Minggu, 18 November 2012

Di Sepertiga Malam




Aku tertegun sendirian di serambi yang mulia menuju pintu kesabaran ini. Aku jinjing semua kisah hidup yang lama aku pendam. Satu demi satu aku ungkapkan kepada Engkau di balik mega sana. Saat itu malampun telah larut. Meski suara alam telah mulai bergemerincing untuk membangunkan semua yang lusuh,  berbaju dengan hiasan benang kumal, yang mampu menerbangkan debu – debu kesombongan.

Taktala telah aku benahi hidup ini pada garis bulan  selembar hidup ini. Semoga bisa merapat menjadi satu ampunan dosa, mengikis laknat dariMU atau berganti dengan samudra RahmatMU. Aku tertunduk lesu, meski kadang ego dan sekeranjang nafsu ingin membelaku dan segera menjauh dari kemuliaanMU.

Di balik pengap dan sesaknya tragedi hidup manusia, kadang ada secuil rasa ingin menghampiriMU dan sekedar mengguyur air dingin hati yang merona panas ini. Hidup yang menurut syair keindahan adalah semata  hanya numpang minum saja. Namun ada kalanya manusia mengartikan sebagai  kuda pacuan di lintasan yang tak berujung dan dipenuhi penonton yang mengharu-birukan arti dunia.

Apabila telah sampai masanya, akupun ingin betelanjang hingga kelihatan semua kotoran yang menempel pada kulit tubuhku. Mungkin di kulit lenganku, ada sekumpulan rasa iri, tamak dan rakus, yang menurut nasehat orang tuaku adalah mata air keruh yang mampu memancari air dosa yang keruh.


Mungkin pula di kulit dahiku ada selembar riya, sombong dan takabur yang terus menempel pada jejalanan lurus panjang menuju Engkau. Sehingga kotoran ini bisa terus mengaburkan batas pandangku untuk meniti tentang Engkau. Dinding putih kemudian menghampiriku pada jarak yang tak kumengerti, seraya berkata

      “Isilah keranjang yang ada di depanmu itu dengan segala keindahan hidup, yang bisa berupa tingkah lakumu, lisanmu, tanganmu dan budi baikmu pada sesama “.
Akupun menjadi surut kebelakang seraya kujawab ;

    “Namun apakah keranjang itu bisa memuat niatku, dari hati yang kotor ini. Sedang pakaian yang kukenakan saja telah lupa aku cuci saat berjalan di padang gersang yang berlautan debu.

      “Sudahlah mumpung hari masih pagi, masih bisa engkau bernafas memunguti butir hidup yang engkau sukai , sebab ada suatu masa nantinya dimana nafas ini akan hilang terbawa angin kembara terselip di awan hitam “

    “Oh. . . alangkah ragunya aku, ataukah mungkin pada setiap denyut nadiku ini ada seribu iblis yang menggodaku ?”. Akupun tidak tahu jawaban ini,  yang jelas  suara ini lepas begitu saja dari jantung kiriku.

       “Bila tidak segera engkau lenyapkan maka akan tersumbat seluruh nadimu sehingga engkau akan terkapar penuh ketidak- tahuan “ sahut dinding putih yang merengkuhku.
Tertawalah berderai sayap-sayap hitam yang memenuhi malam ini, Nyaring suaranya hingga membuat dada ini sesak. Namun kembali aku berusaha untuk tegap dan bangun dari seribu sayap yang menelikung tubuhku, yang mengangkat kerah bajuku hingga menggantung seluruh tubuhku yang gontai berjalan.

Akulah yang ingin pulang kepada dimana mulai aku hadir ini, dimana ada celoteh kasih sayang,  pelukan kasih dari Yang Maha Kuasa,   yang telah membungkusku dalam sekotak   kisah cerita tentang perjalanan ini.

Tak akan kuliwati dan akan kubiarkan saja bila sayap – sayap putih Malaikat Penerang Malam memenuhi setiap penjuru bumi. Biar aku jadikan titian untuk menujuMU, yang mulai menghilangkan temaram malam yang tak berujung pagi.

Sayap yang tumbuh di dahi para Malaikat itu adalah titianku untuk menuju apa makna dari seriap catatan yang kubuat sendiri. Sedangkan sayap inipun mampu untuk melibas semua sayap hitam yang akan membimbuingku ke arah mimpi yang tak tentu arah.

Sedangkan sayap yang ada di dada malaikat itu,  biarlah akan aku  gunakan untuk menjaga gumpalan daging Iman di hatiku. Biar mampu bersemayam dengan damai hingga berakhirnya jarum waktu.
   “Oh alangkah ringannya tubuhku melayang melewati bintang-demi bintang. Oh alangkah tertinggalnya bulan di sudut ruang kalbuku. Janganlah pernah kau tionggalkan aku oh bintang yang berbinar  terang  
   “Aku berikan seberkas sinar ini saja, wahai engkau manusia yang ingin berbuat kebajikan “ seru bintang tatkala aku berhasil mendekatinya.
   “Peluklah daku oh seberkas sinar, bila engkau berhasil menggoreskan di sisa hidupku ini,  mungkin akan aku jadikan bekal  di perjalanan menuju yang menerangimu oh. . Bintang “
   “Apakah engkau sudah jemu dengan permainan deru dan debu  yang kau buat sendiri.  Hai manusia durjana, yang mengibaskan dosa di setiap dentang  waktu “
   “Akupun tak tahu, hanya saja sudah ada kepengapan dalam tembang dolanan yang biasanya kunyanyikan. Jangankan yang menerangimu, alampun saat ini sedang beramai-ramai menguliti setiap kedurjanaan ini”
    “Kedurjanaan  yang dilakukan siapa. Hai. . . manusia  ? “  tanya Sang Bintang
    “Entahlah, kedurjanaan ini adalah yang seringkali diciptakan manusia “
    “Apakah sering kau curi kekufuranmu sendiri dari catatan yang ada di langit “. Sang Bintang bertanya hingga suaranya mampu merobohkan semua gunung di bumi. Akibat dari lukisan jiwa manusia yang mengotori kanvas RachmatNYA yang terhampar luas di bumi.
   Kekufuran yang mampu membangkitkan ombak tsunami, kekufuran yang mampu menerjangkan badai dan topan, kekufuran ini pula yang memuntahan isi perut bumi. Dan terkadang pula menggetarkan permukaan bumi.  Sementara  itu manusia hanya mampu berteriak panik.
   “Lantas apakah mampu manusia membendung ini semua, Wahai bintang yang setia menemani malamku “
   “Engkau hanya sebutir pasir di padang pasir, engkau hanya sebuah daun kering yang kapanpun bisa gugur memenuhi permukaan bumi. . . maka hendaklah basahi lidahmu  yang kelu itu dengan wewangian yang mampu menembus ujung langit. . .hadapkanlah wajahmu yang penuh dengan tengadah sombong untuk kau tundukan dan hadapkanlah ke arah Dzat Yang Kekal dan Abadi.   Isilah malam – malam yang senyap dengan goresan warna yang bening, yang tiada lagi goresan hitam”
  “Apakah duduk simpuhku ini sudah mampu membawaku ke Yang Kekal dan Abadi  itu ?, Jawablah wahai Sang Bintang, mumpung belum terdengar denting fajar menjemputku”
   “Janganlah pernah kau tanya lagi,  telingaku sudah  lelah mendengar hangar – bingar manusia yang  berburu nafsu ingin mendapatkan  segenggam pujian. Janganlah kau ungkapkan lagi tabir yang tak akan pernah kau tahu. Kecuali bila engkau telah mendapatkan denting waktu yang menjadi milikmu “
   “Lantas aku harus bagaimana ? “. Tanyaku  yang terhenyak kaget dengan  jawaban Sang Bintang.
   “Yang Telah Menciptaku tiada pernah merasa bosan dengan apa yang dimunajatkan  manusia. Meski manusia itu sendiri telah  lelah melewati bingkai demi bingkai niatnya. Teruskanlah apa saja yang dapat kau maui “.
   Oh. . .terlalu jauh perjalanan sepertiga malam ini,  namun tak kuhiraukan  penatnya  otot tubuhku. Asalkan aku dapat meringankan tubuh ini untuk terbang bersama semua alam yang bersimpuh menyembah Yang Maha Kekal dan Abadi. Agar aku bisa merasakan wanginya bunga-bunga yang mekar diiringi suara cicit burung menyambut esok hari.
Akan aku buat pula catatan denga warna kertas yang baru, yang bertepikan kepastian dan syair – syair hidup penuh makna.
       Tapi kembali untuk kesekian kalinya dalam episode malam yang penuh kebimbangan,,  berkelebatlah bayangan hitam,  sebuah tirai hitam masa lau. Yang telah lama aku campaka.  Kini telah berdiri kokoh, dan menjadi penghalang bagiku, yang sudah mulai terbangun di tengah dinding putih. 
        Seraya  membenamkan suara parau ke dalam dadaku, diiringi kedua matanya yang merah dan memancarkan penuh kebencian, dengan dengus nafas yang busuk dan  wajah yang bersungut, pertanda  menebarkan kebencian ke arahku.  Dengan lantang dan penuh kelicikan, dibelenggunya sayapku yang sudah  sarat beban hidup.
    “Hai. . . manusia hina !. Apakah belum cukup segala kenikmatan yang akau tuangkan pada jiwamu yang lapar dan haus ? . Apakah belum cukup. . .Hai manusia bejad ? “.
    “ Entah darimana asalmu, hai bayang hitam ?.   Apakah belum cukup juga engkau membelenggu sayap-sayapku. Padahal telah remuk- redam tulang-tulang penguat sayapku. Padahal telah aku sampaikan beribu-ribu kataku, yang menjadikan basah lidahku, untuk menolak semua  kesemuanmu itu. Enyahlah kamu !. Arungi saja laut kenistaan yang memang dari situ asalmu “
     “ Sudah miringkah kiblatmu ? Sudah bosankah  engkau dekat denganku ?. Apakah begitu saja sumpah setiamu engkau ganti dengan cacian hina. Dari tenggorokanmu yang dahulu aku basahi dengan air tawar pendingin nafsumu “
     “ Hai… jangan engkau  bicarakan nafsu.  Karena keangkuhanmu, mana mungkin engkau akan mampu membedakan air sejuk yang sanggup melapangkan dada seisi bumi dengan air yang membuat kedua mata manusia menjadi nanar. Sekali lagi jangan kau ungkapkan  tentang nafsu ! “.
“ Mengapa engkau berkata begitu ?.  Kalau kau telah  tahu akan semua yang ada di balik langit biru. Mengapa engkau dahulu menghadirkanku guna
      Semenatara itu sudah tiada lagi selembar daunpun yang bergerak dihembus angin malam. Lantaran malam telah terbujur kaku,  kembali malam penuh keraguan dan kebisuan
 yang tidak lagi mampu aku baca. Lantaran aku telah larut dengan diriku sendiri, yang telah akrab dengan titian sisa malam yang terang benderang.
        Sementara itu sempat aku kibaskan tangan kananku, yang telah dilengkapi dengan pedang yang tajam dan beruntai permata, untuk menunjamkan dalam-dalam ke jantung bayangan hitam hingga bercerai-berai, menjadi seonggop sampah dari masa laluku.
Biarlah sayap=sayapku kini kokoh lagi, biarlah
   Sementara dari serambi surau tua terdengar suara Adzan Subuh, yang mengabarkan tabir fajar telah  tersingkap, Saat pula semua hati harus tertunduk untuk mengikrarkan bahwa kita hanya  sesuatu yang terselip di JariNYA. Kembali aku menerbangkan setiap yang aku miliki untuk menghadapMU.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar