Sabtu, 25 Agustus 2012

Surat Cinta untuk Dewi Supraba


Aku menggelepar dalam rindu
Ingin menggulung rambut sutramu, yang kau urai di pinggang
Maafkan aku….yang jauh dengan Raden Arjuna bedanya
Arjuna tinggal di Bungalow tepi telaga…berair biru membentang
Dengan mobil mewah berkaca anti goresan
Yang tak mungkin dijamah Ilalang miskin
Nampak sama dengan Istanamu di Awang Awang Kumitir
Di bilangan Indraloka, yang tak terjamah banjir rob, apalagi tsunami
Dari cahaya yang berurai tujuh kaulah yang dapat mewakili
Sebuah senyum,

Lantas aku bentangkan layar perahu
Agar mampu bersanding  dengan Bathara Indra,
Meski dengan tangan mengencang aku tepiskan Asura
Yang hendak mengotori peraduanmu…
Ataukah pasopati milik Arjuna yang menepisnya
Entahlah mungkin juga hanya aku yang melukiskan
Kala wajahmu bertengger pada pandang tak terbatas.
Kau duduk dengan menghibur Gegermayang dan Lenglengmulat
Dengan seloroh yang memikat semua dewa.

Aku hanya Ilalang..yang mengerti akan ketamakan Niwatakawaca
Aku hanya sebatas menyusuri lekuk wajahmu
Dari situs internet…,,
Hingga tumbuhlah Kembang Anggrek Bulan di tepi halaman jantungku

Saat kau kunci pintu langit
Dengan titian selembar rambut kuning keemasan
Lalu kau turun dari mobil sedan merek para dewa
Bercelana jean ketat, merek keluaran dari awan awan bidadari
Jemarimu usil, memainkan ephone
Kau sambungkan demi sebuah janji
Dengan Raden Arjuna ….pria metropolis

Jantungkupun lari dari rongga dadaku
Mengapa kau lari dari sudut hatimu
Mengapa tidak kau cabut kuncung Semar…
Atau kau booking penasehat Sengkuni atau Sang Hyang Dorna
Agar Bathara Supraba betah …bercengkerama dengan …
pematang yang rapi dan sejuk
menyemai benih padi..hingga memerah sapi di kandang
atau memetik sayur,
menyedu kopi dengan pemanis gula aren.
Apalah arti Arjuna wiwaha,…kalau ilalang kusam tidak
punya  halaman prosa di dalamnya
Sementara hijau Ilalang di kaki langit
Terkadang mampu  mengucurkan air tawar pelepas dahaga

Tapi apakah betul kau yang didepanku
Adalah Supraba, atau yang di Manimantaka berkencan dengan Arjuna
Pria pujaanmu,….
Ataukah Ilalang hanya mampu memandangnya
Dan terselip dalam birama alam semesta.

negeri tiwul




Entah memang kita pandai bermimpi…atau telah habis mimpi kita
Biar disemai saja dalam haribaan “Archipelago”
Yang bermanik Merapi, Krakatau atau Bromo,
Kita memang tidak pandai lagi, dalam merajut bunga bunga wangi
Dalam karangan yang bertepi  Jaya Wijaya dan Semenanjung Malaka
Ataukah hanya deru dan debu prosa…..
Yang sarat dengan tema “kaki ilalang”, yang menepi…
Diantara buritan yang hendak mengencangkan layar
Melaju di birunya perdebatan kata hati……
Sang bunga bangsa yang telah lenyap separo hatinya

Kita hanya mampu belajar dari sesuap tiwul
Yang menyergap hidung, mulut dan tenggorokan kita
Hingga menyampakan tuang tulang iga yang kini
telah menusuk dada kita sendiri

Kita tidak lagi berseloroh dengan rayuan pulau kelapa
Kala anak anak kita bertelanjang kaki
Di pagi penuh halimun…….
Untuk menyuapi asa pada serumpun kembang taman
Ini adalah nanar pandang mata dengan lengan kecil
Meluruh, tak lagi mampu memaksakan kepalan tangan

Negeri ini telah bermandi air bunga surga
Saat bunga bangsa memerahkan mawar dengan darahnya sendiri
Melatipun memutihkan dinding hati mereka
Hingga kenanga dan anyelir tetap saja menerjangkan mereka  (Semarang, 7 Januari 2011)

Pahlawan Pahlawan Tak Bersayap


Tak seberapa berat jubah jubah hitam, yang kau kenakan,
Harusnya pada bunga  kau sebarkan
perawan perawan…sang penunggu kebun bunga
Hingga “sang putik yang semi” mampu menyeringai pakaianmu
Mampukah kau terbang ke awan-awan yang menyimpan butir air
Yang mampu membersihkan nama yang kau usung
Sebagai pahlawan tanpa mustika yang menjerat leher…

Namun bila kau mampu menjangkau tepi malam
Yang tak pernah berujung fajar, maka kaupun tak akan
Mampu melihat putik putik bunga berseri wajahnya di pagi
Lantaran tidak mampu kau genggam arah angin
Yang menawarkan sari sari… bila putik telah bergelora.

Ataukah memang kau mengumpat pada rumah bambumu
Yang sebenarnya berona ribuan warna cat minyak
Mengapa lantaran mata yang kau pincingkan, mereka hanya ….
Terlihat suram kapur dinding, yang menyudutkan segenap
Ilustrasimu, yang kau benamkan jauh di sudut jantungmu
Tentang tanaman melati dan kenanga
Yang tumbuh di vas hatimu

Jangan lagi kau ajak tersenyum ceria jubah jubah hitam
Karena mereka adalah dihardik dari “negeri sengsara”
Yang tak patut kau tempati
Selamat  pagi pahlawanku, biar kau kenakan sayap putih
Agar kau mampu memetik bintang (Semarang, 12 April 2011)


Kota Pelacur

Lampu lampu jalan yang redup turut membunuh kota itu…kota di jantung
“Archipelago”…kubangan mandi bidadari
Yang tanpa nafas menggeliat, untuk memelantingkan rumah kardus
Di tepian sungai berwarna hitam dan menyesakan rongga dada,
Dengan langkah berat bersepatu kulit dari “Sang Koruptor” yang membuat aspal jalan
Menganga berlubang….menghardik bajaj dan abang becak,
Akupun menyelinap di sela tubuh beton pengap, tempat tawa ‘kelu’ bibir
Pucat.. untuk menghabiskan selembar demi selembar penghidupan

Noni yang hitam kelam kulitnya, namun berbibir sumbing
Melampiaskan deru eksotis Kota Pelacur ini.
Seakan sang ratu dari negeri “Anderson” dalam lakon Sepatu Kaca
Belum ada lekukan tubuhnya yang, membuatkan semilir sejuk angin kehidupan,
Sementara sang abang becak hanya mampu menjaring terkaman panas matahari
Roda rodanya berkeluh kesah menerbangkan debu debu,
Meninggalkan jejak kemaksiatan…

Dalam birama reformasi, yang tidak kunjung mengerti semua mata yang nanar
Dan menawarkan air tawar dalam gelas beralas daun pandan,
Hingga tulang rusukpun tidak ikut mengoyak jantung yang meradang
Dalam kota itu “Festival Pelacur” berlangsung dengan meriah,
Tidak ada lagi dada telanjang dari anak desa
Yang bermesraan dengan kelembutan malam, untuk menjemput bulan purnama

Bulan…!, jangan kau ikutkan angin yang tidak punya tautan
Menghardik semua yang mampu memincingkan mata pada Kota Pelacur ini,
Tapi tawarkan angin segar, agar wanita wanita di taman kota
Yang bergaun warna warni, tak ada lagi kain yang lapuk dan pengap,
Biarkan aku selipkan apa yang harus aku pegang kuat kuat
Meski Kota Pelacur ini telah kuat menggigitku
Hingga lengan ini tak ringan lagi bertaut dengan tubuhku
Kota Pelacurku, akupun tak akan menyambutmu dengan wajah
Berlipat, bergayut bulan mati, berenda gerigi ilalang

Aku sudah tidak sanggup lagi pada gelisah dan jalangnya
Tiap sudut Kota Pelacur yang ikut memercikan wajah wajah marah
Dengan tubuh yang terbujur kaku dan sorot kebencian,
Masih saja dalam sudut hati, aku susun sedikit bunga rampai kesabaran
Agar mampu kutautkan ornament “warna jingga” milik  remaja
yang sedang menggapai
Cinta…yang membius anganku
Sehingga kau tampak seperti “Taman Pelangi”
Yang berbicara dengan bahasa warna

Mari kita labuhkan sampan…bercabda angin pagi,
Biarkan sore menunggu di balik cakrawala
Berilah kepadaku jalan jalan taman, agar aku mampu menyapu
Pandangan mata yang tampak “tak sahaja” lagi
Asal aku mengenal Kota Pelacur ini dan mampu meninggikan,
Kanopi menuju persembahan kepada Sang Penjaga Langit
Agar aku mampu mengintai jalan jalan
yang penuh dengan sedu sedan sang empu liar dan jalang

Semburat warna yang menyedu dalam tiap pagi
Yang disodorkan oleh Tangan Sang Pencipta
Akan aku tawarkan agar mampu meminang canda tawa mereka
Yang ada di cerita Kota Pelacur (Semarang, 11 April 2011)

Atmosfer Negeriku

Bila lentera telah menyerpih dalam wajah menghitam
Menggantung di atmosfer menebar jelaga pengap
Ditelikung dengan bedak gincu, bertebar sembilu menusuk langit
Pantas sudah sebuah pentas hidup
Dari selaksa ilalang,
Berakar tak seberapa kokoh
Masih mendenguskan nafas di semilir
angin pagi…..tiada penat melepas galau
Kala harus menebas tabir kokoh

Ilalang yang tak kuasa menjaring angin
Harus menanggalkan tenggorokanya yang mengering
Tiada mereka pernah tahu warna pelangi
Tempat menanggalkan sebelah tanganya
Mungkin pula rona pelangi di Negeri Yunani
Atau tersangkut di padang Nigeria
Nyanyi pilupun tak mampu
Meronakan pelangi dengan nafas manusiawi

Atmosferpun kini terkapar …berdandan lusuh
Mengerang bagai singa penjaga kaki langit
Masih adakah sebilah jantung
Agar ilalang bercanda dengan kesejukan
Atmosfer menggurat langit  (Semarang, 22 Oktober 2010)

Hingga Di Ujung Langit
Kala aku sampaikan esai tentang…..
Halaman rumah biru bertebar asa
Harusnya berpintu rapat dari musim..
Yang menebar debu anarkis
Menghalau lakon dengan kerah baju
Bercorak koruptor…berenda nanar

Kita tak mungkin lagi mengusung
Detik waktu hingga ujung langit
Bila halaman  rumah bertebar duri
Bila semai keteduhan jiwa
Menyalak dengan taring tajam
Dan kuku yang menerkam leher
Negeri ini

Marilah kita sambung tali
Hingga ujung langit
Untuk bersandar anak cucu kita (Semarang, 22 Oktober 2010)


Telah HabisWaktu Kita

Ketika para dewa tidur di ketiak langit
Berbantal mega, berselimut kain biru
Berseloroh dengan hijau alam, dengan…
Duduk manja di Puncak Merapi
Membasuh badanya di Danau Toba
Maka terciptalah “Archipelago”.

Namun beranda para dewa kini..
Bersimbah air mata dan darah
Beraroma mesiu dan ego,
Adakah waktu lagi, hingga….
Lebih eksotis lagi dandanan “Archipelago”
Agar mampu menyunting cakrawala timur
Dan mengais keadilan di tumpukan…
jerami kering, melekang tak beruntai senyum
Hingga bocah bocah lugu
Masih bisa mendengar lenguh sapi …
Di negeri hijau makmur,,
Bermandi angin katulistiwa. (Semarang, 22 Oktober 2010)  


Kereta Api Untuk Presidenku
Telah berkemas semua anak bangsa….
Agar bisa menderu bersama kereta api….di batas jendela kaca
Yang berangkat dari halaman istana Negara

Sementara pagi masih berkabut,
Melewati stasiun Semanggi dan Ampera
Di atas roda roda besi
Ada seonggok nyanyi kumbang
Dengan bulu warna warni
Untuk siap meranggas padang yang
Diterkam kemarau panjang

Sang kereta apipun,
Terus melaju memecah angin muson
Di bantaran rel hedonisme dan lancung
Lantas sang kereta api sejenak
Melepas lelah, ditepian kubangan Lumpur
Yang panas dari perut bumi

Sang kereta api meradang pilu,
Dari saudara tua yang kenyang radioaktif.
Atau nyanyian binal si kulit hitam Ethiopia,
Entah dari sebrang mana Gadhafi berteduh dari pahatan bara
Bila telah hilang nyanyian para dewa  (Semarang, 16 April 2010)