Kanko terhuyung kebelakang, saat “Maharaja
Prabu Matswopati Raja Kerajaan Besar Wiroto” memukulkan alas permainan dadu
yang terbuat dari kayu jati tepat dikeningnya. Darah segarpun menetes dari keningya yang putih bersih.
Melihat kejadian yang menyayat hati itu, “Emban Sarindri” yang cantik jelita,
segera mengambil “Bokor Kencana” yang terletak disamping singasana agung Prabu
Matswopati. Bokor kencana tersebut digunakan untuk menampung darah segar Kanko,
agar tidak menodai permadani yang tergelar di “Pisowanan Agung” itu .
Kedua mata Prabu Matswopati, terbelalak matanya
mencermati kejadian itu, betapa tidak Emban Sarindri, yang selama ini tidak
memiliki sangkut paut hubungan antara dirinya dengan “Lurah Pasar” Kanko,
sekarang menjadi penuh perhatian, dengan
melakukan hal semacam itu.
“Hei..Sarindri, untuk apa kamu melakukan hal semacam ini ?”
“Ampun
paduka, mohon maaf atas kelakuan “abdi dalemu” yang lancang ini”
“Aku
belum mengerti, Sarindri ?. Mengapa kamu menampung darah segar Kanko dengan
bokor ini. Jelaskan Sarindri ?”
“Ampun
tuanku, “Sinuwun“ adalah “Senopati Agung” sekaligus Maharaja di Wiroto, yang
memiliki pantangan meneteskan darah hamba Paduka, yang harus sinuwun “ayomi”,
kecuali di tengah pertempuran bela Negara. Apabila darah ini menetes ke bumi
Wiroto, akan menyebabkan murkanya para dewa, dan hancurlah Kerajaan Besar
Wiroto”
“Sarindri,
ternyata kamu adalah “embanku” yang berbeda jauh dengan emban lainya. Meski
derajatmu hanya “sudra”, tetapi “kawruh lan kepinteranmu” luas. Meski aku
selama ini belum tahu persis siapa dan dari mana kamu sebenarnya, tapi aku
merasa mendapat “kawruh dan ilmu” darimu “
“Ampun
tuanku “Sinuwun Wiroto”!, hamba memang emban yang “kabur kanginan”, lantaran
bagi kami siapa aku sebenarnya tidaklah penting, yang penting adalah niatan
kami untuk “Ngawula lahir batin” di Negara Wiroto”
“Sungguh
luar biasa pengabdianmu, Sarindri !”
“Maturnuwun
sinuwun, hanya saja bolehkah abdi dalem yang tiada berguna ini bertanya kepada
paduka ?”
“Apa
lagi Sarindri ?. Aku harap kamu tidak lancang kepadaku, seperti Lurah Pasar Kanko
itu ”
“Mengapa
sinuwun tega menganiaya abdi Kanko, apa salahnya ?”
“Sarindri,
ketahuilah kelancangan Kanko sungguh terlalu. dia seenaknya memperolok
kesaktian Seto putraku, yang dituduh tidak becus mengusir barisan kurawa. Kanko menganggap
bahwa sang kusir putraku yang berhasil menghancurkan barisan kurawa. Seberapa
kesaktian guru tari anaku itu?, yang bersikap seperti waria. Sekarang kalian
berdua keluarlah, aku tidak mau melihat kalian berdua di bumi Wiroto ini.
Keluarlah dan pergi jauh jauh dariku !!!!”
Sarindri dan Kanko hanya menundukan
wajahnya, dengan tidak menunggu waktu lagi mereka berdua segera mengangkat
tubuh mereka dan keluar dari pisowanan agung itu.
***
Sementara itu pisowanan menjadi geger,
lantaran di luar semua abdi dan prajurit mengelu-elukan kedatangan Senotapi
Wiroto Seto, putra Prabu Matswopati yang berhasil, mengusir ratusan ribu
prajurit Hastinapura, yang hendak melibas Kerajaan
Wiroto dari arah Utara. Meski pasukan itu dipimpin langsung oleh
“Prabu Duryudono”, dengan senopati pengapit “Dah Yang Durna”, “Adipati Awangga Sinuwun Karno”,:”Resi Krepo
“ dan “Sang Resi Woro Bisma”.
Mencermati kekuatan besar bala prajurit
Hastina tersebut, tidak mungkin bagi Putra Mahkota Wiroto Seto, mampu
mengalahkan mereka semua, yang pada kenyataan lari tunggang langgang. Hal ini
karena kesaktian Senopati Seto masih dalam tataran biasa –biasa saja. Lantas
rahasia apa yang terselip di balik kemenangan gemilang itu. Rahasia itu
terkuak, setelah beberapa prajurit yang menjadi saksi mengatakan bahwa
kemenagan itu karena jasa kusir kereta perang sang senopati, yang bernama Wrihatnolo.
Meski Wrihatnolo hanya “batur” sang senopati, tapi memiliki kesaktian yang luar
biasa dan di atas para senopati Hastina,
Wrihatnolo memiliki senjata sakti yaitu
panah Pasopati
pemberian Dewa Siwa.
Busurnya bernama Gandiwa, pemberian Dewa Baruna. Ia juga
memiliki sebuah terompet kerang (sangkala) bernama “Dewadatta”, yang berarti
"anugerah Dewa".
Dengan semula hanya sebatang anak panah Pasopati
yang menebas udara Wiroto, yang kemudian melipatgandakan jumlahnya hingga ribuan, “wadya bala” Prabu Duryudono
yang beribu ribu jumlahnya menjadi terbelah leher mereka hingga tewas .
Menyaksikan banyak rekan mereka yang “gemlundung mustakanya” prajurit yang
selamat menjadi “miris” hatinya dan lari tunggang langgang. Disusul kemudian sekali
tiupan sangkakala sakti Dewadratta, semua bala prajurit termasuk para senopati
Hastinapura yang tersisa menjadi berterbangan ke angkasa terhempas daya sakti
Dewadratta.
Prabu Duryudono menjadi kecut hatinya
melihat kenyataan yang terjadi, lantaran beribu prajutitnya “segelar sepapan”
lengkap dengan brigade panah, tombak, pedang dan kavaleri dibuat tak berdaya
menghadapi kusir senopati, yang berpenampilan seperti waria. Namun apa daya,
yang hanya bisa dilakukan oleh dia hanyalah menarik pasukanya , karena tiada
satupun senopati pengapitnya yang pilih tanding, mampu mengalahkan Wrihatnolo. Hanya
Dah Yang Durna saja yang memiliki keyakinan bahwa Wrihatnolo yang sakti itu
tdak lain adalah Raden Arjuna murid kesayanganya, yang selama 12 tahun
bersembunyi.
Rasa heran yang sangat kini memenuhi
sanubari Sang Senopati Seto, melihat kenyataan yang ada di depanya. Mengapa Wrihatnolo
hanya seorang kusir kereta, tapi memiliki “daya linuwih” yang demikian
tingginya, diapun yakin kini bahwa Wrihatnolo adalah bukan “sudra” sembarangan,
pasti dia adalah ksatria pilih tanding. Rasa heran itu tanpa ragu ragu
dikemukakan pada kusirnya itu, dengan hati hati.
“Wrihatnolo
!”
“Daulat,
sinuwun !, saya “nyadong dawuh” tugas apa lagi yang akan diberikan kepada
saya!”
“Ketahuilah
!, baru kali ini aku menyaksikan kejadian yang luar biasa, siapa sebenarnya
kamu Wrihatnolo ?”
“Ampun
tuanku, saya adalah Wrihatnolo kusir kereta perang sinuwun”
“Tapi
engkau memiliki kesaktian yang luar biasa, ksatria dari mana kamu ?”
“Mohon
tuanku tidak mempermasalakan tentang hamba, sudah menjadi kewajiban hamba untuk
mengabdi Negara hamba, yang sedang genting diserang musuh”
“Aku
tidak percaya, Wrihatnolo ?, mengaku saja siapa sebenarnya kamu. Akan aku
“sowankan” dirimu kehadapan “kanjeng romo”. Akan engkau dapatkan hadiah apa
saja yang kamu inginkan “.
“Mohon
maaf sinuwun, hadiah yang saya harapkan adalah dari Yang Maha Kuasa, bukan
hadiah dari Sinuwun Prabu Matswopati, Bagi kami ketentraman dan kedamaian
Negara Wiroto adalah menjadi kewajiban hamba”
“Oh,
Wrihatnolo, aku bertambah kagum terhadap kamu, semakin yakin pula aku, bahwa
kamu adalah bukan sudra seperti batur lainnya. Mengakulah Wrihatnolo ?;
“Saya
adalah manusia “titah sawantah”, yang sekedar menerima apa yang diberikan oleh
Yang Maha Kuasa?”
“Ha…ha…ha..aku
tahu memang bagi ksatria yang sudah tinggi tataran hidupnya, pantang untuk
menonjolkan “bahu bektinya”. Oleh karena itu, bila engkau memang semata
mengharapkan “idi pangestu” dari Yang Maha Kuasa, mengaku sajalah Wrihatnoloa
Aku ini “pepundenmu”, menuruti perintah pepunden bagi seorang ksatria, adalah
hal yang wajib “
“Baiklah,
sinuwun. Aku akan mengaku sebenarnya siapa aku. Tetapi nohon sinuwun berkenan
merahasiakan masalah ini”
“Baiklah
Wrihatnolo, aku adalah Putra Mahkota Negera Wiroto, yang harus memiliki sifat
“tan keno walak walik” di setiap kebijakan dan perkataan aku. Maka segeralah
mengaku, siapa sebenarnya kamu ?”
“Perhatikan
sinuwun, pusaja pusaka yang aku bawa ?”
“Ya,
pusaka pusaka itu milik “Panengahing Pendawa, Raden Permadi.lantas apa
hubungan kamu dengan pusaka itu ?”
“Akulah
pemilik pusaka itu, Sinuwun. Akulah Permadi “
“Aduuh,
ngger putraku !, aku tidak percaya. Apa betul engkau putraku..ngger !”
“Duh
paman, akulah arjuna yang telah menjalani pembuangan 12 tahun dan penyamaran
selama satu tahun di negeri Wiroto ini, hingga sampai akhir waktu penyamaran
ini, Pandawa akan memohon Kangmas
Duryudono untuk mengembalikan Negeri Indraprasta sajajahanya dan Negeri Hastina
“sigar semongko “
“Baiklah
ngger Permadi !, sang paman hanya berdoa kepada Hyang Maha Kuasa agar Pandawa
mampu meraih kemulyaan hidup, meski melewati tingkatan kesabaran yang bukan
main tinggiya. Namun apabila engkau semua mampu mengendalikan nafsu nafsu yang
hinggap di sekujur sanubarimu, kemuliaan itu akan dengan mudah kamu raih,
Permadi !”
“Kasinggihan,
paman Seto !, putra paduka Permadi ini, masih harus banyak belajar tentang
nafsu yang paman maksudkan “
“Ngger
Permadi, keempat nafsu yang harus kamu kendalikan dengan segala “Roso lan
Rumongso” adalah :
1.Nafsu Mutmainah, bercahaya putih, adalah raja yang berwatak
sabar, welas asih tulus dan suci. 2.Nafsu
Amarah, bercahaya merah, berwatak serakah dan ‘panasten.’ 3,Nafsu Aluamah, berwarna hitam,
mempunyai kesenangan makan yang berlebihan sehingga menjadi pelupa dan 4.Nafsu Supiyah, raja wanita, bercahaya
kuning, senang pada keindahan, sikapnya selalu berubah, tidak dapat menepati
janji. Selanjutnya gunakanlah nafsu “Mutmainah” untuk menjaga ketiga nafsu
tersebut, ibarat nafsu “sang mbarep” yang membimbing adik adiknya, terutama ”
nafsu ragil” yang berujud nafsu “amarah.Jika kamu mengendalikan nafsu itu, maka
telah sempurna tingkat kesabaranmu, ngger !, engkau akan merasakan “sworgaloka”
yang turun di “mercopodo”.
“Seperti tersirahkan
air embun pagi hari, yang mampu menyejukan hati kami, Paman Seto “
“Yo, ngger, “tak
kanti” sekarang juga, ngger Permadi ikut sowan kehadapan Romo Prabu Matswopati”
“Ampun Paman, bila
waktunya tiba kami semua “kadang” Pandawa pasti sowan kehadapan Romo Prabu”.
***
Wajah yang cerah dan berseri kini menghiasi semua “warongko projo
Wirata” yang ikut dalam pisowanan hari itu, terlebih lebih wajah Maharaja
Matswopati yang selalu dihiasi senyum kecerian. Apalagi mendengar kabar yang
baru saja didapat tentang kemenangan gilang gemilang putranya dalam mengusir
wadya bala Hastinapura tanpa menemui kesulitan.
Silih berganti gambaran tentang kemenangan putranya yang diluar nalar
dan gambaran keperkasaan baturnya Jagal Abilawa yang baru saja menyelamatkan
dirinya dari tindak pendzoliman dan penistaan yang dilakukan Raja Trigatra
Susarman terhadap dirinya, kedua gambaran itu terus saja memenuhi seluruh
beranda sanubarinya. Sang Prabu Matswopati menjadi bahagia sekaligus
menyalahkan dirinya sendiri, mengapa kesaktian Jagal Abilawa yang dengan mudah
meringkus Prabu Susarman yang sombong itu baru kali ini dia temui.
Baru kali ini dia menjumpai, abdi seperti Bilawa. Karena hanya abdi jagal sapi, tetapi memiliki kesaktian pilih tanding. Meski
penampilan Abilawa ini mengerikan mirip gendruwa, yang tinggi besar dengan
rambut acak acakan sebatas pinggang dan sangat bau, dia juga tidak bisa
bertutur kata dengan bahasa santun di hadapan “piyayi agung “ seperti Sinuwun
Prabu Matswopati. Namun Abilawa lauaknuya seorang abdi yang telah mati hati
nuraninya. Terbukti Bilawa menolak
mentah\menth pemberian hadiah berupa emas, intan, mutiara, tanah lengkap dengan
bangunan istananya,
“Angger, Seto putraku!,
entah aku sendiri tidak tahu. Betapa banyak limpahan Rahmat dan Pertolongan
dari Tuhan Yang Kuasa kepada kita hari ini. Bala tentara lengkap Hastinapura
dari sisi Utara telah hancur berantakan.Sedangkan dari arah selatan, kesaktian
Susarman belum berarti apa apa dibanding dengan Abilawa, yag selama ini hanya
jagal sapi di dapur istana. Hampir saja aku berpisah denganmu, ngger !, tapi
beruntunglah Tuhan yang Kuasa masih memberi pertolongan kepadaku, dengan
menghadirkan Abilawa, yang dengan mudah memotong leher raja sombong itu “
“Abilawa, romo ?. Siapa
Abilawa itu ?”
“Dia tidak mau mengaku
darimana asalnya, tapi aku sangat bahagia sekali memiliki batur seperti Abilawa
ini. Dia sangat rndah hati dan menolong “pepundenya” dengan ikhlas dan tanpa
pamrih barang sesdkitpun”
“Lantas orangnya
seperti apa, romo ?”
“Aku hingga kini masih
merasa ngeri bila melihatnya, tubuhnya tinggi besar. Rambutnya dibiarkan
menutupi pinggangnya tanpa disisir, dia berpakaian denga kulit macan dan ular, dia
sama sekali tidak bisa bahasa “kromo inggil “ denganku. Tapi dibalik “praupan”
yang mengerikan itu, tersembunyi jiwa ksatria yang halus, tak pernah merasa
takut dengan sesama, halus kepedulian terhadap sesame dan berjuang tanpa
pamrih”
Senopati Seto tak kaget barang sedikitpun, karena dia telah menduga
bahwa Abilawa tidak lain adalah Bimaseno atau Raden Werkudoro Panegaking
Pandawa, seorang ksatria putra Prabu Pandu Dewanata yang tersohor itu. Semua
kehidupanya mulai dari kecih hingga sekarang telah bergrlimang dengan kebaikan yang
diberikan kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan dia dan saudara
saudaranya.
“Ada apa Seto ?, apa
kamu kenal dengan Abilawa ?
“Ampun romo, baru kali
ini Seto mendengarnya. …..Mohon maaf romo !,emban Pinto telah memberi tahu
ananda, bahwa diluar ada Bibi Kunti dan Prabu Drupada yang berniat menghadap
Romo Prabu “
“Kunti, anaku dan
Ngger Prabu Drupada !, jangan biarkan mereka telalu lama di luar, segera mereka
“diaturi sowan” di depanku. Oh, Tuhan Yang Kuasa, semoga kehadiran mereka
membawa kebaikan untuk Wirata “
Kunti telah sembab matanya, demikian juga Prabu Drupada yang berkaca
kaca matanya, diikuti para “kadang Pendawa”, yang kini duduk bersimpuh di
depanya. Sebuah pelukan kasih sayang antara Kuni dan Pamanda Kanjeng Sinuwun
Matswopati mengharu birukan pertemuan nesar di Pendopo Siti Hinggil Wiroto.
Rasa haru kedua saudara yang berpuluih tahun tidak bertemu itu, berhasil
membungkam hadirin “piaowanan agung” itu. Kecuali Pandawa yang hanya duduk
dengan muka tertunduk.
“Kunti mengapa
kehadiranmu bersama dengan Sarindri, Kanko, Abilalawa, Wrihatnolo, mereka itu
baturmu yang mlarikan diri ?, lho mengapa mereka berpakaian seperti ksatria,
Kunti mengapa ?”
“Sebelim dan sesudah
limpahkan maaf yang sebesar besarnya padaku, karena mereka sebenarnya…..”
Kunthi tak mampu meneruskan perkataanya, air matanya kini bertambah deras, air
mata beribu makna dari mulai ketabahan putra putra pendawa dan air mata kebahagian karena
pertemuan dia dengan putra putranya. Air mata yang berderai karena selama ini,
putra putranya yang sudah kehilangan segala galanya, namun masih bisa “ngugemi
dharma”.
“Kunti, tabahkan hati
kamu, ceritakan dengan tenang. Aku tahu engkau putraku yang sudah kenyang
dengan cobaan hidup. Maka tabahkan sebagaimana ketabahan suamimu atau keponakanku
Pandu yang arif dan bijak”
“Paman Prabu, setelah
12 tahun anaku anaku bersembunyi di hutan. Tiba saatnya selama 1 tahun mereka harus
menyamar. Agar tidak ketahuan “telik sandi” Kurawa, mereka cucu cucumu memilih
melakukan penyamaran di Wirata, agar memperoleh pengayoman sang eyang “
“Jadi abdi abdiku itu,
Kanko, Sarindri dan …adalah cucu cucuku Pandawa ?”
“Betul Paman Prabu !,
mereka adalah cucu Pandawa. Kanko adalah putraku Yudistira, Abilawa tidak lain
adalah Werkudoro, sedangkan Wrihatnolo guru tari dewi Utari adalah Arjuna. Nakula
menjadi Damagranti sebagai tukang kuda, Sadewa menjadi Tantripala sebagai
penggembala sapi, sedangkan Drupadi menjadi Sarindri sebagai dayang istana”
“Oh Jagad Dewa Batara.
Kunti aku harus bekata apa. ?. Sampaikan maaf saua kepada putra putramu,
mengapa aku memperlakukan mereka demikian buruknya, padahal mereka adalah
cucuku. Oh Tuhan, cabut saja nyawa aku, aku rela Tuhan. Aku punya kesalahan
yang besar terhadap mereka.”
“Mohon maaf Eyang
Prabu, kami memang sengaja menyembunyikan kami semua.Sehingga kami tidak pernah
menganggap eyang bersalah terhadap kami”
“Oh cucuku Pandawa!,
demikian besarnya cobaan yang kalian alami. Tapi demikian besar kesabaran yang
kalian miliki. Ngger cucuku, kesabaran seperti inilah yang dibutuhkan ksatria
yang bisa memeangkan Bharatayudha kelak.