Biar disemai saja dalam haribaan “Archipelago”
Yang bermanik Merapi, Krakatau atau Bromo,
Kita memang tidak pandai lagi, dalam merajut bunga bunga
wangi
Dalam karangan yang bertepi
Jaya Wijaya dan Semenanjung Malaka
Ataukah hanya deru dan debu prosa…..
Yang sarat dengan tema “kaki ilalang”, yang menepi…
Diantara buritan yang hendak mengencangkan layar
Melaju di birunya perdebatan kata hati……
Sang bunga bangsa yang telah lenyap separo hatinya
Kita hanya mampu belajar dari sesuap tiwul
Yang menyergap hidung, mulut dan tenggorokan kita
Hingga menyampakan tuang tulang iga yang kini
telah menusuk dada kita sendiri
Kita tidak lagi berseloroh dengan rayuan pulau kelapa
Kala anak anak kita bertelanjang kaki
Di pagi penuh halimun…….
Untuk menyuapi asa pada serumpun kembang taman
Ini adalah nanar pandang mata dengan lengan kecil
Meluruh, tak lagi mampu memaksakan kepalan tangan
Negeri ini telah bermandi air bunga surga
Saat bunga bangsa memerahkan mawar dengan darahnya sendiri
Melatipun memutihkan dinding hati mereka
Hingga kenanga dan anyelir tetap saja menerjangkan mereka (Semarang, 7 Januari 2011)
Tak seberapa berat jubah jubah
hitam, yang kau kenakan,
Harusnya pada bunga kau sebarkan
perawan perawan…sang penunggu
kebun bunga
Hingga “sang putik yang semi”
mampu menyeringai pakaianmu
Mampukah kau terbang ke awan-awan
yang menyimpan butir air
Yang mampu membersihkan nama yang
kau usung
Sebagai pahlawan tanpa mustika
yang menjerat leher…
Namun bila kau mampu menjangkau
tepi malam
Yang tak pernah berujung fajar,
maka kaupun tak akan
Mampu melihat putik putik bunga
berseri wajahnya di pagi
Lantaran tidak mampu kau genggam
arah angin
Yang menawarkan sari sari… bila
putik telah bergelora.
Ataukah memang kau mengumpat pada
rumah bambumu
Yang sebenarnya berona ribuan
warna cat minyak
Mengapa lantaran mata yang kau
pincingkan, mereka hanya ….
Terlihat suram kapur dinding,
yang menyudutkan segenap
Ilustrasimu, yang kau benamkan
jauh di sudut jantungmu
Tentang tanaman melati dan
kenanga
Yang tumbuh di vas hatimu
Jangan lagi kau ajak tersenyum
ceria jubah jubah hitam
Karena mereka adalah dihardik
dari “negeri sengsara”
Yang tak patut kau tempati
Selamat pagi pahlawanku, biar kau kenakan sayap putih
Agar kau mampu memetik bintang (Semarang,
12 April 2011)
Kota Pelacur
Lampu lampu jalan yang redup
turut membunuh kota itu…kota di jantung
“Archipelago”…kubangan mandi
bidadari
Yang tanpa nafas menggeliat,
untuk memelantingkan rumah kardus
Di tepian sungai berwarna hitam
dan menyesakan rongga dada,
Dengan langkah berat bersepatu
kulit dari “Sang Koruptor” yang membuat aspal jalan
Menganga berlubang….menghardik
bajaj dan abang becak,
Akupun menyelinap di sela tubuh
beton pengap, tempat tawa ‘kelu’ bibir
Pucat.. untuk menghabiskan
selembar demi selembar penghidupan
Noni yang hitam kelam kulitnya,
namun berbibir sumbing
Melampiaskan deru eksotis Kota
Pelacur ini.
Seakan sang ratu dari negeri “Anderson”
dalam lakon Sepatu Kaca
Belum ada lekukan tubuhnya yang,
membuatkan semilir sejuk angin kehidupan,
Sementara sang abang becak hanya
mampu menjaring terkaman panas matahari
Roda rodanya berkeluh kesah
menerbangkan debu debu,
Meninggalkan jejak kemaksiatan…
Dalam birama reformasi, yang
tidak kunjung mengerti semua mata yang nanar
Dan menawarkan air tawar dalam
gelas beralas daun pandan,
Hingga tulang rusukpun tidak ikut
mengoyak jantung yang meradang
Dalam kota itu “Festival Pelacur”
berlangsung dengan meriah,
Tidak ada lagi dada telanjang
dari anak desa
Yang bermesraan dengan kelembutan
malam, untuk menjemput bulan purnama
Bulan…!, jangan kau ikutkan angin
yang tidak punya tautan
Menghardik semua yang mampu
memincingkan mata pada Kota Pelacur ini,
Tapi tawarkan angin segar, agar
wanita wanita di taman kota
Yang bergaun warna warni, tak ada
lagi kain yang lapuk dan pengap,
Biarkan aku selipkan apa yang
harus aku pegang kuat kuat
Meski Kota Pelacur ini telah kuat
menggigitku
Hingga lengan ini tak ringan lagi
bertaut dengan tubuhku
Kota Pelacurku, akupun tak akan
menyambutmu dengan wajah
Berlipat, bergayut bulan mati,
berenda gerigi ilalang
Aku sudah tidak sanggup lagi pada
gelisah dan jalangnya
Tiap sudut Kota Pelacur yang ikut
memercikan wajah wajah marah
Dengan tubuh yang terbujur kaku
dan sorot kebencian,
Masih saja dalam sudut hati, aku
susun sedikit bunga rampai kesabaran
Agar mampu kutautkan ornament
“warna jingga” milik remaja
yang sedang menggapai
Cinta…yang membius anganku
Sehingga kau tampak seperti
“Taman Pelangi”
Yang berbicara dengan bahasa
warna
Mari kita labuhkan
sampan…bercabda angin pagi,
Biarkan sore menunggu di balik
cakrawala
Berilah kepadaku jalan jalan
taman, agar aku mampu menyapu
Pandangan mata yang tampak “tak
sahaja” lagi
Asal aku mengenal Kota Pelacur
ini dan mampu meninggikan,
Kanopi menuju persembahan kepada
Sang Penjaga Langit
Agar aku mampu mengintai jalan
jalan
yang penuh dengan sedu sedan sang
empu liar dan jalang
Semburat warna yang menyedu dalam
tiap pagi
Yang disodorkan oleh Tangan Sang
Pencipta
Akan aku tawarkan agar mampu
meminang canda tawa mereka
Yang ada di cerita Kota Pelacur (Semarang,
11 April 2011)
Atmosfer Negeriku
Bila lentera telah menyerpih dalam wajah menghitam
Menggantung di atmosfer menebar jelaga pengap
Ditelikung dengan bedak gincu, bertebar sembilu menusuk
langit
Pantas sudah sebuah pentas hidup
Dari selaksa ilalang,
Berakar tak seberapa kokoh
Masih mendenguskan nafas di semilir
angin pagi…..tiada penat melepas galau
Kala harus menebas tabir kokoh
Ilalang yang tak kuasa menjaring angin
Harus menanggalkan tenggorokanya yang mengering
Tiada mereka pernah tahu warna pelangi
Tempat menanggalkan sebelah tanganya
Mungkin pula rona pelangi di Negeri Yunani
Atau tersangkut di padang Nigeria
Nyanyi pilupun tak mampu
Meronakan pelangi dengan nafas manusiawi
Atmosferpun kini terkapar …berdandan lusuh
Mengerang bagai singa penjaga kaki langit
Masih adakah sebilah jantung
Agar ilalang bercanda dengan kesejukan
Atmosfer menggurat langit
(Semarang, 22 Oktober 2010)
Hingga Di Ujung Langit
Kala aku sampaikan esai tentang…..
Halaman rumah biru bertebar asa
Harusnya berpintu rapat dari musim..
Yang menebar debu anarkis
Menghalau lakon dengan kerah baju
Bercorak koruptor…berenda nanar
Kita tak mungkin lagi mengusung
Detik waktu hingga ujung langit
Bila halaman rumah
bertebar duri
Bila semai keteduhan jiwa
Menyalak dengan taring tajam
Dan kuku yang menerkam leher
Negeri ini
Marilah kita sambung tali
Hingga ujung langit
Untuk bersandar anak cucu kita (Semarang, 22 Oktober 2010)
Telah HabisWaktu Kita
Ketika para dewa tidur di ketiak
langit
Berbantal mega, berselimut kain
biru
Berseloroh dengan hijau alam,
dengan…
Duduk manja di Puncak Merapi
Membasuh badanya di Danau Toba
Maka terciptalah “Archipelago”.
Namun beranda para dewa kini..
Bersimbah air mata dan darah
Beraroma mesiu dan ego,
Adakah waktu lagi, hingga….
Lebih eksotis lagi dandanan “Archipelago”
Agar mampu menyunting cakrawala
timur
Dan mengais keadilan di tumpukan…
jerami kering, melekang tak beruntai senyum
Hingga bocah bocah lugu
Masih bisa mendengar lenguh sapi
…
Di negeri hijau makmur,,
Bermandi angin katulistiwa. (Semarang,
22 Oktober 2010)
Kereta Api Untuk Presidenku
Telah berkemas semua anak bangsa….
Agar bisa menderu bersama kereta api….di batas jendela kaca
Yang berangkat dari halaman istana Negara
Sementara pagi masih berkabut,
Melewati stasiun Semanggi dan Ampera
Di atas roda roda besi
Ada
seonggok nyanyi kumbang
Dengan bulu warna warni
Untuk siap meranggas padang
yang
Diterkam kemarau panjang
Sang kereta apipun,
Terus melaju memecah angin muson
Di bantaran rel hedonisme dan lancung
Lantas sang kereta api sejenak
Melepas lelah, ditepian kubangan Lumpur
Yang panas dari perut bumi
Sang kereta api meradang pilu,
Dari saudara tua yang kenyang radioaktif.
Atau nyanyian binal si kulit hitam Ethiopia,
Entah dari sebrang mana Gadhafi berteduh dari pahatan bara
Bila telah hilang nyanyian para dewa (Semarang, 16 April 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar