Kamis, 15 November 2012

Kembang Kertas




Prayogo kembali duduk termenung di kursi lapuk beranda rumahnya, sementara senja kini menaungi seluruh langit di atas gubug tuanya.  Padinya kini menguning di sawah transmigrasi hasil olahan tangannya sendiri yang masih kokoh. Sementara itu anak-anaknya berada di  dalam rumah, asyik beramai-ramai makan dengan lauk saadanya.
           
Angannya membelit kuat tubuhnya yang  kini mulai digrogoti usia yang menginjak setengah baya,  betapa bahagianya kala dia dan Mawar Susanti, bunga desa Ngemplak Mranggen, Demak bersamanya mencoba menundukan kehidupan dengan bertransmigrasi ke Desa Harapan Baru Lampung 25 tahun  silam. Kala itu anak anak mereka yang masih mungil diajaknya bersama,  guna memberikan penghidupan kepada mereka yang lebih sejuk ketimbang mengadu nasib di kota hanya sebagai tukang tambal ban.
           
Mawar, tiada pernah bersungut wajahnya sedetikpun kala itu menghadapi berbagai cobaan hidup, lantaran cintanya kepada dia dan keempat anaknya. Namun dunia layaknya adalah sebuah perputaran lakon dalam sandiwara, silih bergantinya adegan susah senang, dibawah atau diatas. Demikian juga bahtera rumah tangga Prayogo, yang belum kokoh dan gampang diterjang ombak godaan jaman,
           
Beranda rumahnya sudah kelihatan temaram, pertanda hari sudah malam. Tangisan Windi si bungsu minta digendong lantaran sudah saatnya pergi ke
peraduannya berhasil menyentakan angan Prayogo dari lamunanya. Maka diapun segera memmeluk dan menggendong si bungsi, yang sekali-kali menanyakan ibunya, yang tak kunjung pulang. Sementara anak prayogo lainnya yang telah beranjak dewasa masing-masing mempersiapkan untuk belajar di bawah bimbingan  Bina Pranoto, yang sudah duduk di kelas XI SMK di sekitar areal transmigrasi.
           
Elly sang bungsu sudah merebahkan kepalanya di bahu prayoga yang hitam legam di bakar sinar matahari. Rintihan kerinduan pada ibunya yang kini pergi tanpa kabar, membuat hati prayogo kerap kali tersayat. Lantaran sama sekali dia tidak menduga bahtera ruham tanggany hancur diterjang angin kembara, yang kejam dan berhasil mengusik hati istrinya tercinta untuk meninggalkan dia dan anaknya entah kemana.

Teringat pula kala dia dan Mawar terakhir kali bertemu di temaram senja di beranda rumahnya yang beratap asbes dan berlantai tanah.

            “Sudah 20 tahun kita hidup di desa transmigrasi, ya Pak”
            “Hhm. Kita tidak terasa memang Bu, aku selalu bersyukur, bahwa kita disini memiliki kehidupan yang damai, meski hanya dengan ekonomi pas-pasan. Bila kita masih di Mranggen. Tidak mungkin kita bisa seperti ini”
            “Tapi anak-anak kan tidak harus disini terus. Bina sebentar lagi harus masuk SMA, dan itu kita perlu biaya. Meski kita keluarga ilalang, yang tiada berguna barang sedikitpun, namun aku pengin menyekolahkan Bina ke Jawa untuk kuliah tahun-tahun depan. Pak “
            ‘Bagus juga cita-cita kamu, yah..akupuin berharap begitu. Namun gimana lagi, Bu. Kita hanya petani trans yang tidak punya dana sedikitpun demi pendidikan anak-anak kita”
            “Tapi kita tak mungkin begini terus, Pak !”
            “Maksud kamu bagaimana?”
            “Aku punya rencana untuk ke Jakarta untuk mengadu nasib, guna menyekolahkan Bina. Toh jarak kota Jakarta dengan Kota Bumi.Tapi itu hanya sebatas angan, Pak”
            “Itu tidak menyelesaikan masalah, Rejeki tidak hanya ada di Jakarta. Aku tidak mungkin mengijinkan kamu ke Jakarta. Lebih baik sawah yang sudah aku garap ini separonya dijual ke Susanto”
            “Terus untuk penghidupan mereka bagaimana, Pak ?”
            “Jangan kuatir, tentu nanti ada jalan lain”
            Kedua jantung kedua insan ini terbelenggu dengan sunyinya malam hutan di tepi Kota Bumi. Sementara dinginya angin malam mulai membuat kaku persendian tulang mereka. Maka merekapun tanpa membuang waktu lagi, menuju peraduan mereka, dengan penuh gelora untuk menautkan cinta kasih mereka. Hanya angin malam saja yang menjadi saksi betapa bahagianya kedua insan tersebut, yang sedang berada di pelukan masing-masing dan peluhpun mulai membasahi sekujur tubuh Prayogo. Namun gelora cinta kasih mereka pada malam hari itu rupanya menjadi kisah terakhir dari sisi kehidupan Prayogo.
           
Di awal musim panen yang melimpah itu, Prayogo pagi-pagi sudah bangun hendak mempersiapkan panen dengan dibantu beberapa tetangga. Prayogo tidak menggubris sama sekali ketika Mawar minta ijin ke Pasar Induk, guna belanja keperluan makan para tetangganya itu.
           
Namun drama kehidupan telah berkata lain, terbukti Mawar bersama pria kenalanya entah siapa pergi ke Jawa untuk menempuh hidup yang lebih menjanjikan dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih memerlukan cinta kasih Mawar, wanita yang masih kelihatan ayu dan menawan, meski di umur yang hampir berkepala empat. Mawar yang dahulu adalah bunga wewangi yang menyerbaki keharuman di rumah mungil dan sejuk itu. Kini layaknya hanya kembang kertas yang penuh kepalsuan.
           
Tiada sepatah katapun yang bisa dilontarkan Prayoga kala istrinya beberapa hari tidak kelihatan batang hidungnya. Sementara rintihan anak-anaknya terus saja memenuhi rumah reot mereka. Setahap demi setahap Prayogo berhasil kembali menemukan dirinya sendiri selama lima tahun. Ulah mereka berempat yang masih balita dan lucu itu ikut membantu hati pria malang itu untuk menguat kembali.
Pagi ini kembali Prayoga disibukan dengan panen seperti lima tahun yang lalu, Bina dan ke tiga adiknya kini membantu bapak yang malang itu ikut membantu panen padi yang tidak kalah melimpahnya lima tahun yang lalu. Meski panen kali ini tanpa kehadiran ibunya, namun mereka semua sudah melupakan ibunya yang semula hadir penuh kasih.
           
Butir butir padi masih terikat di tangkainya dan kini berada di Lumbung Padi di samping rumah Prayoga, yang masih rame dikunjungi tetangga dan ulah anak-anak mereka yang lucu. Prayoga kini mulai meluruskan kakinya yang mulai terasa kaku dan penat. Pintu yang semua hanya ditutup. Kini terbuka lebar-lebar bersamaan munculnya sosok wanita yang kurus kering, dengan rambut yang kumal dan pandangan mata yang kosong di dalam rongga mata yang cekung.
            ‘Pak, aku Mawar”
            “Mawar, Kau kah Mawar” seru Prayoga yang berdiri setengah tidak percaya.
            “Iya Pak, apa kau lupa, aku yang salah. Pak”
            “Kamu berubah sekarang menjadi kurus, masuklah, aku tak memanggil anak-anak”
            Mawar duduk di kursi bambu ruang tamu mereka, dengan muka masih kusut dan tatapan mata yang kosong, pertandan dia telah menyimpan sesuatu yang menyiksa hatinya.
            “Maafkan aku Mawar anak-anak telah aku coba bangunkan, tetapi mereka memilih tetap tidur. Mereka sudah lupa dengan kamu, kecuali Bina. Itupun tidak mau menemui kamu.”
            “Biar nggak apa-apa, memang ini salah aku, Pak !. Namun kalau boleh aku ingin menggendong Elly”. Prayogopun mencoba membangunkan paksa Elly dan memberikan pada Ibunya. Ellypun meronta dan menjeritketakutan serta menguluekan tangan untuk minta gendong Prayoga.
            ‘Kini kamu tahu bahwa anak-anak telah melupakan kamu, ini semua memang salahmu. Mereka kini sudah terbiasa tanpamu. Akupun sudah melupakan kamu setelah 5 tahun aku berusaha melupakan. Karena hari sudah malam,  kini menginaplah kamu beberapa hari. Setelah itu pulanglah kamu ke Mranggen. Carilah kehidupan kamu sendiri yang membahagiakan kamu, aku hanya petani kecil yang tidak punya apa-apa. Kamu wanita cantik dan masih muda, masih banyak kesempatan lain untuk menggapai kebahagianmu, percuma bila kau kembali ke rumah ini, kamupun tidak akan berbahagia. Mawar, Bina sudah saya suruh menyiapkan kamar untuk istirahatmu”
           
Kini malampun mulai bergayut di bumi Transmigrasi Harapan Baru, Prayogopun kembali ke peraduan dengan nyenyak tidur si bungsu Elly yang berada di pelukakkya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar