Prayogo kembali duduk termenung di kursi lapuk beranda rumahnya, sementara senja kini menaungi seluruh langit di atas gubug tuanya. Padinya kini menguning di sawah transmigrasi hasil olahan tangannya sendiri yang masih kokoh. Sementara itu anak-anaknya berada di dalam rumah, asyik beramai-ramai makan dengan lauk saadanya.
Angannya
membelit kuat tubuhnya yang kini mulai
digrogoti usia yang menginjak setengah baya,
betapa bahagianya kala dia dan Mawar Susanti, bunga desa Ngemplak
Mranggen, Demak bersamanya mencoba menundukan kehidupan dengan bertransmigrasi
ke Desa Harapan Baru Lampung 25 tahun
silam. Kala itu anak anak mereka yang masih mungil diajaknya
bersama, guna memberikan penghidupan
kepada mereka yang lebih sejuk ketimbang mengadu nasib di kota hanya sebagai
tukang tambal ban.
Mawar,
tiada pernah bersungut wajahnya sedetikpun kala itu menghadapi berbagai cobaan
hidup, lantaran cintanya kepada dia dan keempat anaknya. Namun dunia layaknya
adalah sebuah perputaran lakon dalam sandiwara, silih bergantinya adegan susah
senang, dibawah atau diatas. Demikian juga bahtera rumah tangga Prayogo, yang
belum kokoh dan gampang diterjang ombak godaan jaman,
Beranda
rumahnya sudah kelihatan temaram, pertanda hari sudah malam. Tangisan Windi si
bungsu minta digendong lantaran sudah saatnya pergi ke
peraduannya
berhasil menyentakan angan Prayogo dari lamunanya. Maka diapun segera memmeluk
dan menggendong si bungsi, yang sekali-kali menanyakan ibunya, yang tak kunjung
pulang. Sementara anak prayogo lainnya yang telah beranjak dewasa masing-masing
mempersiapkan untuk belajar di bawah bimbingan Bina Pranoto, yang sudah duduk di kelas XI SMK
di sekitar areal transmigrasi.
Elly
sang bungsu sudah merebahkan kepalanya di bahu prayoga yang hitam legam di
bakar sinar matahari. Rintihan kerinduan pada ibunya yang kini pergi tanpa
kabar, membuat hati prayogo kerap kali tersayat. Lantaran sama sekali dia tidak
menduga bahtera ruham tanggany hancur diterjang angin kembara, yang kejam dan
berhasil mengusik hati istrinya tercinta untuk meninggalkan dia dan anaknya
entah kemana.
Teringat
pula kala dia dan Mawar terakhir kali bertemu di temaram senja di beranda
rumahnya yang beratap asbes dan berlantai tanah.
“Sudah 20 tahun kita hidup di desa
transmigrasi, ya Pak”
“Hhm. Kita tidak terasa memang Bu, aku
selalu bersyukur, bahwa kita disini memiliki kehidupan yang damai, meski hanya
dengan ekonomi pas-pasan. Bila kita masih di Mranggen. Tidak mungkin kita bisa
seperti ini”
“Tapi anak-anak kan tidak harus
disini terus. Bina sebentar lagi harus masuk SMA, dan itu kita perlu biaya. Meski
kita keluarga ilalang, yang tiada berguna barang sedikitpun, namun aku pengin
menyekolahkan Bina ke Jawa untuk kuliah tahun-tahun depan. Pak “
‘Bagus juga cita-cita kamu,
yah..akupuin berharap begitu. Namun gimana lagi, Bu. Kita hanya petani trans
yang tidak punya dana sedikitpun demi pendidikan anak-anak kita”
“Tapi kita tak mungkin begini terus,
Pak !”
“Maksud kamu bagaimana?”
“Aku punya rencana untuk ke Jakarta
untuk mengadu nasib, guna menyekolahkan Bina. Toh jarak kota Jakarta dengan
Kota Bumi.Tapi itu hanya sebatas angan, Pak”
“Itu tidak menyelesaikan masalah,
Rejeki tidak hanya ada di Jakarta. Aku tidak mungkin mengijinkan kamu ke
Jakarta. Lebih baik sawah yang sudah aku garap ini separonya dijual ke Susanto”
“Terus untuk penghidupan mereka
bagaimana, Pak ?”
“Jangan kuatir, tentu nanti ada
jalan lain”
Kedua jantung kedua insan ini
terbelenggu dengan sunyinya malam hutan di tepi Kota Bumi. Sementara dinginya
angin malam mulai membuat kaku persendian tulang mereka. Maka merekapun tanpa
membuang waktu lagi, menuju peraduan mereka, dengan penuh gelora untuk
menautkan cinta kasih mereka. Hanya angin malam saja yang menjadi saksi betapa
bahagianya kedua insan tersebut, yang sedang berada di pelukan masing-masing
dan peluhpun mulai membasahi sekujur tubuh Prayogo. Namun gelora cinta kasih
mereka pada malam hari itu rupanya menjadi kisah terakhir dari sisi kehidupan
Prayogo.
Di
awal musim panen yang melimpah itu, Prayogo pagi-pagi sudah bangun hendak
mempersiapkan panen dengan dibantu beberapa tetangga. Prayogo tidak menggubris
sama sekali ketika Mawar minta ijin ke Pasar Induk, guna belanja keperluan
makan para tetangganya itu.
Namun
drama kehidupan telah berkata lain, terbukti Mawar bersama pria kenalanya entah
siapa pergi ke Jawa untuk menempuh hidup yang lebih menjanjikan dengan
meninggalkan anak-anaknya yang masih memerlukan cinta kasih Mawar, wanita yang
masih kelihatan ayu dan menawan, meski di umur yang hampir berkepala empat.
Mawar yang dahulu adalah bunga wewangi yang menyerbaki keharuman di rumah
mungil dan sejuk itu. Kini layaknya hanya kembang kertas yang penuh kepalsuan.
Tiada
sepatah katapun yang bisa dilontarkan Prayoga kala istrinya beberapa hari tidak
kelihatan batang hidungnya. Sementara rintihan anak-anaknya terus saja memenuhi
rumah reot mereka. Setahap demi setahap Prayogo berhasil kembali menemukan
dirinya sendiri selama lima tahun. Ulah mereka berempat yang masih balita dan
lucu itu ikut membantu hati pria malang itu untuk menguat kembali.
Pagi
ini kembali Prayoga disibukan dengan panen seperti lima tahun yang lalu, Bina
dan ke tiga adiknya kini membantu bapak yang malang itu ikut membantu panen
padi yang tidak kalah melimpahnya lima tahun yang lalu. Meski panen kali ini
tanpa kehadiran ibunya, namun mereka semua sudah melupakan ibunya yang semula
hadir penuh kasih.
Butir
butir padi masih terikat di tangkainya dan kini berada di Lumbung Padi di
samping rumah Prayoga, yang masih rame dikunjungi tetangga dan ulah anak-anak
mereka yang lucu. Prayoga kini mulai meluruskan kakinya yang mulai terasa kaku
dan penat. Pintu yang semua hanya ditutup. Kini terbuka lebar-lebar bersamaan
munculnya sosok wanita yang kurus kering, dengan rambut yang kumal dan
pandangan mata yang kosong di dalam rongga mata yang cekung.
‘Pak, aku Mawar”
“Mawar, Kau kah Mawar” seru Prayoga
yang berdiri setengah tidak percaya.
“Iya Pak, apa kau lupa, aku yang
salah. Pak”
“Kamu berubah sekarang menjadi
kurus, masuklah, aku tak memanggil anak-anak”
Mawar duduk di kursi bambu ruang
tamu mereka, dengan muka masih kusut dan tatapan mata yang kosong, pertandan
dia telah menyimpan sesuatu yang menyiksa hatinya.
“Maafkan aku Mawar anak-anak telah
aku coba bangunkan, tetapi mereka memilih tetap tidur. Mereka sudah lupa dengan
kamu, kecuali Bina. Itupun tidak mau menemui kamu.”
“Biar nggak apa-apa, memang ini
salah aku, Pak !. Namun kalau boleh aku ingin menggendong Elly”. Prayogopun
mencoba membangunkan paksa Elly dan memberikan pada Ibunya. Ellypun meronta dan
menjeritketakutan serta menguluekan tangan untuk minta gendong Prayoga.
‘Kini kamu tahu bahwa anak-anak
telah melupakan kamu, ini semua memang salahmu. Mereka kini sudah terbiasa
tanpamu. Akupun sudah melupakan kamu setelah 5 tahun aku berusaha melupakan.
Karena hari sudah malam, kini
menginaplah kamu beberapa hari. Setelah itu pulanglah kamu ke Mranggen. Carilah
kehidupan kamu sendiri yang membahagiakan kamu, aku hanya petani kecil yang
tidak punya apa-apa. Kamu wanita cantik dan masih muda, masih banyak kesempatan
lain untuk menggapai kebahagianmu, percuma bila kau kembali ke rumah ini,
kamupun tidak akan berbahagia. Mawar, Bina sudah saya suruh menyiapkan kamar
untuk istirahatmu”
Kini
malampun mulai bergayut di bumi Transmigrasi Harapan Baru, Prayogopun kembali
ke peraduan dengan nyenyak tidur si bungsu Elly yang berada di pelukakkya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar