Jalan hidup yang dilalui masih banyak berliku., kadang meliuk dan menukik tajam. Sesekali yang dilaluinya hanyalah sebuah jalan yang licin namun penuh duri, meski belum tahu kapan jalan ini berujung, Seperti halnya dengan kehidupan manusia selayaknya.
Kadang
Munarsih sampai pucat wajahnya, dan gemeter seluruh kakinya. Bila harus memperdulikan
kehidupan ini. Hanyalah setetes nafas
yang diberikan padanya oleh Yang Maha Esa, namun kelam dan penuh dengan liku
tak berujung.
“Narsih. . .Narsih.. .buka pintunya
“. Sebuah teriakan panjang yang menggema pagi – pagi buta, ke tiap sudut rumah Munarsih.
“Ada apa Kang Narji ?. pagi – pagi buta sampeyan sudah
geger nggak karuan “
“Aku minta jamunya, semalam aku nggak bisa tidur, karena pusing
kepalaku
“Tapi
tinggal beras kencur dengan kunir asem Kang !.
Jamu ini bisa mengurangi perut sampeyan yang kembung. Sampeyan banyak
begadang semalam, sehingga angin malam menyerang perut sampeyan ”. Tutur
Munarsih meyakinkan, tak kalah dengan okter spesialis dalam mendiagnosa Kang
Narji, yang hobinya cuma ngelayab tiap
malam.
”Langsung
aku minum jamunya ya Bu Dokter ” Seru Narji seraya menyeringai bibirnya
lantaran dia harus menghiasi wajahnya dengan senyuman kecil.
”Weleh,
sampeyan melecehkanku ” . Munarsihpun masih melayangkan protes dengan
Kang Narji yang ngeloyor pergi setelah mereguk satu gelas jamu tanpa
meninggalkan sisa di gelas.
”Lho, bayarnya mana Kang
? ”
”Gampang
to, Narsih, kamu kaya nggak tahu Narji
saja ” . Jawab Narji tanpa menoleh
kebelakang. Tubuhnya kini nggak
kelihatan lagi setelah dia hilang di belokan jalan desa.
Tinggalah kini Munarsih dengan senyum geli yang masih
saja tertinggal di bibirnya, yang tanpa berhias lipstik barang secuilpun. Namun
tetap wajah ayunya masih terlihat
menawan.
”Laris jamu kamu Nah !. Tadi
Narji pagi – pagi kesini perlu apa ? ”.
Belum lagi Munarsih sejenak menarik nafas , kini di tengah pintu depan
telah tampak Pakde Warsoyo, dengan
senyuman yang lebar sehingga kelihatan kumis putihnya yang lebat terangkat ke
atas. Entah kunjungan ini bagi Pakde Warsoyo kunjungan yang ke berapa.
”Lumayan
Pak De bisa untuk uang jajan Siswanto dan Novi, mereka berduakan butuh uang
jajan dan sekolah. Tadi Kang Narji cuma minta jamu, dia penyakit kembungnya
kambuh ”.
”Kalau untuk uang jajan dan sekolah kedua anakmu itu
hanya masalah kecil, Nah. Kamu tinggal minta sama aku berapa yang kamu minta. Asal
kamu tahu aku saja ! ” . Pagi pagi bener sudah ada rayuan asmara yang tertanam
di hati Munarsih. Tapi wanita yang sarat
dengan benturan hidup ini hanya senyum
sinis saja. Bagi Dia rayuan semacam ini tiap hari sering ia dapatkan dari
banyak pria hidung belang di desanya.
Tapi bagi Munarsih, sehebat
apapun badai kehidupan nantinya akan sirna juga. Bukankah Kang Parlan suaminya
yang sedang mengadu nasib di Malasia membanting tulang demi masa depan dia dan
kedua anaknya. Segenggam
harapan itulah yang masih saja
melekat jauh di dalam kalbunya. Sehingga diapun akan bersikap dingin terhadap pria manapun yang ingin
menambatkan hidupnya di pelabuhan hatinya.
Munarsihpun menjadi
bersungut-sungut wajahnya, deAngan tegas dan tatapan dingin dia tetap menerima kunjungan Pakde Warsoyo, lantaran apapun alasannya Munarsih
adalah bakul jamu yang siap melayani siapa saja yang menghendaki jamunya. Maka diapun tetap saja menawarkan jamu
gendong, yang memang banyak disukai oleh tetangga sekampungnya.
”Nggak
usah Nah, aku nggak pengin jamu kok, melihat kamu saja sudah sembuh penyakitku
”. Munarsihpun sudah nggak bisa menghitung lagi, sudah berapa ratus kali rayuan gombal orang
tua itu dilontarkan pada dirinya.
”Jangan
begitu lho Pakde ! , nanti Bude marah !.
Apa Pakde nggak
kasihan sama Bude ? ”
”Jangan
panggil aku Pakde, to Nah. Kasihan aku sama Maryati sudah cukup, hampir ,sebagian besar sawah di kampung ini
adalah miliku, yang aku berikan sama
Maryati lengkap dengan kerbau yang berapa puluh aku sendiri nggak tahu. Bahkan
bulan kemarinpun aku belikan Xenia untuknya .
Kurang apa lagi Nah ? ”
”Bukan
itu saja yang dibutuhkan seorang wanita, dia juga butuh kasih sayang. Apa lagi
Bude sekarang sakit strok, apa nggak
kasihan to Pakde ! ? ”
”Nah
dokter mana yang belum aku kunjungi Nah !.
Semuanya sudah aku kunjungi umtuk mengobati penyakit Maryati. Dan akupun
tidak mungkin terus merawatnya, aku sebagai laki – laki normal butuh yang lain
to Nah ”.
Munarsih tambah dingin saja
tatapan matanya, bahkan kini dia sama sekali tidak sudi beradu pandang dengan
lelaki tua hidung belang yang sekarang ada di depannya. Meski sering lelaki tua bangka tak tahu diri
itu menjanjinkan segala kekayaan, bahkan
separo dari sawahnya dan beberapa rumah gedong akan diatas namakan Munarsih. Namun bagi Munarsih kebahagian yang akan dia alami hanyalah kesemuan saja,
yang sekejap akan sirna di telan cinta sejatinya kepada Kang Parlan dan kedua
anaknya
Mataharipun kini sudah tak malu
lagi di bilik ufuk sebelah timur, dan
kini telah menggantung sepenggalah di langit timur. Munarsihpun kini telah siap bermandi keringat
menawarkan jamu gendongnya ke seluruh desanya.
Entah hari ini masih adakah segenggam harapan untuk kehidupanya
Yang jelas seperti hari
biasanya diapun menaruh jamu gendongnya di sudut pasar tempat dia biasa
berjualan bersama dengan pedagang – pedagang kecil lainnya yang memiliki kehidupan
tidak jauh berbeda dengan dirinya.
”Narsih
aku dapat kabar baik, kamu sudah dengar ? ” . Tanya Yu Minten.
”
Kabar apa, Yu ? ” jawab Munarsih penasaran.
”
Kamu kenal Suratman, yang tinggal di
ujung timur desa kita ”
”
Kenal, Yu !, Ada apa dengan Kang Ratman ”. Jawab Munarsih tambah penasaran.
”
Minggu kemarin dia pulang dari Malasia,
dan kabarnya dia juga mencarimu Nah !
“
Oh. Ya !. Ini mesti ada hubungannya dengan Kang Parlan. Aku habiskan daganganku
dulu Yu. Nanti sore aku dengan anak -
anak ke rumah, Kang Ratman ”. Jawab Munarsih, hatinya kini diliputi
berbagai macam kegetiran, lantaran
mengkhawatirkan suami tercintanya yang kini mengadu nasib di negeri seberang.
”Sudahlah
Nah, kamu pulang saja. Biar aku saja yang ngurusi daganganmu. Sekarang pergilah ke rumah Suratman, mumpung anak
anakmu masih sekolah. Kalau nggak punya ongkos naik colt sayur, biar pakai uang
aku saja !.
„Trimakasih
sebelumnya ya Yu !. Baiklah sekarang juga aku akan ke sana ”
Jalan menuju rumah Suratman
masih berupa jalan desa yang belum bagus,
di sana sini masih terlihat lobang – lobang yang hanya ditutup batu – batu padas. Sehingga perjalanan dengan
menggunakan colt sayur, memakan waktu yang cukup lama dan membosankan, apalagi
bagi Munarsih yang hatinya telah dihinggapi
rasa penasaran . Tiak seperti biasanya Munarsih selalu tenang hatinya meski dia
hidup dalam penantian. Seakan akan kini dia menemukan berjuta misteri yang tersimpan di hatinya mengenai Kang Parlan
suaminya. Entahlah ada apa,. Munarsih sendiripun tidak tahu.
Dari depan rumah, Suratman
dan istrinya segera berlarian kecil menyambut kedatangan Mursinah, yang diwajahnya selalu dihiasi senyum ramah,
meski menyimpan rasa penasaran yang tak
menentu. Mereka kini hanya duduk di
serambi rumah, dan Munarsihpun tanpa banyak basi – basi langsung menanyakan
kabar Suparlan suami tercintanya.
”
Semua manusia kan hanya menuruti apa yang sudah digariskan, termasuk suamimu,
Nah !.
”Apa
yang terjadi dengan Kang Parlan ? ” dengan tidak sabar Mursinah langsung
memotong ucapan Suratman.
” Sabar
duku to, Mbakyu ?. Biar
Kang Ratman bercerita dulu ”
”Sesampainya
disana suamimu tidak segera mendapatkan
pekerjaan, seperti yang dijanjikan biro. Sehingga dia disana lama menanggur ”.
”Kok dia tidak kirim surat, to Lik
?. Kalau tahu gitu Kang Parlan tak suruh pulang saja “
”Dia
takut membebani dirimu Nah. Tapi
percayalah ?, dia masih mencintaimu Nah !.
Suamimu adalah tipe laki – laki yang baik “
“Aku
selalu percaya Kang Parlan, lantas bagaimana, Lik ! “
“Akhirnya
diapun pinjam uang kepada Non
Lisa, wanita rentenir asli
Indonesia dan sekarang menjadi warga
negara Malasia “
“Apa
dia masih muda Lik “
“
Amit – amit, Nah. Umurnya dia sudah lebih dari lima puluh tahun”
“Mengapa
dipanggil non, apa dia cantik, Lik ? “ .
Desak Munarsih, lantaran di hatinya mulai tumbuh rasa cemburu buta.
“Ah,
siapa bilang ?. Meski dia minta dipanggil
Non Lisa. Tapi kami semua lebih seneng memanggil Mak Lampir. Suamimu sebenarnya hanya meminjam dua ribu
ringgit, namun sayangnya suamimu tak kunjung dapat pekerjaan juga. Hingga
akhirnya hutangnya membengkan sampai dia sendiri tidak mampu membayarnya “
“Terus
akhirnya gimana, Lik “
”Akhirnya
Non Lisapun berniat mengadukan ke Polisi Kerajaan Diraja Malasia
”Terus
Kang Parlan gimana ? ”
”Dia
hanya pasrah, meski hutang dia pada Non Lisa hampir mencapai sepuluh ribu ringgit. Suamimu memang luar
biasa Nah. Tanpa sedikitpun dia punya rasa takut. Kalau toh harus masuk ke
penjara dia siap menjalani ” . Suratman
diam sejenak, entah karena apa dia tidak melanjutkan pembicaraan mereka untuk
sementara. Dia kini hanya asyik mereguk kopi panasnya. Barangkali saja penderitaan dia dan teman –
teman TKI selama di Malasia, sungguh
sangat berat, termasuk juga penderitaan
Suparlan.
”Aku
nggak nyangka kalau Kang Parlan akan mengalami hal semacam ini. Sebenarnya aku
nggak setuju dia ke Malasia. Lebih baik
kita hidup di desa apa adanya, ketimbang hidup di negeri orang tapi begini
jadinya ”.
”Tapi Non Lisapun akhirnya melunak dan mau
memutihkan hutang suamimu, asal Suparlan
mau mengawini Non Lisa, karena secara
diam diam Non Lisa menartuh hati sama
suamimu yang ganteng. Meski
Non Lisa sendiri sudah memiliki suami, yaitu Mr, Chen,. Pria asli Malasia dan kaya raya. Tapi umurnya sudah mencapai tujuh puluh tahunan
” .
”Akhirnya
merka berdua apa nikah secara sah, Lik ? ” .
Munarsih menguatkan diri untuk mengajukan pertanyaan itu, meski
sebenarnya dia
sudah tidak mampu lagi
mengeluarkan sepatah katapun. Hatinya
kini terbelah menjadi berkeping – keping. Penantian dia selama dua tahun lebih,
hanya kandas di telan kegetiran.
Munarsih yang dari kecil hidup
hanya di lingkungan keluarga petani gurem,
hampir tidak pernah merasakan
kebahagiaan. Benturan dan kesulitan
hidup tiap hari dia jumpai, Hingga
tercetaklah dia menjadi sosok wanita yang
tangguh dan berani menghadapi hidup. Namun menghadapi cobaan hidup
seperti ini, dia hampir tak mampu
bertahan untuk tetap tegar.
”Nggak,
suamimu menolaknya, dia hanya minta
supaya nenek gila itu memutihkan
hutangnya saja. Kemudian seterusnya aku nggak tahu lagi , Nah. Karena aku nggak
tahan lagi hidup di sana dan memutuskan untuk kembali ke desa ini. Dia hanya menitipkan uang ini untukmu dan berpesan. Suatu saat dia
pasti akan pulang mendampingimu lagi, Nah. Dia tidak mau kehilangan Siswanto
dan Novi. Hanya seperti itu yang aku
tahu. Sekarang terimalah uang dari suamimu ! ”.
Meski hari belum sore benar,
terlihat langit biru yang cerah masih menemani mereka. Namun
bagi Munarsih, seakan –akan dia berada di tengah badai yang dasyat, dan langit berwarna kelam. Hinga akhirnya dia
hanya dia membisu sembari menerima uang dari Kang Parlan dia kinipun berpamitan untuk segera
pulang.
Dua tahun silam Munarsih memang
merencnakan meninggalkan kampung halamannya dengan hati yang bulat. Uang yang diterima dari Kang
Parlan suaminya sekarang telah digunakan
untuk modal membuka warteg di Jakarta
bareng sama kakak kandungnya dia, yaitu Munarti. Karena keuletan wanita yang sarat
penderitaan ini, wearteg yang ditekuni kini telah ramai dikunjungi pelanggan.
Meski keberangkatan dia ke
Jakarta kala itu , banyak pihak yang
menghalanginya, namun dia tetap saja membulatkan tekad. Semata-mata
hanya ingin melupakan derita hatinya yang kian tak pasti. Untuk melupakan Kang Parlan justru memang
harus meninggalkan desa ini, dan
menyibukan diri dengan membuka warung,
selain memang jualan jamu gendong dirasa memang sudah tak bisa untuk
membiayai kedua anaknya.
Hingga akhirnya keluarga Munartipun sekarang hidup bahagia, meskipun
Munarsih belum mau juga mendapatkan pengganti Kang Parlan
disisinya, Karena dia tidak mau melukai
perasaan kedua putranya itu. Apalagi bagi Novi putri bungsunya yang masih kerap menanyakan Kang Parlan. Cukup dia saja di dunia yang biasa
kehilangan segala sesuatu, kehancuran
sebuah hati jangan sampai dirasakan oleh kedua putranya itu.
Sering bila malam hari
tiba, kala melihat kedua putranya
tertidur saling berpelukan. Munarsih
menitikan air mata kesedihan. Dia tak tega melihat kedua anaknya hidup tanpa
seorang ayah disisi mereka. Namun perasaan itu akan hilang bila melihat mereka
berdua saling ceria, membantu ibunya di warung setiap habis jam sekolah. Dan
untuk menemani kedua anaknya yang kesepian,
Munarti kakaknya sering menghibur
mereka berdua. Hingga
tidak terasa telah dua tahun mereka hidup di Jakarta.
Musim penghujan di Jakarta
telah tiba, langit mendung tiap hari menggelantung. Hujan seharian tiada henti, udarapun terasa
begtu dingin. Sehingga berita mengenai
banjir di berbagai tempat di Jakarta telah
m,ereka dengar. Munarsihpun enggan membuka warungnya. Dia dan
kedua anaknya lebih senang
membersihkan rumah mungilnya milik mereka sendiri, hasil memeras
keringat di Jakarta selama lebih dari dua tahun.
Sesekali Hp miliknya
berdering, namun setelah di buka seketika itu juga terdengar nada putus. Memang Munarsih kerap menerima telepon
dari pria iseng dan dia selalu
mengabaikannya.
Dari dalam rumah mungil
itu, terdengar derai tawa Munarsih dan kedua anaknya, sesekali
terdengar juga tawa Munarti dan anak – anaknya yang kala itu kebetulan
bertandang ke rumah saudara kandungnya itu. Tanpa mereka sadari, ulah mereka dari tadi telah diamati
sepasang mata yang kini meredup sendu.
Udarapun bertambah dingin. Sedangkan
malam bertambah larut, sehingga mereka
semua yang sedang ceriapun berniat untuk pergi tidur mengurai mimpi. Munarsihpun
berniat untuk mengunci pintu depan,
lantaran udara malam mulai
mengrogoti rumah mungil itu dan semua yang ada dalamnya sudah mulai enggan membuka matanya.
”Narsih
” . Terdengar panggilan dari suara yang betul – betul dia hafal. Namun seketika
itu dia tidak percaya. Apakah betul
suara itu dari Kang Parlan yang hampir lima tahun tak pernah mengunjunginya.
”Narsih,
apa kamu lupa sama aku ? ” . Kini dia
yakin betul bahwa suara itu, tidak lain adalah suara Kang Parlan suaminya.
”Kang
Parlan, kamu pulang ?. Betulkah sampeyan Kang Parlan ? ” Sekali
lagi Munarsih mencoba untuk meyakinkan kembali.
”Apa
di dunia ini ada dua Parlan. Apa kamu sudah berhasil menemukan pengganti Parlan ”
”Oh
tidak Kang !, aku hanya tidak percaya apa sampeyan masih ingat Novi dan Wanto ?
”
”Tolong,
Nah !. Panggil mereka ke sini, aku kangen ”
”Iya
Kang, tapi masuklah dulu. Wanto , Novi keluarlah ” . Teriakan mamanya itu segera
mereka dengar. Sehingga tanpa menunggu waktu
berlarilah mereka keluar rumah diikuti Hendra putra Munarti,
Novi dan Siswanti terbelalak
kaget bukan kepalang, karena mereka kini dapat melihat bapak mereka yang sudah lima tahun meninggalkan. Kontan
saja mereka segera menubruk sosok yang selama ini mereka nantikan
Rumah mungil yang tadinya dingin, sedingin hati
Munarsih dan kedua anaknya. Kini terasa
hangat. Jendela hati Munarsih yang telah lima tahun terkunci rapat kini terbuka
lagi, untuk berdua dengan Suparlan
menengok nyanyian burung pagi hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar