Jumat, 16 November 2012

Peraduan Ini Hanya Milik Kita Berdu







Wajah istriku terus saja bersungut, seakan terus berniat menikam wajah pagi ini dan melipatnya dalam kantong bajunya, yang kumal dan tanpa guratan keceriaan. Akupun sempat mengerlingkan mata  ke arah tempat nasi di meja makan, sekedar ingin tahu menu sarapan pagi hari ini. Hatikupun berdesir pilu, lantaran hanya ada nasi hangat sisa nasi tadi malam, terlebih lebih kala aku memandang dua anaku yang lahap menelan nasi itu, dengan lauk ikan asin dan sayur seadanya.

Sebentar sebentar si bungsu nengerlingkan matanya ke arahku, sambil menghias bibirnya dengan senyum lugu, tanpa selembarpun kutukan pada bapaknya yang belakangan ini tidak mampu membahagiakan anak yang harus bersetegap dalam hidup ini. Kali ini dia menatapku dengan sorot mata yang tajam dan dari mulutnya yang tidak lepas dari bilah senyum itu, melontarlah sebuah pertanyaan lembut.
 “Bapak, nggak makan ?”

“Ah sudahlah Yan!,  habiskan saja sarapanmu, bapak sudah kenyang “
“Kapan bapak sarapan ?” Akupun tidak mampu menjawabnya, dan masih berdiri terpaku di depan Iyan yang lahap menikmati sarapanya.
“Yan, hampir jam 7, cepatlah ke sekolah”. Seraya menganggukan kepalanya, Iyan segera mium teh hangat yang agak manis dan berlari menungut tas sekolah yang mulai luntur warnanya.

Rumah berdinding tembok lusuh dan di sana sini mulai terlihat plesteran semen yang pecah itu,  turut pula menyodorkan wajahnya yang lesu, lantaran tembok rumah itu turut pula menjadi saksi berputarnya roda kehidupan. Tembok itu pernah tersenyum ceria kala aku dan Sumiarsih begitu berserinya menapaki roda kehidupan, Anton sang bungsu dan Rima si sulung tidak pernah merasakan sedikitpun  sarapan nasi sisa makan malam yang dihangatkan.

Kala itu penghasilanku sebagai mandor proyek perumahan milik Pak Santoso cukup menghantarkan Sumiarsih dan dua anaku mampu tidur pulas dengan wajah berseri. Namun akupun pernah memberikan seberkas nasehat kepada Sumiarsih, tentang arti dari pola hidup hemat dan selalu siap tabah dalam mengarungi kehidupan yang tidak pernah mengenal pilih kasih.

“Bila kita seakarang sedang berkecukupan, tentunya suatu saat kita akan menghadapi cobaan dari Yang Kuasa untuk menghadapi kepelikan hidup ini, meski aku tidak pernah mengharapkan cobaan itu, Asih !” kataku kala aku duduk di beranda rumah, hanya ditemani sang rembulkan dan desir angin kemarau.

“Kamu jangan berbicara masalah itu, Kang !. Lebih bermakna lagi bila kita banyak bersukur kepada Yang Kuasa karena Akang sekarang berkecukupan “ sahut Asih dengan rambut hitamnya yang terurai dan sekarang merapat di pundaku.

“Sejak kita mulai menapaki maghligai ini, aku sudah bersyukur pada Yang Kuasa tentang pertemuan kita, Asih!, hm..mengapa kamu mau sama aku, hanya seorang tukang bangunan sedangkan kala itu, kamu bagaikan kembang desa yang dikerumuni banyak kumbang, yang semuanya serba lebih ketimbang aku”
“Entahlah, Kang !, begitu saja mengalir rasa cinta dalam hatiku, inikah yang namanya jodoh Kang ?”
“Barangkali, aku sendiri tid
Namun setelah proyek developer milik Pak Santoso telah usai, kini aku harus memungut sesuap nasi dengan srabutan, hari demi hari terus saja nasib menguliti aku dan semua yang aku miliki. Kini hanya sepenggal cinta dan kedua anaku serta rumah lapuk peninggalan kedua ortuku. Belum lama aku larut dalam kenangan masa lalu, aku merasakan pekik suara petir menyambar di tengah pagi yang cerah, akupun terhenyak dari lamunanku dan sekarang Asih telah berdiri di depanku.

“Aku sudah tidak punya apa- apa, Kang !, untuk makan siang Anton dan Rima aku akan masak apa ?, jangankan untuk bayar listrik dan SPP sekolah mereka”
“Apa kamu pernah melihat aku hanya duduk saja, tidak pernah memikirkan nasib keluargaku ?”
“Kadang kamu begitu Kang !, sering tidak mengerti realita yang ada ?”
“Aku kan sudah berusaha, Asih !”
“Inilah yang aku maksud Akang  tidak mengerti realita yang ada”
“Maksud kamu bagaimana ?, realita ? selama ini  Akang tidak pernah mengerti realita ?”
“Aku tidak mau tahu Kang !, entah Akang mau melangkah ke mana, yang penting Akang mengerti kebutuhan kedua anak kita, mereka sudah tiga bulan ini belum melunasi SPP mereka, belum lagi tagihan dari sekolah untuk buku buku pelajaran.
“Huuuh…seandanyai saja aku masih seperti dulu “

“Ah, sudahlah Kang !, mulai lagi Akang lari dari kenyataan, inilah yang kadang kadang terbesit niat jelek hatiku untuk meninggalkan Akang, untuk pergi ke Arab atau Malaysia untuk mengadu nasib. Tapi aku tidak tega bila harus meninggalkan Anto dan Rima. Tapi kalau keadaan begini terus, apa boleh buat Kang ?”

“Apa kepergianmu mampu menjamin kebahagian kita, sudah banyak kisah tragis yang dialami TKW di negara lain. Lebih baik kita mengalami hujan batu di tanah sendiri ketimbang hujan emas di negara lain ?’

“Itukan sikap hidup orang orang dulu, saat tanah ini belum banyak dihuni banyak orang dan masih banyak tanah untuk lahan pertanian, semua bahan makanan masih bias kita petik dari lahan. Tetapi sekarang, semua kehidupan diukur dengan uang, apa apa harus beli. Seperti kita yang tidak punya apa apa, ya harus berbuat apa saja demi selembar hidup. Hanya akang saja yang belum terbuka saja pikiranya !”

“Aku lagi yang disalahkan !!!” . Dalam hatiku ini memang tumbuh rasa bersalah, namun aku tetap bersyukur telah ditemukan dengan wanita yang berhati emas seperti Sumiarsih, dalam menghadapi himpitan penderitaan yang menyesakan tulang tulang iganya, Sumiarsih sama sekali tidak menyesali pertemuan ini. Peraduan milik aku dan dirinya, tidak pernah memucat dari awal terbentuknya maghligai hingga detik ini. Meski godaan godaan untuk menghempaskan telah silih berganti, termasuk godaan laki laki hidung belang yang berduit, yang menginginkan pelukan mesra Sumiarsih, yang tidak berubah pesonanya dari mulai lajang hingga kini.

Sumiarsihpun tahu persis, bahwa belahan jiwanya kini sedang limbung hatinya menghadapi tajamnya belati kehidupan, yang kali ini menusuk paling dalam dalam roda kehidupan milik mereka berdua. Sumiarsihpun merentangkan kedua tanganya untuk memeluk leher dan bahu suaminya. Dari mulutnya tak lama melontar kata kata lembut
“Kang, boleh aku meminta sesuatu, aku harap Akang tidak marah !!!”
 “Asih!, selama Akang mampu memberikan segala sesuatu, tetunya Akang berikan dan selama itu tidak menyangkut perpisahan antara kita, Akang tidak marah, percayalah
“Kita terpaksa merelakan rumah peninggalan ortumu, Kang !”

“Asih !!!, lantas di mana kita akan tinggal ?”
“Itu, masalah nanti Kang. Hari hari kita masih panjang. Namun saat ini kita tidak punya apa apa lagi”
“Kamu lupa ya Sih ?”
“Tentang apa, Kang ?”
“Rumah warisan ini hanya bisa dijual untuk kebutuhan yang mendesak, seperti studi anak anak kita ke perguruan tinggi nanti. Aku tidak keberatan Sih !, namun dengan apa nanti kita membiayai anak anak kita ke perguruan tinggi ?”
“Aduh Kang ?, Akang juga lupa nasehat Akang sama Asih ?”
“Tentang apa?”
“Selama kita masih yakin akan pertolongan dari Yang Maha Kuasa, pasti kita akan menemukan jalan, asalkan untuk tujuan yang baik “

Tidak ada sepatah katapun yang aku katakana, yang aku hadapi adalah sorot mata Asih yang lembut dengan dikemas senyum menawan, aku hanya merasakan hadirnya bidadari bersayap yang membuat aku terbang mengelilingi setiap penjuru langit. Sayup aku 
mendengar lagu “soundtrack” sinetron Rumah Cemara yang pernah ditayang sebuah stasiun televisi, lukisan yang paling indah adalah keluarga, istana yang paling megah adalah keluarga, puisi yang paling bermakna adalah keluarga  dan mahkota yang paling berharga adalah keluarga. Sayup lagu itu hilang di telan panasnya siang hari yang menyengat.

 Aku terhenyak dari tempat tidurku saat mendengar permintaan Asih, namun ragu ragu masih saja menyelimuti jauh di lubuk hatiku. Tapi sudahlah, tidak ada jalan lain bagi diriku hanya untuk membahagianakan Asih dan kedua anaku.

“Baiklah Asih, cobalah kamu siapkan surat surat tanah ini. Siapa tahu minggu minggu depan aku bisa mendapatkan pembeli yang cocok, Asih ada tamu !”. Beberapa saat setelah  aku seselai bicara, terdengar pintu depan diketok oleh entah siapa, dan terdengar beberapa pasang sandal dengan langkah yang berat.

“Kang, Bapak Santoso mencarimu !”. Mendengar penuturan Asih serasa lepas semua beban yang ada di sudut jantungku, karena aku dapat memastikan kalau tujuan kehadiran Pak Santoso, tidak lain hanyalah rencana dimulainya bisnis perumahan.
“Oh, Pak Santoso silakan duduk, Pak !”
                     “Oh trimakasih,Bud,okelah aku tidak banyak basa basi lagi, karena waktu saya mendesak. Cobalah kamu berkoordinasi dengan Pak Darwis Tang, yang akan mendesign lay out perumahan. Seperti biasanya kamu besok ke gudang dan ambilah semua peralatan, sudah aku siapkan mobil proyek. Karerna aku belum memanggil semua tukang dan kuli, sementara kamu tangani dulu, besok kamu berangkat. Bud pakai dulu sepeda motor milik perusahaan, nanti soe bisa kamu ambil di rumahku “
“Ya, Pak, tapi !”

 “Sudahlah sudah tidak ada waktu lagi. Ini sekedar uang dengar dulu dari aku. Nanti sore kamusudah ada di gudang dan besok pagi, kamu membersihkan lahan yang masih berantakan, biar didesign Pak Darwis. Sudah Bud, aku akan mengurusi administrasi lainnya.Aku pamit dulu “. Aku hanya mengangguk kecil saja seraya mengucapkan benyak terimakasih, aku masih terpaku di halaman rumah setelah mobil sedan mewah Pak Santoso hilang di pertigaan jalan.

“Kang, Alhamdulillah, kita mendapatkan jalan untuk mengubah nasib kita ya Kang !. Oh Tuhan ternyata Engkau mendengarkan doa hambamu yang bisa pasrah”
“Oh benar katamu, Sih. Cobalah kamu belikan makanan untuk makan siang Anto dan Rima. Sebentar lagi mereka pulang”

Kedua anaku bagaikan burung merpati yang merentangkan sayapnya di pagi hari, yang lepas dari sangkarnya, langsung menuju meja makan untuk melahap makanan yang ada di atasnya, dengan senyum Sumiarsih yang lembut kedua anaku  makan dengan lahap. Anto segera menarik tanganku, untuk mengajaku makan siang bersama sama. Berempat di meja makan kami saling melempar sorot mata, seakan telah memenangi sebuah cobaan yang hebat dalam sepenggal kehidupan, yang sangat menghanyutkan segalanya bila kita ringkih dalam membangun maghligai rumah tangga. Namun tentang peraduan Sumiarsih tetap menjadi miliku, apapun yang akan terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar