Barangkali kita masih bisa
berseloroh
Membenamkan wajah kita pada …….
Air telaga yang kembali membiru
Untuk meminang bidadari langit
Dan kita selipkan lembar demi
lembar
Hidup yang mengacu pada nafas
kita
Namun hitam,
Yang dapat kita temukan
Akibat mata picik dan kepala
keledai
Yang membesar, berisi kecongkakan
Di tengah hiruk pikuk jaman
Mulai kapan kita akan pasang
telinga
Mulai kapan dada ini bersemayam
hati
Tentang pematang sawah
Tentang menggayung air di kali
bening
untuk pelepas dahaga
(Semarang, 12 Nopember 2010).
DI UFUK TANAH YANG HIJAU
Kita harus menyongsong arah angin
Untuk disemai dalam keranjang
hidup
Berbekal tangis sang cucu yang
merindu
Nyanyi di bulan purnama
Kita benahi lagi
Asap asap yang mengeruh di
tengah
Hidup jaman yang lusuh
Bila kau terus. ……..
Membumbungkan prahara. Alampun
menjadi dengki
Lantaran itu, Merapi menorehkan
lagi
Kata hati, semata demi terhamparnya
“nyanyian hati”
Yang menepis “gincu pupur” dari
tubuh jaman
Tanpa halimun pagi penyejuk
jantung
Namun yang ada…….
Hanya pesolek rebah di kaki
langit
2
Kita ikat lebih kuat lagi.
Tangkai padi, palawija dan daun
kacang
Agar tidak luruh terhempas
“wedus gembel”
Yang disedu Merapi
Namun kita matangkan
Agar menjadi hijauan yang “asri”
Demi arah angin,
Demi gerimis perindu sejuk tawar
Mari kita pandang lebih jauh
lagi
Bagian langit yang masih hijau,
Berpagar hujan dan kemarau
Yang tak menyengatkan dada yang
melemah
Dan menghujamkan pilu….
Di tengah lengan lengan yang
tersandar.
Kita tanyakan pada seribu sayap
putih
Tentang langit yang jauh dari
abu dan “wedus embel”
Yang dapat kita semai
Nyanyi pagi
(Semarang, 12 Nopember 2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar