Rabu, 14 November 2012

BAJU BAJU ANAK BANGSA




Baju Keramat kini duduk di singasana emas, dikelilingi dayang-dayang ayu yang hilir mudik membawa berbagai macam hidangan para raja dari berbagai penjuru dunia, sebagian lagi melambaikan “bulu sayap sang jatayu” yang kini rela menanggalkan sayapnya dan gugur ke bumi demi sang raja diraja penguasa tunggal. Sementara dayang lainnya sibuk berhamburan membawa nampan-nampan berisi aneka “buah surga dan anggur warna-warni” demi memuaskan para tamu, yang tiada sedikitpun dari mereka boleh berperasaan kecewa. Selama tujuh hari tujuh malam gamelan kraton telah berdengung membahana hingga tiap penjuru negeri awan. Para menteri, gubernur, bupati,lurah hingga senopati agung duduk bersimpuh tiada dari mereka sedikitpun berani menengadahkan wajahnya.

Setiap sosok yang mengenakan baju keramat itu, anginpun akan takut menerpanya. Apalagi sosok sosok yang nasibnya  bagai batang padi, yang hanya bergoyang menurut arah angin. Sama sekali tiada pernah ada dalam sejarah bisa mendekaitnya. Setiap langkah kaki bagi siapa saja  yang menggunakan baju keramat itu,  jadilah dia sosok  yang tampil seperti raksasa yang bermata satu, dengan tangan kanan memegang bilah pedang yang tajam, sedangkan tangan kirinya memegang catatan sejarah lengkap dengan tintanya, untuk ditorehkan siapa siapa bakal menjadi  “anak jaman”, di negara seribu dongeng.

Dengan  tawa yang  berderai memecut udara siang hari bolong, menggetarkan alam dan menggugurkan bunga nusa indah yang banyak tumbuh di pekarangan gembel dan jelata “Si Baju keramat” tidak segan segan menggagahi dan melipat semua hasrat yang tumbuh di beranda hati tiap ilalang di seantero atas angin ini, yang hendak mengusung protes.. Namun  derai tawanya makin lama mampu berubah menjadi kilatan api, hingga terbakarlah hutan hutan di pelosok negeri itu. Hingga  mengeringlah beberapa batang pohon melati sampai akarnya. Namun aroma bau kembangnya tiada pernah hangus, meski sebuah mata yang tajam dari baju keramat ingin menebasnya.

Baju keramat bersulam benang warna warni, namun lantaran kencangnya angin “pengukir awan di langit lepas”, baju keramat itu berajut benang “nafas anak jaman” yang meregang  dan mengencangkan roda revolusi di negeri “antara ada dan tiada”. Di tengah haru birunya sebuah tatanan itu selalu saja si baju keramat memasang wajah garang, sehingga ombak laut selatanpun tidak mampu lagi menandinginya, karena lidah ombak yang terjulur keluar di tebas dengan pedang yang telah merah membara. Sekali hardikan saja semua mejadi terkulai, dengan sorot mata yang masih menyimpan dendam pada si baju keramat yang kini bertolak pinggang.

Kehidupan “titah sawantah” laksana debu yang melekat di pinggir roda sang pedati, pasti akan terbawa pada perguliran atas dan bawah. Demikian juga sang baju keramat yang sudah mendekati lembar akhir catatan langit. Ketika sebuah bayang “Brutus “ hitam, bertampang murah senyum tapi bertaring tajam, telah menodai sejarahnya, dengan melentingkan “daging dan tulang” di balik baju keramat ke dinding waktu.

 Enyahlah kau hai tulang dan daging, cukup lama engkau bersemayam di dalamnya, tahukah kau, insan yang tak bertelinga dan tak berhati nutani. Baju ini telah cukup pengap untukmu. Maka tinggalkan, atau gelora laut selatan akan menghempasmu. Tahukah kau, bahwa buihnya telah  sampai pada beranda rumahmu!” tukas bayangan hitam Brutus yang menjadi nakal.


Akulah penguasa negeri ini,awanpun duduk bersimpuh di bawah kakiku. Tidak ada yang bakal mampu menandingi ketajaman pedangku. Jangankan kamu, hai jubah hitam. Puncak mount everst-pun bertekuk lutut padaku

Mengapa tidak kau libatkan puncak mount everest dan ketajaman pedangmu, untuk mengeringkan padang ilalang yang telah hangus, pada senopati-senopatimu yang gendut perutnya atau pada serdadumu yang bertampang garang

Sang baju keramat tidak lagi mampu bersua, ketika pangkat-pangkat yang ada di pundaknya tiba-tiba saja jatuh dengan sendirinya, bintang gemerlap yang ada di dadanya menjadi meredup, lengan dan tangan yang mengepal menjadi bergetaran. Lantas dari bilikjantungnya timbul kenangan pula, tentang baju keramat sebelum dia lahir, yang menjadi riuh rendah dipagut jalanya revolusi yang diusung sendiri. Buka revolusi yang berada di buritan perahu perjalanan negara antah berantah. Sang baju keramatpun lunglai, sepi dan tiada warna di bawa angina kelana.

Hanya sebuah baju yang turun dari langit yang disodorkan pada cakrawala yang memancarkan sinar perubahan, sebuah baju yang berukuran mungkin cocok dengan “tulang dan daging” yang berparas perlente, yang sempat didengar oleh ilalang yang mulai semi. Namun datanglah kawanan belalang yang rakus lantaran kosong perutnya, sehingga semi ilalangpun diam tak berdaya menunggu cakeawala yang dipeluk batas senja.
Aku adalah ilalang yang melekang, meski kemarin sore semi telah memenuhi sekujur tubuhku”

“Akulah burung kenari, yang siap berdandan dan berlagu untuk sebuah pagi yang cerah, namun mengapa tiba-tiba awan menghadangku. Bukankah baju keramat telah menepi dari putaran sang waktu”

Terdengar tawa sang melengking memenuhi setiap kaki langit “Baju yang terpakai di negara dongeng ini, kira hanya menjadi catatan sejarah. Biarlah baju ini aku pakekan pada “tulang dan daging” yang tiada mampu memandangmu. Meskidia mampu memperhatikanmu dari mata batin. Dan baju yang cocok untuk dirinya adalah baju jubah putih”

Kembali riuh rendah memenuhi hampir setiap jalan di negri dongeng, yang mengundang datangnya angin pasat lebih kencang lagi, yang mampu membuat baju jubah putih itu berkibar dan melambai ke tiap belahan bumi.Namun baju itupun tiada daya, lantaran tikus tikus ego telah mengoyaknya, macan-macan lapar yang hilang nuraninya telah menerkamnya. Baju itupun kini hanya tersimpan di lemari sejarah dan dibawah rengkuhan bayangan yang tak bisa dipisahkan lagi.

Lantas kemana lagi baju yang akan mewarnai singasana emas, bersulam benang garuda dan berkerangka tulang anak jaman yang pernah hanyut di sungai pergiliran yang tak kenal muara. Atau mungkin baju lain, yang burung, ilalang, belalang, kupu-kupu atapun kura-kura yang serba tertinggal langkah, tak  mau lagi memandangnya. Sang jelatapun bersambung tangan hingga menyentuh bibir cakrawala untuk memunguti baju yang kokoh untuk mendudukan anak jaman di singasana emas yang lama hanya berisi angin. Baju itupun bersulam asa setiap ilalang dan daun perdu yang hamper saja menghijau subur. Sang negara dongengpun kinitiada berkesulitan mendapatkan “baju ksatria” sakti mandraguna  dengan kedua tangannya memenuhi ujung singasana. Pelaminan negri dongeng inipun kini tertutup kelambu suka cita, dengan hadirnya baju ksatria yang tegap memberi hormat kepada isi alam.

Sang baju ksatriapun kini tiada lagi meragukan “tegap dan kokoh” bersanding dengan singasana emas di sitihinggil yang sempat meluruh sinarnya. Angin kembarapun segera mengheningkan langkah dengan melipat sayapnya. Tiada lagi deru debu yang mendera setiap ujung jalan yang dilangkahi dengan langkah tertatih dari si kecil yang dililit keterpurukan. Tapi tiada lama hempasan kemarahan alam segera memutar balikan perjalanan “perahu layer” yang mengusung asa mencapai seja di ufuk kaki langit.

“Jangan kau lambaikan lengan bajumu, karena gunung-gunungpun akan berdentum sekeras sejuta meriam, jangan kau kibarkan bajumu karena akan disusul dengan tsunami, gempa bumi, longsor,gelombang panas dan ledakan dari dapur semak belukar”. Demikian pekik suara dari balik awan hitam di ujung pengharapan. Karena dewasa ini bumi telah berbalik arah dalam mengedari obor raksasa.

Si baju ksatriapun kini berjalan dengan hati-hati, bahkan pedang di tangan kananya tidak setajam dulu lagi. Pandangannya kini terarah pada sebelah kaki langit yang mengganggap lebih hijau rumputnya. Rumput rumpun di balik kaki langit itu lebih congkak dan merasa kuat di banding rumput di archipelago. Bahkan langkah kakinya kini mulai menjamah kaki langit “negara ilalang”.

Maka segenap daun nyiurpun segera menghadapkan wajah sambil bersuara, “Tajamkan pisau di sebelah kananmu, kuatkan langkah sepatu larasmu, tegaplah barisan di belakangmu, jangan kau tengok lagi serumpun ilalang yang hanya mengucurkan racun. Jadikanlah “negara santun” ini sebagai negara yang mencuatkan cahaya hingga puncak himalaya”

Sang baju ksatria tiada kata lain hanya memberi hormat dan siap menjalankan darma baktinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar