Wajah istriku terus saja bersungut,
seakan terus berniat menikam wajah pagi ini dan melipatnya dalam kantong
bajunya, yang kumal dan tanpa guratan keceriaan. Akupun sempat mengerlingkan
mata ke arah tempat nasi di meja makan,
sekedar ingin tahu menu sarapan pagi hari ini. Hatikupun berdesir pilu,
lantaran hanya ada nasi hangat sisa nasi tadi malam, terlebih lebih kala aku
memandang dua anaku yang lahap menelan nasi itu, dengan lauk ikan asin dan
sayur seadanya.
Sebentar sebentar si bungsu nengerlingkan
matanya ke arahku, sambil menghias bibirnya dengan senyum lugu, tanpa selembarpun
kutukan pada bapaknya yang belakangan ini tidak mampu membahagiakan anak yang
harus bersetegap dalam hidup ini. Kali ini dia menatapku dengan sorot mata yang
tajam dan dari mulutnya yang tidak lepas dari bilah senyum itu, melontarlah
sebuah pertanyaan lembut.
“Bapak, nggak makan ?”
“Ah sudahlah Yan!, habiskan saja sarapanmu, bapak sudah kenyang
“
“Kapan bapak sarapan ?” Akupun
tidak mampu menjawabnya, dan masih berdiri terpaku di depan Iyan yang lahap
menikmati sarapanya.
“Yan, hampir jam 7, cepatlah ke
sekolah”. Seraya menganggukan kepalanya, Iyan segera mium teh hangat yang agak
manis dan berlari menungut tas sekolah yang mulai luntur warnanya.
Rumah berdinding tembok lusuh dan
di sana sini mulai terlihat plesteran semen yang pecah itu, turut pula menyodorkan wajahnya yang lesu,
lantaran tembok rumah itu turut pula menjadi saksi berputarnya roda kehidupan.
Tembok itu pernah tersenyum ceria kala aku dan Sumiarsih begitu berserinya
menapaki roda kehidupan, Anton sang bungsu dan Rima si sulung tidak pernah
merasakan sedikitpun sarapan nasi sisa
makan malam yang dihangatkan.
Kala itu penghasilanku sebagai
mandor proyek perumahan milik Pak Santoso cukup menghantarkan Sumiarsih dan dua
anaku mampu tidur pulas dengan wajah berseri. Namun akupun pernah memberikan
seberkas nasehat kepada Sumiarsih, tentang arti dari pola hidup hemat dan
selalu siap tabah dalam mengarungi kehidupan yang tidak pernah mengenal pilih
kasih.
“Bila kita seakarang sedang
berkecukupan, tentunya suatu saat kita akan menghadapi cobaan dari Yang Kuasa
untuk menghadapi kepelikan hidup ini, meski aku tidak pernah mengharapkan
cobaan itu, Asih !” kataku kala aku duduk di beranda rumah, hanya ditemani sang
rembulkan dan desir angin kemarau.
“Kamu jangan berbicara masalah itu,
Kang !. Lebih bermakna lagi bila kita banyak bersukur kepada Yang Kuasa karena
Akang sekarang berkecukupan “ sahut Asih dengan rambut hitamnya yang terurai
dan sekarang merapat di pundaku.
“Sejak kita mulai menapaki
maghligai ini, aku sudah bersyukur pada Yang Kuasa tentang pertemuan kita,
Asih!, hm..mengapa kamu mau sama aku, hanya seorang tukang bangunan sedangkan
kala itu, kamu bagaikan kembang desa yang dikerumuni banyak kumbang, yang
semuanya serba lebih ketimbang aku”
“Entahlah, Kang !, begitu saja
mengalir rasa cinta dalam hatiku, inikah yang namanya jodoh Kang ?”
“Barangkali, aku sendiri tid
Namun setelah proyek developer
milik Pak Santoso telah usai, kini aku harus memungut sesuap nasi dengan
srabutan, hari demi hari terus saja nasib menguliti aku dan semua yang aku
miliki. Kini hanya sepenggal cinta dan kedua anaku serta rumah lapuk
peninggalan kedua ortuku. Belum lama aku larut dalam kenangan masa lalu, aku
merasakan pekik suara petir menyambar di tengah pagi yang cerah, akupun
terhenyak dari lamunanku dan sekarang Asih telah berdiri di depanku.
“Aku sudah tidak punya apa- apa,
Kang !, untuk makan siang Anton dan Rima aku akan masak apa ?, jangankan untuk
bayar listrik dan SPP sekolah mereka”
“Apa kamu pernah melihat aku hanya
duduk saja, tidak pernah memikirkan nasib keluargaku ?”
“Kadang kamu begitu Kang !, sering
tidak mengerti realita yang ada ?”
“Aku kan sudah berusaha, Asih !”
“Inilah yang aku maksud Akang tidak mengerti realita yang ada”
“Maksud kamu bagaimana ?, realita ?
selama ini Akang tidak pernah mengerti
realita ?”
“Aku tidak mau tahu Kang !, entah
Akang mau melangkah ke mana, yang penting Akang mengerti kebutuhan kedua anak
kita, mereka sudah tiga bulan ini belum melunasi SPP mereka, belum lagi tagihan
dari sekolah untuk buku buku pelajaran.
“Huuuh…seandanyai saja aku masih
seperti dulu “
“Ah, sudahlah Kang !, mulai lagi Akang
lari dari kenyataan, inilah yang kadang kadang terbesit niat jelek hatiku untuk
meninggalkan Akang, untuk pergi ke Arab atau Malaysia untuk mengadu nasib. Tapi
aku tidak tega bila harus meninggalkan Anto dan Rima. Tapi kalau keadaan begini
terus, apa boleh buat Kang ?”
“Apa kepergianmu mampu menjamin
kebahagian kita, sudah banyak kisah tragis yang dialami TKW di negara lain.
Lebih baik kita mengalami hujan batu di tanah sendiri ketimbang hujan emas di
negara lain ?’
“Itukan sikap hidup orang orang
dulu, saat tanah ini belum banyak dihuni banyak orang dan masih banyak tanah
untuk lahan pertanian, semua bahan makanan masih bias kita petik dari lahan.
Tetapi sekarang, semua kehidupan diukur dengan uang, apa apa harus beli.
Seperti kita yang tidak punya apa apa, ya harus berbuat apa saja demi selembar
hidup. Hanya akang saja yang belum terbuka saja pikiranya !”
“Aku lagi yang disalahkan !!!” .
Dalam hatiku ini memang tumbuh rasa bersalah, namun aku tetap bersyukur telah
ditemukan dengan wanita yang berhati emas seperti Sumiarsih, dalam menghadapi himpitan
penderitaan yang menyesakan tulang tulang iganya, Sumiarsih sama sekali tidak
menyesali pertemuan ini. Peraduan milik aku dan dirinya, tidak pernah memucat
dari awal terbentuknya maghligai hingga detik ini. Meski godaan godaan untuk
menghempaskan telah silih berganti, termasuk godaan laki laki hidung belang
yang berduit, yang menginginkan pelukan mesra Sumiarsih, yang tidak berubah
pesonanya dari mulai lajang hingga kini.
Sumiarsihpun tahu persis, bahwa
belahan jiwanya kini sedang limbung hatinya menghadapi tajamnya belati
kehidupan, yang kali ini menusuk paling dalam dalam roda kehidupan milik mereka
berdua. Sumiarsihpun merentangkan kedua tanganya untuk memeluk leher dan bahu
suaminya. Dari mulutnya tak lama melontar kata kata lembut
“Kang, boleh aku meminta sesuatu,
aku harap Akang tidak marah !!!”
“Asih!,
selama Akang mampu memberikan segala sesuatu, tetunya Akang berikan dan selama
itu tidak menyangkut perpisahan antara kita, Akang tidak marah, percayalah
“Kita terpaksa merelakan rumah
peninggalan ortumu, Kang !”
“Asih !!!, lantas di mana kita akan
tinggal ?”
“Itu, masalah nanti Kang. Hari hari
kita masih panjang. Namun saat ini kita tidak punya apa apa lagi”
“Kamu lupa ya Sih ?”
“Tentang apa, Kang ?”
“Rumah warisan ini hanya bisa
dijual untuk kebutuhan yang mendesak, seperti studi anak anak kita ke perguruan
tinggi nanti. Aku tidak keberatan Sih !, namun dengan apa nanti kita membiayai
anak anak kita ke perguruan tinggi ?”
“Aduh Kang ?, Akang juga lupa
nasehat Akang sama Asih ?”
“Tentang apa?”
“Selama kita masih yakin akan
pertolongan dari Yang Maha Kuasa, pasti kita akan menemukan jalan, asalkan
untuk tujuan yang baik “
Tidak ada sepatah katapun yang aku
katakana, yang aku hadapi adalah sorot mata Asih yang lembut dengan dikemas
senyum menawan, aku hanya merasakan hadirnya bidadari bersayap yang membuat aku
terbang mengelilingi setiap penjuru langit. Sayup aku
mendengar lagu
“soundtrack” sinetron Rumah Cemara yang pernah ditayang sebuah stasiun televisi,
lukisan yang paling indah adalah
keluarga, istana yang paling megah adalah keluarga, puisi yang paling bermakna
adalah keluarga dan mahkota yang paling
berharga adalah keluarga. Sayup lagu itu hilang di telan panasnya siang
hari yang menyengat.
Aku terhenyak dari tempat tidurku saat
mendengar permintaan Asih, namun ragu ragu masih saja menyelimuti jauh di lubuk
hatiku. Tapi sudahlah, tidak ada jalan lain bagi diriku hanya untuk
membahagianakan Asih dan kedua anaku.
“Baiklah Asih, cobalah kamu siapkan
surat surat tanah ini. Siapa tahu minggu minggu depan aku bisa mendapatkan
pembeli yang cocok, Asih ada tamu !”. Beberapa saat setelah aku seselai bicara, terdengar pintu depan
diketok oleh entah siapa, dan terdengar beberapa pasang sandal dengan langkah
yang berat.
“Kang, Bapak Santoso mencarimu !”.
Mendengar penuturan Asih serasa lepas semua beban yang ada di sudut jantungku,
karena aku dapat memastikan kalau tujuan kehadiran Pak Santoso, tidak lain
hanyalah rencana dimulainya bisnis perumahan.
“Oh, Pak Santoso silakan duduk, Pak
!”
“Oh
trimakasih,Bud,okelah aku tidak banyak basa basi lagi, karena waktu saya
mendesak. Cobalah kamu berkoordinasi dengan Pak Darwis Tang, yang akan
mendesign lay out perumahan. Seperti biasanya kamu besok ke gudang dan ambilah
semua peralatan, sudah aku siapkan mobil proyek. Karerna aku belum memanggil
semua tukang dan kuli, sementara kamu tangani dulu, besok kamu berangkat. Bud
pakai dulu sepeda motor milik perusahaan, nanti soe bisa kamu ambil di rumahku
“
“Ya, Pak, tapi !”
“Sudahlah
sudah tidak ada waktu lagi. Ini sekedar uang dengar dulu dari aku. Nanti sore
kamusudah ada di gudang dan besok pagi, kamu membersihkan lahan yang masih
berantakan, biar didesign Pak Darwis. Sudah Bud, aku akan mengurusi
administrasi lainnya.Aku pamit dulu “. Aku hanya mengangguk kecil saja seraya
mengucapkan benyak terimakasih, aku masih terpaku di halaman rumah setelah
mobil sedan mewah Pak Santoso hilang di pertigaan jalan.
“Kang, Alhamdulillah, kita
mendapatkan jalan untuk mengubah nasib kita ya Kang !. Oh Tuhan ternyata Engkau
mendengarkan doa hambamu yang bisa pasrah”
“Oh benar katamu, Sih. Cobalah kamu
belikan makanan untuk makan siang Anto dan Rima. Sebentar lagi mereka pulang”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar