Mengapa kau
sembunyikan, titik hujan di
tulang igamu
Bila kau harus lukiskan kanvas alam
Dengan warna bugenvile, melati, anyelir
dan kenanga
Sudah pernahkah kau dengar,
Lenguh sapi yang menyusui anaknya, disamping
peraduan
jerami yang mengering
Mereka semua kini berdiri di kakiMU
Dengan saling melempar sorot mata mereka
Seakan telah habis semua dengus nafas
Aku rengkuh apa yang harus aku ceritakan
Pada daun palma yang mengering
Pada tiap tepian belukar yang
memalingkan muka
Menunjamkan dalam dalam dengan kesal
Pada air
sungai yang menghitam
Sudahkah kita semua mengatur nafas
Agar di nadi nadi kita tidak tertinggal tepian
cakrawala
Yang menambatkan pelangi yang bersusun
warna warna ranjang peraduan dan
“pakem” hidup kita
Tentang lengan lengan kecil bocah…..
Yang kita papah untuk menerima suapan
nasi
Tetapi kini semua mengering
dan mengadukan pada semua penjuru langit
yang halus KAU susun semua plasma
tubuhmu (Tegal, 7 Oktober 2011)
Malam Bertabur
Bintang
Satu dua bintang mulai bereksotis
Semakin kencang berlari jarum waktu
Semakin berani mereka mengencangkan
langit
Dan kini semakin banyak mereka menyalakan
lampu lampu minyak, menggelantung
di
tengah marahnya bintik hujan
Sengaja aku berhasrat memunguti bintang
bintang itu,
Agar mampu merajut bintik hujan
Namun angin kemarau yang kering
menghempaskanku
Dan kini menelikungku di halaman rumah
yang kering
Menyendiri dalam merajut asa
Memelantingkan sorot mata kepada semua
dahan ranting yang kering dan asing
Tidak lagi lagi menyimpan jejak kaki
kaki Kenari
Bahkan digantikan dengan debu yang asam
Dan mampu meluruhkan tulang belulang
Namun tidak mampu aku enyahkan
Hanya menanti semua yang telah dicatat
langit biru
Dalam “jejer” para “nawangga” yang
berdiri di panggung
Menyesakan dada akar akar rumput yang
telah mulai goyah
Semakin menghiasi langit
Yang masih bertabur bintang (Tegal, 7 Oktober 2011)
Nyanyian Padi
Kuning bulir padi terlihat samar, tanpa
bayangan
Tanpa gemersik daun daunya
Mereka menunda dalam perjalanan panjang
Dalam pusingan hidup manusia
Atau kini mereka telah sembunyi
Di balik gubug bambu di tengah sawah
mengering
Dengan centang perentang keluhan dan
umpatan
Manusia yang berlisan durjana (Tegal, 7 Oktober 2011)
Dalam
Sebuah Perjalanan
Dalam perjalanan munyusur benang malam
Kita menyisihkan hardikan “Bathara Kala”
Menepiskan penat setiap sendi, yang
mengencangkan
keluh kesah dari sisi bilik jantung yang
kusam
Mari kita mewarnai dinding batas kita
Dengan cat berwarna putih yang kaya
sulaman kain sutra
Kita ungkapkan semua yang telah
menyesakan dada
Pada batas yang tiada bertepi
Bukankah kita hanya sekejap dalam
menggelantungkan
semua yang kita tidak mampu simpan dalam
ketiak
Meski dalam kantong baju kita
Hanya berisi “tembang dolanan” yang
menggulir
Demi sesuap nasi dan secercah kuning
sinar mentari
Yang menerobos rumah bambu kita yang
lusuh (Semarang, 7 Oktober 2011)
5. Penatku
Jangan ada lagi umpatan
Yang mampu meruntuhkan tebing tinggi
Yang mengungkung dalam lilitan yang
kokoh
Jangan ada lagi rasa penat
Dalam mengintip mendung yang menyisir
Kelambu biru
Kita gandeng alam dalam
“Panembromo” sentuhan sentuhan halus
Bila kita sekedar meraih keramahan hutan
Untuk meluuruhkan sengatan tajam
kemarau panjang (Semarang, 7 Oktober
2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar