Jumat, 01 Juni 2012

kutanyakan langit bumi




mengapa kita tak sederas air kali
yang sigap mengucuri sawah ladang dengan air
obat dahaga nafas yang hanya sampai leher
pada mentimun  dan lobak yang kembali
menggapai angin, dari lekukan bukit-bukit
sepanjang cakrawala.

mengapa kita tak segesit pipit di dahan cemara
kala pagi, siang dan sore selalu saja menggambar prosa
tentang ketidakraguan, mengepakan sayap mencuri ceria
dari padang luas tempat “sang dajjal” mengumbar kesumat
di seputar atmosfer berdebu nanar dan buruk sangka

mengapa kita tak bertanam semerbak wewangi
aroma kemanusiaan,
padahal putting beliung telah merapatkan kaki
berbaris sepanjang “Negeri Archipelago”, berpagar
ratna mutumanikam, kita hanya mampu menguntai
nada parau, ditikam burung hantu yang mengepalkan tangan
“sang dajjal” telah menderapkan langkah , menebarkan
debu musim kemarau yang pengap dan anyir.

mengapa kita tak setegap petani desa
yang sahaja dari pacuan kuda binal
menerjang sisi hati setiap yang berbaju petinggi
bergigi pongah dan bibirnya yang sumbing
terus melengkingkan atmosfer hitam dan kotor
di istana berajut lengan lengan lemah sepanjang dindingnya

mengapa kita tak pandai
berbasuh air sejuk dari Puncak Semeru atau
menghangatkan badan ari bara api sepanjang
bumi Papua, yang tak mampu membendung
air matanya.

selalu mestinya kita bertanga
pada langit dan bumi

(Tegal 17 Maret 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar