya
kini, tiada selebar daun pohon durian yang tumbuh di depan beranda itu.
Kepingan hatinya melebihi hancurnya tubuh Kolonel Van de Hudson yang tertimpa
mitralyur TKR., Kebengisan apa lagi yang bakal aku hadapi di jaman yang tidak
menentu ini. Bisik hatinya kini mendekam kuat di tengah hatinya.
“Itulah
diriku,,Mas Burhan. Akupun tidak pernah akan memaksamu untuk menerimaku lagi.
Biarlah aku pergi, apapun yang aku alami dahulu dan nantinya adalah memang
harus aku hadapi. Bukankah kita hidup di jaman penjajahan, apapun bisa menimpa
siapa saja”
“Akupun tahu Hes
!, juga akupun tidak tahu bagaimana perasaanku sekarang.Seorang pejuang apapun
memilih mati ketimbang bekerjasama dengan anjing NICA. Maafkan aku Hes,aku
sekarang tidak memiliki hati lagi untuk menghadapi ini semua”
“Ah jangan terlalu
dipaksakan Mas, barangkali aku adalah wanita yang telah memiliki sebilah hati
yang telah kokoh menerima penderitaan.Karena sejak kecil aku hidup dengan
berbagai kesusahan”
“Hesti, aku tidak
pernah menolakmu. Tapi maafkan aku, bila kali ini aku betul betul merasa berat
untuk memberi jawaban. Berdoalah saja semoga kita bisa mengusir anjing NICA dan
memerdekakan bangsa ini. Sementara pulanglah dulu kamu ke Selo, tunggulah aku
pulang”
“Jadi itu
keputusanmu,Mas Burhan ?.
Aku belum mampu
memberimu jawaban, Hes. Aku minta waktu .Apalagi komadan brigif TKR menginstruksikan
batalyon untuk kembali ke Solo, untuk menunggu tugas berikutnya. Toh kita alan
berpisah lagi. Aku hanya mampu berjanji untuk menemui kamu setelah kembali
bertugas”
Hestipun menghiasi
wjahnya dengan senyuman tipisnya menambah kecantikan wajahnya. Burhan tidak
munafik mengakui kecantikan Primadona Hotel Casablangka ini. Beranda hotel
itupun menjadi saksi akan keteduhan hati Burhan kala berada di samping wanita
tak berdaya ini.Ingin dia berlari sekuat tenaga dan membawanya mengarungi
samudra guna menambatkan cintanya lebih erat lagi. Namun kembali hati itu
menjadi tiada seberapa kokohnya menghadapi kenyataan di hadapannya. Waktulah
yang akan memberinya sebuah kekuatan.
Kini perjuangan
menggapai kemerdekaan telah membawa korban lagi, berujud ebuah perpisahan
antara dua insan yang btermakan pusaran angin perjuangan kemerdekaan.