Aku tertegun sendirian di serambi yang mulia menuju pintu kesabaran ini. Aku jinjing semua kisah hidup yang lama aku pendam. Satu demi satu aku ungkapkan kepada Engkau di balik mega sana. Saat itu malampun telah larut. Meski suara alam telah mulai bergemerincing untuk membangunkan semua yang lusuh, berbaju dengan hiasan benang kumal, yang mampu menerbangkan debu – debu kesombongan.
Taktala
telah aku benahi hidup ini pada garis bulan
selembar hidup ini. Semoga bisa merapat menjadi satu ampunan dosa,
mengikis laknat dariMU atau berganti dengan samudra RahmatMU. Aku tertunduk
lesu, meski kadang ego dan sekeranjang nafsu ingin membelaku dan segera menjauh
dari kemuliaanMU.
Di balik
pengap dan sesaknya tragedi hidup manusia, kadang ada secuil rasa ingin
menghampiriMU dan sekedar mengguyur air dingin hati yang merona panas ini.
Hidup yang menurut syair keindahan adalah semata hanya numpang minum saja. Namun ada kalanya
manusia mengartikan sebagai kuda pacuan
di lintasan yang tak berujung dan dipenuhi penonton yang mengharu-birukan arti
dunia.
Apabila
telah sampai masanya, akupun ingin betelanjang hingga kelihatan semua kotoran
yang menempel pada kulit tubuhku. Mungkin di kulit lenganku, ada sekumpulan
rasa iri, tamak dan rakus, yang menurut nasehat orang tuaku adalah mata air
keruh yang mampu memancari air dosa yang keruh.
Mungkin
pula di kulit dahiku ada selembar riya, sombong dan takabur yang terus menempel
pada jejalanan lurus panjang menuju Engkau. Sehingga kotoran ini bisa terus
mengaburkan batas pandangku untuk meniti tentang Engkau. Dinding putih kemudian
menghampiriku pada jarak yang tak kumengerti, seraya berkata
“Isilah keranjang yang ada di depanmu itu
dengan segala keindahan hidup, yang bisa berupa tingkah lakumu, lisanmu, tanganmu
dan budi baikmu pada sesama “.
Akupun
menjadi surut kebelakang seraya kujawab ;
“Namun apakah keranjang itu bisa memuat
niatku, dari hati yang kotor ini. Sedang pakaian yang kukenakan saja telah lupa
aku cuci saat berjalan di padang gersang yang berlautan debu.
“Sudahlah mumpung hari masih pagi, masih bisa
engkau bernafas memunguti butir hidup yang engkau sukai , sebab ada suatu masa
nantinya dimana nafas ini akan hilang terbawa angin kembara terselip di awan
hitam “
“Oh. . . alangkah ragunya aku, ataukah
mungkin pada setiap denyut nadiku ini ada seribu iblis yang menggodaku ?”.
Akupun tidak tahu jawaban ini, yang
jelas suara ini lepas begitu saja dari
jantung kiriku.
“Bila tidak segera engkau lenyapkan maka akan
tersumbat seluruh nadimu sehingga engkau akan terkapar penuh ketidak- tahuan “
sahut dinding putih yang merengkuhku.
Tertawalah
berderai sayap-sayap hitam yang memenuhi malam ini, Nyaring suaranya hingga
membuat dada ini sesak. Namun kembali aku berusaha untuk tegap dan bangun dari
seribu sayap yang menelikung tubuhku, yang mengangkat kerah bajuku hingga
menggantung seluruh tubuhku yang gontai berjalan.
Akulah
yang ingin pulang kepada dimana mulai aku hadir ini, dimana ada celoteh kasih
sayang, pelukan kasih dari Yang Maha
Kuasa, yang telah membungkusku dalam
sekotak kisah cerita tentang perjalanan
ini.
Tak akan
kuliwati dan akan kubiarkan saja bila sayap – sayap putih Malaikat Penerang
Malam memenuhi setiap penjuru bumi. Biar aku jadikan titian untuk menujuMU,
yang mulai menghilangkan temaram malam yang tak berujung pagi.
Sayap
yang tumbuh di dahi para Malaikat itu adalah titianku untuk menuju apa makna
dari seriap catatan yang kubuat sendiri. Sedangkan sayap inipun mampu untuk
melibas semua sayap hitam yang akan membimbuingku ke arah mimpi yang tak tentu
arah.
Sedangkan
sayap yang ada di dada malaikat itu,
biarlah akan aku gunakan untuk
menjaga gumpalan daging Iman di hatiku. Biar mampu bersemayam dengan damai
hingga berakhirnya jarum waktu.
“Oh
alangkah ringannya tubuhku melayang melewati bintang-demi bintang. Oh alangkah
tertinggalnya bulan di sudut ruang kalbuku. Janganlah pernah kau tionggalkan aku
oh bintang yang berbinar terang “
“Aku berikan seberkas sinar ini saja, wahai
engkau manusia yang ingin berbuat kebajikan “ seru bintang tatkala aku berhasil
mendekatinya.
“Peluklah daku oh seberkas sinar, bila
engkau berhasil menggoreskan di sisa hidupku ini, mungkin akan aku jadikan bekal di perjalanan menuju yang menerangimu oh. .
Bintang “
“Apakah engkau sudah jemu dengan permainan
deru dan debu yang kau buat
sendiri. Hai manusia durjana, yang
mengibaskan dosa di setiap dentang waktu
“
“Akupun tak tahu, hanya saja sudah ada
kepengapan dalam tembang dolanan yang biasanya kunyanyikan. Jangankan yang
menerangimu, alampun saat ini sedang beramai-ramai menguliti setiap kedurjanaan
ini”
“Kedurjanaan
yang dilakukan siapa. Hai. . . manusia ? “ tanya
Sang Bintang
“Entahlah,
kedurjanaan ini adalah yang seringkali diciptakan manusia “
“Apakah
sering kau curi kekufuranmu sendiri dari catatan yang ada di langit “. Sang
Bintang bertanya hingga suaranya mampu merobohkan semua gunung di bumi. Akibat
dari lukisan jiwa manusia yang mengotori kanvas RachmatNYA yang terhampar luas
di bumi.
Kekufuran yang mampu membangkitkan ombak
tsunami, kekufuran yang mampu menerjangkan badai dan topan, kekufuran ini pula
yang memuntahan isi perut bumi. Dan terkadang pula menggetarkan permukaan bumi.
Sementara itu manusia hanya mampu berteriak panik.
“Lantas
apakah mampu manusia membendung ini semua, Wahai bintang yang setia menemani
malamku “
“Engkau
hanya sebutir pasir di padang pasir, engkau hanya sebuah daun kering yang
kapanpun bisa gugur memenuhi permukaan bumi. . . maka hendaklah basahi
lidahmu yang kelu itu dengan wewangian
yang mampu menembus ujung langit. . .hadapkanlah wajahmu yang penuh dengan
tengadah sombong untuk kau tundukan dan hadapkanlah ke arah Dzat Yang Kekal dan
Abadi. Isilah malam – malam yang senyap
dengan goresan warna yang bening, yang tiada lagi goresan hitam”
“Apakah duduk simpuhku ini sudah mampu
membawaku ke Yang Kekal dan Abadi itu ?,
Jawablah wahai Sang Bintang, mumpung belum terdengar denting fajar menjemputku”
“Janganlah
pernah kau tanya lagi, telingaku
sudah lelah mendengar hangar – bingar
manusia yang berburu nafsu ingin
mendapatkan segenggam pujian. Janganlah
kau ungkapkan lagi tabir yang tak akan pernah kau tahu. Kecuali bila engkau
telah mendapatkan denting waktu yang menjadi milikmu “
“Lantas aku harus bagaimana ? “.
Tanyaku yang terhenyak kaget dengan jawaban Sang Bintang.
“Yang Telah Menciptaku tiada pernah merasa
bosan dengan apa yang dimunajatkan
manusia. Meski manusia itu sendiri telah
lelah melewati bingkai demi bingkai niatnya. Teruskanlah apa saja yang
dapat kau maui “.
Oh. . .terlalu jauh perjalanan sepertiga
malam ini, namun tak kuhiraukan penatnya
otot tubuhku. Asalkan aku dapat meringankan tubuh ini untuk terbang
bersama semua alam yang bersimpuh menyembah Yang Maha Kekal dan Abadi. Agar aku
bisa merasakan wanginya bunga-bunga yang mekar diiringi suara cicit burung
menyambut esok hari.
Akan aku
buat pula catatan denga warna kertas yang baru, yang bertepikan kepastian dan
syair – syair hidup penuh makna.
Tapi kembali untuk kesekian kalinya
dalam episode malam yang penuh kebimbangan,,
berkelebatlah bayangan hitam,
sebuah tirai hitam masa lau. Yang telah lama aku campaka. Kini telah berdiri kokoh, dan menjadi
penghalang bagiku, yang sudah mulai terbangun di tengah dinding putih.
Seraya
membenamkan suara parau ke dalam dadaku, diiringi kedua matanya yang
merah dan memancarkan penuh kebencian, dengan dengus nafas yang busuk dan wajah yang bersungut, pertanda menebarkan kebencian ke arahku. Dengan lantang dan penuh kelicikan,
dibelenggunya sayapku yang sudah sarat
beban hidup.
“Hai. . . manusia hina !. Apakah belum
cukup segala kenikmatan yang akau tuangkan pada jiwamu yang lapar dan haus ? .
Apakah belum cukup. . .Hai manusia bejad ? “.
“ Entah darimana asalmu, hai bayang hitam
?. Apakah belum cukup juga engkau
membelenggu sayap-sayapku. Padahal telah remuk- redam tulang-tulang penguat
sayapku. Padahal telah aku sampaikan beribu-ribu kataku, yang menjadikan basah
lidahku, untuk menolak semua kesemuanmu itu.
Enyahlah kamu !. Arungi saja laut kenistaan yang memang dari situ asalmu “
“ Sudah miringkah kiblatmu ? Sudah
bosankah engkau dekat denganku ?. Apakah
begitu saja sumpah setiamu engkau ganti dengan cacian hina. Dari tenggorokanmu
yang dahulu aku basahi dengan air tawar pendingin nafsumu “
“ Hai… jangan engkau bicarakan nafsu. Karena keangkuhanmu, mana mungkin engkau akan
mampu membedakan air sejuk yang sanggup melapangkan dada seisi bumi dengan air
yang membuat kedua mata manusia menjadi nanar. Sekali lagi jangan kau
ungkapkan tentang nafsu ! “.
“ Mengapa
engkau berkata begitu ?. Kalau kau
telah tahu akan semua yang ada di balik
langit biru. Mengapa engkau dahulu menghadirkanku guna
Semenatara itu sudah tiada lagi selembar
daunpun yang bergerak dihembus angin malam. Lantaran malam telah terbujur
kaku, kembali malam penuh keraguan dan
kebisuan
yang tidak lagi mampu aku baca. Lantaran aku
telah larut dengan diriku sendiri, yang telah akrab dengan titian sisa malam
yang terang benderang.
Sementara itu sempat aku kibaskan
tangan kananku, yang telah dilengkapi dengan pedang yang tajam dan beruntai
permata, untuk menunjamkan dalam-dalam ke jantung bayangan hitam hingga
bercerai-berai, menjadi seonggop sampah dari masa laluku.
Biarlah
sayap=sayapku kini kokoh lagi, biarlah
Sementara dari serambi surau tua terdengar
suara Adzan Subuh, yang mengabarkan tabir fajar telah tersingkap, Saat pula semua hati harus
tertunduk untuk mengikrarkan bahwa kita hanya
sesuatu yang terselip di JariNYA. Kembali aku menerbangkan setiap yang
aku miliki untuk menghadapMU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar