Jumat, 08 Juni 2012

satu dua angin


satu dua ikatan angin dari kutub liar
tak  mau meluruhkan sauh, atas kerlingan mata semua
yang tertelikung di bukit luas menjulang
menunggu sang “Edelweis” dan ilalang  menggelar permadani
mengatur nafasnya, basah tenggorokan mereka.

beberapa macam guratan indah, menawarkan sorga
di atas nampan kayu jati, tetap beraroma anyir
diusung hati yang membujurkan awan hitam
sedingin bola salju dari Antartika

kita jangan terus dibenamkan sepatu laras
berkulit macan dengan gigi pongah
namun menghardik dan menggeram
pada lengan-lengan kecil berhias mahkota mawar merah
dengan kelopak menghadap langit biru

demi setetes embun dan sejuknya pagi hari
kita bersama meratakan jalan licin tanah liat
menuju kedua rongga mata mereka yang
bulat,jernih dan mampu sigap melentingkan
tali asih, menuju jendela langit
bukan wedus gembel berwajah angkara

kita sepadan dalam menundukan angin kutub
agar mampu bersemayam di keranjang bambu
yang hanya kita miliki, untuk senyum sang fajar
yang menyelingkuhi kita sang pengantin baru
kita dalam damai.....

(Semarang, 4 Pebruari 2012).

S e j u k

belum juga kau datang
berkencan dengan baju robek
semilir angin
membelit tulang iga kita
hingga terbang semua
burung pipit berkepak
menjinjing kabar
kesejukan di tanah lapang
sejuk yang kita tunggu
masih di halimun senja
kita yang merindu bulan
terengah di sudut jaman
dengan terkaman mentari
menjulurkan lidahnya

satu dua bilah bambu
di halam rumah
mengoyakan nasionalisme
kita benahi
hardikan benang waktu

kita satukan
meski telah lepas
dipingit kata hati
bertaring tajam
dan berkerah hedonisme

(Semarang, 4 Pebruari 2012).

Kelambu Biru

dalam kata hati kita menepis
“solar flare” dan adonan parau
dari gumpalan awan beroman durjana
kita masih dalam kelambu biru
bertepi sang kata sakti
dan menjulangkan hamparan beludru biru
kita beratap kata seloroh hunian
Katulistiwa, dengan pilar
sesejuk padang luas berimbun
padi dan palawija

(Semarang, 4 Pebruari 2012).

Koruptor

biarlah  sang koruptor
melenggang dengan serampang dua belas
bertalu genderang, layaknya VOC memburu hasrat
telah menghitam panggung Ramayana
di pelataran Prambanan

sang koruptor dengan gontai memungut hari
senja memburu secepat kilat
sementara pagi mencibirkan  bibirnya
telah menyendiri nafas beraroma melati
kenanga dan mawar....

(Semarang, 4 Pebruari 2012).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar