pada halaman rumah berdinding
rajutan ilalang,
berlantai tanah yang
menggeliatkan nafas yang berlalulalang
memburu tirai jaman, yang
tertusuk jarum waktu
hingga kita terlentang, dalam
atmosfer kemunafikan
satu dua bilik bambu kita lewati
dari jaman negeri ini meradang
dalam nanar merah darah
hingga senyum semu dari “perlente”,
yang berkerah baju sutera
tiada pernah punya rasa malu,
terpinang angin tenggara
yang ganas dan bergigi pongah
kita lebih memilih seloroh
pelacur berliuk tubuh anyir
yang bangkit dari bibir neraka,
yang membenamkan
kepedulian di tengah lumpur
hitam
bersendi tulang rapuh dihempas
prahara Papua dan Negeri Serambi
telah kering sudah peraduan
pengantin baru
di balik kelambu biru malam,
bersimphoni belalang padang.
kita enggan mentautkan angin segar
dari beranda
Jaya Wijaya hingga
Bukit Barisan.
mengapa tiada lagi stambul dari
para pujangga
dengan untaian kata santun dan
senyum tipis
semesra ibu ibu dari negeri yang
menyodorkan sarapan pagi
dengan secagkir kopi hangat dan
ubi rebus
menyambut pagi dengan “Gamelan
Jawa” dan “Serampang Dua Belas”
kita hanya pandai menjinjing
amarah di tepi jantung
tak ada lagi, anak desa
berlarian mengejar kupu kupu
di tengah padang menghijau,
menautkan empat cakrawala
kita hanya mampu menghempaskan
debu konflik
menyesakan dada dan nafas yang
saling memburu
kita kaya dengan kepalan tangan
dan makian pada semua yang
berjejer di remang panggung opera
kita tiada lagi di tengah “Tarian
Santun” di benang katulistiwa
hingga senja di pantai menuggu
biduk kertas untuk berlabuh
mari kita buka jendela langit
agar benang putih mampu
menjemput doa kita
(Tegal, 27 Februari 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar