arah mana lagi yang mampu
mengerling mata
bila dia harus mendapatkan kembang wangi
semua jalan telah
menyentaknya dalam lagu biru
sehalus rajutan kain selendang
perawan desa
dia manusia biasa, yang kering
tenggorokanya
kulit kakinya setebal asa yang
hanya menggantung
di cakrawala…
selaksa ruas jalan aspal yang
pongah, telah dia
jelajahi hingga tinggalah potret
hidup
berteman wajah yang bergurat
hitam pekat
kemana lagi dia akan
melengkingkan suara dadanya
bila haru biru dalam tebing kokoh
terlalu kuat
menghimpitkan seribu beban,
lazuardi hanya berteman diam membisu, tak ada
angin kembara
agar dia mampu menyemai kembang setaman
agar dia mampu menggenapkan pita
pelangi
agar tidak ada seloroh parau
burung burung
seribu warna.
sempat terlintas dalam benaknya
tentang boulevard di negeri sinderella
berteman dengan kuda kuda taman,
percikan air bening
membasahi rambutnya yang ikal
memberi gambaran hidup
tak ada lagi legam pipinya
tak ada lagi peluh yang
menghimpun resah dan keluh
namun gambaran itupun terbawa
angin liar
dan kembali dia dalam guratan
manusia manusia dengki
rakus, sombong dan durjana.
dia tak ada lagi di sini,
karena kita tak mengenalnya
seribu batang palmapun enggan
menyembunyikan
dia dalam suka bersama angin
kemarau
menjenguk sisi hatinya yang
telah lama terkubur
kita sisakan waktu meski
sepotong nafas kita
namun seribu raksasa bertangan
kokoh
menjaganya, agar dia
terpelanting jauh dari kita
dia dalam sepi…
akan kemana lagi ….
(Tegal, 5 Juni 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar