Sabtu, 09 Juni 2012

langit bumi


Barangkali kita masih bisa berseloroh
Membenamkan wajah kita pada …….
Air telaga yang kembali membiru
Untuk meminang bidadari langit
Dan kita selipkan lembar demi lembar
Hidup yang mengacu pada nafas kita

Namun hitam,
Yang dapat kita temukan
Akibat mata picik dan kepala keledai
Yang membesar,  berisi kecongkakan
Di tengah hiruk pikuk jaman

Mulai kapan kita akan pasang telinga
Mulai kapan dada ini bersemayam hati
Tentang pematang sawah
Tentang menggayung air di kali bening
untuk pelepas dahaga

(Semarang, 12 Nopember 2010).


DI UFUK TANAH YANG HIJAU

Kita harus menyongsong arah angin
Untuk disemai dalam keranjang hidup
Berbekal tangis sang cucu yang merindu
Nyanyi di bulan purnama
Kita benahi lagi
Asap asap yang mengeruh di tengah
Hidup jaman yang lusuh

Bila kau terus. ……..
Membumbungkan prahara. Alampun menjadi dengki
Lantaran itu, Merapi menorehkan lagi
Kata hati, semata demi terhamparnya “nyanyian hati”
Yang menepis “gincu pupur” dari tubuh jaman
Tanpa halimun pagi penyejuk jantung
Namun yang ada…….
Hanya pesolek rebah di kaki langit


2

Kita ikat lebih kuat lagi.
Tangkai padi, palawija dan daun kacang
Agar tidak luruh terhempas “wedus gembel”
Yang disedu Merapi
Namun kita matangkan
Agar menjadi hijauan yang “asri”
Demi arah angin,
Demi gerimis perindu sejuk tawar

Mari kita pandang lebih jauh lagi
Bagian langit yang masih hijau,
Berpagar hujan dan kemarau
Yang tak menyengatkan dada yang melemah
Dan menghujamkan pilu….
Di tengah lengan lengan yang tersandar.

Kita tanyakan pada seribu sayap putih
Tentang langit yang jauh dari abu dan “wedus embel”
Yang dapat kita semai
Nyanyi pagi

(Semarang, 12 Nopember 2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar