Rabu, 14 November 2012

Bukalah Jendela Hati




Jalan  hidup yang dilalui masih  banyak berliku.,  kadang meliuk dan menukik tajam. Sesekali  yang dilaluinya hanyalah sebuah jalan yang licin namun penuh duri,   meski belum tahu kapan jalan ini berujung, Seperti halnya dengan      kehidupan  manusia  selayaknya.

Kadang Munarsih sampai pucat wajahnya, dan gemeter seluruh kakinya. Bila  harus  memperdulikan kehidupan ini.  Hanyalah setetes nafas yang diberikan padanya oleh  Yang  Maha Esa, namun kelam dan penuh dengan liku tak berujung.

“Narsih. . .Narsih.. .buka pintunya “. Sebuah teriakan panjang yang menggema pagi – pagi buta,  ke tiap sudut rumah Munarsih.
“Ada apa  Kang Narji ?. pagi – pagi buta sampeyan sudah geger nggak karuan “
“Aku minta jamunya,  semalam aku nggak bisa tidur, karena pusing kepalaku 
“Tapi tinggal beras kencur dengan kunir asem Kang !.  Jamu ini bisa mengurangi perut sampeyan yang kembung. Sampeyan banyak begadang semalam, sehingga angin malam menyerang perut sampeyan ”. Tutur Munarsih meyakinkan, tak kalah dengan okter spesialis dalam mendiagnosa Kang Narji, yang hobinya cuma ngelayab  tiap malam.

”Langsung aku minum jamunya ya  Bu Dokter ”  Seru Narji seraya menyeringai bibirnya lantaran dia harus menghiasi wajahnya dengan senyuman kecil.
”Weleh, sampeyan melecehkanku ”  .  Munarsihpun masih melayangkan protes dengan Kang Narji yang ngeloyor pergi setelah mereguk satu gelas jamu tanpa meninggalkan sisa di gelas.
”Lho,  bayarnya  mana Kang  ? ”
”Gampang to, Narsih,  kamu kaya nggak tahu Narji saja ” .  Jawab Narji tanpa menoleh kebelakang.  Tubuhnya kini nggak kelihatan lagi setelah dia hilang di belokan jalan desa.
Tinggalah  kini Munarsih dengan senyum geli yang masih saja tertinggal di bibirnya, yang tanpa berhias lipstik barang secuilpun. Namun tetap wajah ayunya  masih terlihat menawan.

”Laris jamu kamu Nah !. Tadi Narji pagi – pagi kesini perlu apa ? ”.  Belum lagi Munarsih sejenak menarik nafas , kini di tengah pintu depan telah tampak  Pakde Warsoyo, dengan senyuman yang lebar sehingga kelihatan kumis putihnya yang lebat terangkat ke atas. Entah kunjungan ini bagi Pakde Warsoyo kunjungan yang ke berapa.
”Lumayan Pak De bisa untuk uang jajan Siswanto dan Novi, mereka berduakan butuh uang jajan dan sekolah. Tadi Kang Narji cuma minta jamu, dia penyakit kembungnya kambuh ”.
”Kalau  untuk uang jajan dan sekolah kedua anakmu itu hanya masalah kecil, Nah. Kamu tinggal minta sama aku berapa yang kamu minta. Asal kamu tahu aku saja ! ” . Pagi pagi bener sudah ada rayuan asmara yang tertanam di hati Munarsih. Tapi wanita  yang sarat dengan  benturan hidup ini hanya senyum sinis saja. Bagi Dia rayuan semacam ini tiap hari sering ia dapatkan dari banyak  pria hidung belang di desanya.
Tapi bagi Munarsih, sehebat apapun badai kehidupan nantinya akan sirna juga. Bukankah Kang Parlan suaminya yang sedang mengadu nasib di Malasia membanting tulang demi masa depan dia dan kedua anaknya. Segenggam

harapan itulah yang masih saja melekat jauh di dalam kalbunya. Sehingga diapun akan  bersikap dingin terhadap pria manapun yang ingin menambatkan hidupnya di pelabuhan hatinya.
Munarsihpun menjadi bersungut-sungut wajahnya, deAngan tegas dan tatapan dingin  dia tetap menerima kunjungan Pakde  Warsoyo, lantaran apapun alasannya Munarsih adalah bakul jamu yang siap melayani siapa saja yang menghendaki jamunya.  Maka diapun tetap saja menawarkan jamu gendong, yang memang banyak disukai oleh tetangga sekampungnya.
”Nggak usah Nah, aku nggak pengin jamu kok, melihat kamu saja sudah sembuh penyakitku ”. Munarsihpun sudah nggak bisa menghitung lagi,  sudah berapa ratus kali rayuan gombal orang tua  itu dilontarkan pada dirinya.
”Jangan begitu lho Pakde ! ,  nanti Bude marah !. Apa Pakde  nggak kasihan sama Bude ? ”
”Jangan panggil aku  Pakde, to Nah.  Kasihan aku sama  Maryati sudah cukup,  hampir ,sebagian besar sawah di kampung ini adalah miliku,  yang aku berikan sama Maryati lengkap dengan kerbau yang berapa puluh aku sendiri nggak tahu. Bahkan bulan kemarinpun aku belikan Xenia untuknya .  Kurang apa lagi Nah ? ”

”Bukan itu saja yang dibutuhkan seorang wanita, dia juga butuh kasih sayang. Apa lagi Bude sekarang  sakit strok, apa nggak kasihan to Pakde ! ? ”
”Nah dokter mana yang belum aku kunjungi Nah !.  Semuanya sudah aku kunjungi umtuk mengobati penyakit Maryati. Dan akupun tidak mungkin terus merawatnya, aku sebagai laki – laki normal butuh yang lain to Nah ”. 
Munarsih tambah dingin saja tatapan matanya, bahkan kini dia sama sekali tidak sudi beradu pandang dengan lelaki tua hidung belang yang sekarang ada di depannya.  Meski sering lelaki tua bangka tak tahu diri itu  menjanjinkan segala kekayaan, bahkan separo dari sawahnya dan beberapa rumah gedong akan diatas namakan Munarsih.  Namun bagi Munarsih kebahagian  yang akan dia alami hanyalah kesemuan saja, yang sekejap akan sirna di telan cinta sejatinya kepada Kang Parlan dan kedua anaknya


Mataharipun kini sudah tak malu lagi di bilik ufuk sebelah timur,  dan kini telah menggantung sepenggalah di langit timur.  Munarsihpun kini telah siap bermandi keringat menawarkan jamu gendongnya ke seluruh desanya.  Entah hari ini masih adakah segenggam harapan untuk kehidupanya

Yang jelas seperti hari biasanya diapun menaruh jamu gendongnya di sudut pasar tempat dia biasa berjualan bersama dengan pedagang – pedagang kecil lainnya yang memiliki kehidupan tidak jauh berbeda dengan dirinya.
”Narsih aku dapat kabar baik, kamu sudah dengar ? ” . Tanya Yu Minten.
” Kabar apa, Yu  ? ”  jawab Munarsih penasaran.
” Kamu kenal  Suratman, yang tinggal di ujung  timur desa kita ”
” Kenal, Yu !, Ada apa dengan Kang Ratman ”. Jawab Munarsih tambah penasaran.
 Minggu kemarin dia pulang dari Malasia, dan kabarnya dia juga mencarimu Nah !
“ Oh. Ya !. Ini mesti ada hubungannya dengan Kang Parlan. Aku habiskan daganganku dulu Yu. Nanti sore aku dengan anak  - anak  ke rumah,  Kang Ratman ”.  Jawab Munarsih, hatinya kini diliputi berbagai macam kegetiran,  lantaran mengkhawatirkan suami tercintanya yang kini mengadu nasib di negeri seberang.

”Sudahlah Nah, kamu pulang saja. Biar aku saja yang ngurusi daganganmu. Sekarang  pergilah ke rumah Suratman, mumpung anak anakmu masih sekolah. Kalau nggak punya ongkos naik colt sayur, biar pakai uang aku saja !.
„Trimakasih sebelumnya ya Yu !. Baiklah sekarang juga aku akan ke sana ”
Jalan menuju rumah Suratman masih berupa jalan desa yang belum bagus,  di sana sini masih terlihat lobang – lobang  yang hanya ditutup batu – batu padas.  Sehingga perjalanan dengan menggunakan colt sayur, memakan waktu yang cukup lama dan membosankan, apalagi bagi Munarsih yang  hatinya telah dihinggapi rasa penasaran . Tiak seperti biasanya Munarsih selalu tenang hatinya meski dia hidup dalam penantian. Seakan akan kini dia menemukan berjuta misteri yang  tersimpan di hatinya mengenai Kang Parlan suaminya. Entahlah ada apa,. Munarsih sendiripun tidak tahu.
Dari depan rumah, Suratman dan istrinya segera berlarian kecil menyambut kedatangan Mursinah,  yang diwajahnya selalu dihiasi senyum ramah, meski menyimpan rasa penasaran  yang tak menentu.   Mereka kini hanya duduk di serambi rumah, dan Munarsihpun tanpa banyak basi – basi langsung menanyakan kabar Suparlan suami tercintanya.

” Semua manusia kan hanya menuruti apa yang sudah digariskan, termasuk suamimu, Nah !.
”Apa yang terjadi dengan Kang Parlan ? ” dengan tidak sabar Mursinah langsung memotong ucapan Suratman.
” Sabar  duku to, Mbakyu ?.  Biar  Kang Ratman bercerita dulu ”
”Sesampainya disana  suamimu tidak segera mendapatkan pekerjaan, seperti yang dijanjikan biro. Sehingga dia disana lama menanggur ”.
”Kok dia tidak kirim surat, to Lik ?. Kalau tahu gitu Kang Parlan tak suruh pulang saja “

”Dia takut membebani dirimu Nah.  Tapi percayalah ?, dia masih mencintaimu Nah !.  Suamimu adalah tipe laki – laki yang baik “
“Aku selalu percaya Kang Parlan, lantas bagaimana, Lik ! “
“Akhirnya diapun  pinjam uang kepada   Non  Lisa,  wanita rentenir asli Indonesia  dan sekarang menjadi warga negara Malasia “

“Apa dia masih muda Lik “
“ Amit – amit, Nah. Umurnya dia sudah lebih dari lima puluh tahun”
“Mengapa dipanggil non, apa dia cantik,  Lik ? “ . Desak Munarsih, lantaran di hatinya mulai tumbuh rasa cemburu buta.
“Ah, siapa bilang ?.  Meski dia minta dipanggil Non Lisa. Tapi kami semua lebih seneng memanggil Mak Lampir.  Suamimu sebenarnya hanya meminjam dua ribu ringgit, namun sayangnya suamimu tak kunjung dapat pekerjaan juga. Hingga akhirnya hutangnya membengkan sampai dia sendiri tidak mampu membayarnya “
“Terus akhirnya gimana, Lik “
”Akhirnya Non Lisapun berniat mengadukan ke Polisi Kerajaan Diraja Malasia
”Terus Kang Parlan gimana ? ”
”Dia hanya pasrah, meski hutang dia pada Non Lisa hampir mencapai  sepuluh ribu ringgit. Suamimu memang luar biasa Nah. Tanpa sedikitpun dia punya rasa takut. Kalau toh harus masuk ke penjara dia siap menjalani ” .  Suratman diam sejenak, entah karena apa dia tidak melanjutkan pembicaraan mereka untuk sementara. Dia kini hanya asyik mereguk kopi panasnya.  Barangkali saja penderitaan dia dan teman – teman TKI selama di Malasia,  sungguh sangat berat,  termasuk juga penderitaan Suparlan.
”Aku nggak nyangka kalau Kang Parlan akan mengalami hal semacam ini. Sebenarnya aku nggak setuju dia ke Malasia.  Lebih baik kita hidup di desa apa adanya, ketimbang hidup di negeri orang tapi begini jadinya  ”.
 ”Tapi Non Lisapun akhirnya melunak dan mau memutihkan hutang suamimu,  asal Suparlan mau mengawini Non Lisa,  karena secara diam diam Non Lisa  menartuh hati sama suamimu yang ganteng.  Meski Non Lisa sendiri sudah memiliki suami, yaitu Mr, Chen,. Pria  asli Malasia dan kaya raya.  Tapi umurnya sudah mencapai tujuh puluh tahunan ” .
”Akhirnya merka berdua apa nikah secara sah, Lik ? ” .  Munarsih menguatkan diri untuk mengajukan pertanyaan itu, meski sebenarnya dia
sudah tidak mampu lagi mengeluarkan sepatah katapun.  Hatinya kini terbelah menjadi berkeping – keping. Penantian dia selama dua tahun lebih, hanya kandas di telan kegetiran.
Munarsih yang dari kecil hidup hanya di lingkungan keluarga petani gurem,  hampir  tidak pernah merasakan kebahagiaan.  Benturan dan kesulitan hidup tiap hari dia jumpai,  Hingga tercetaklah dia menjadi sosok wanita yang  tangguh dan berani menghadapi hidup. Namun menghadapi cobaan hidup seperti ini,  dia hampir tak mampu bertahan untuk tetap tegar.
”Nggak, suamimu  menolaknya, dia hanya minta supaya  nenek gila itu memutihkan hutangnya saja. Kemudian seterusnya aku nggak tahu lagi , Nah. Karena aku nggak tahan lagi hidup di sana dan memutuskan untuk kembali ke desa ini.  Dia hanya menitipkan uang  ini untukmu dan berpesan. Suatu saat dia pasti akan pulang mendampingimu lagi, Nah. Dia tidak mau kehilangan Siswanto dan Novi.  Hanya seperti itu yang aku tahu. Sekarang terimalah uang dari suamimu ! ”.
Meski hari belum sore benar, terlihat langit biru yang cerah masih menemani mereka. Namun bagi Munarsih, seakan –akan dia berada di tengah badai yang dasyat, dan  langit berwarna kelam. Hinga akhirnya dia hanya dia membisu sembari menerima uang dari Kang  Parlan dia kinipun berpamitan untuk segera pulang.
Dua tahun silam Munarsih memang merencnakan meninggalkan kampung halamannya dengan hati yang bulat.  Uang yang diterima dari Kang Parlan suaminya  sekarang telah digunakan untuk modal membuka warteg di Jakarta  bareng sama kakak kandungnya dia, yaitu Munarti.   Karena keuletan wanita yang sarat penderitaan ini, wearteg yang ditekuni kini telah   ramai dikunjungi pelanggan.           
Meski keberangkatan dia ke Jakarta kala itu ,  banyak pihak yang menghalanginya, namun dia tetap saja membulatkan tekad.  Semata-mata hanya ingin melupakan derita hatinya yang kian tak pasti.  Untuk melupakan Kang Parlan justru memang harus meninggalkan desa ini,  dan menyibukan diri dengan membuka warung,  selain memang jualan jamu gendong dirasa memang sudah tak bisa untuk membiayai kedua anaknya.
Hingga akhirnya keluarga  Munartipun sekarang hidup bahagia,  meskipun  Munarsih belum mau juga mendapatkan pengganti Kang Parlan disisinya,  Karena dia tidak mau melukai perasaan kedua putranya itu. Apalagi bagi Novi putri bungsunya  yang masih kerap menanyakan Kang Parlan.   Cukup dia saja di dunia yang biasa kehilangan segala sesuatu,  kehancuran sebuah hati jangan sampai dirasakan oleh kedua putranya itu.
Sering bila malam hari tiba,  kala melihat kedua putranya tertidur saling berpelukan.  Munarsih menitikan air mata kesedihan. Dia tak tega melihat kedua anaknya hidup tanpa seorang ayah disisi mereka. Namun perasaan itu akan hilang bila melihat mereka berdua saling ceria, membantu ibunya di warung setiap habis jam sekolah. Dan untuk menemani kedua anaknya yang kesepian,   Munarti kakaknya  sering menghibur mereka berdua.  Hingga tidak terasa telah dua tahun mereka hidup di Jakarta.
Musim penghujan di Jakarta telah tiba, langit mendung tiap hari menggelantung.  Hujan seharian tiada henti, udarapun terasa begtu dingin.  Sehingga berita mengenai banjir di berbagai tempat di Jakarta  telah m,ereka dengar.  Munarsihpun enggan  membuka warungnya.  Dia dan  kedua anaknya lebih senang  membersihkan rumah mungilnya milik mereka sendiri, hasil memeras keringat di Jakarta selama lebih dari dua tahun.
Sesekali Hp miliknya berdering,   namun setelah di buka  seketika itu juga terdengar nada putus.  Memang Munarsih kerap menerima telepon dari  pria iseng dan dia selalu mengabaikannya.
Dari dalam rumah mungil itu,  terdengar derai tawa  Munarsih dan kedua anaknya, sesekali terdengar juga tawa Munarti dan anak – anaknya yang kala itu kebetulan bertandang ke rumah saudara kandungnya itu. Tanpa mereka  sadari, ulah mereka dari tadi telah diamati sepasang mata yang kini meredup sendu.
Udarapun bertambah dingin. Sedangkan malam bertambah larut,  sehingga mereka semua yang sedang ceriapun berniat untuk pergi tidur mengurai mimpi.  Munarsihpun  berniat untuk mengunci pintu depan,  lantaran  udara malam mulai mengrogoti rumah mungil itu dan semua yang ada dalamnya  sudah mulai enggan membuka  matanya.
”Narsih ” . Terdengar panggilan dari suara yang betul – betul dia hafal. Namun seketika itu dia tidak percaya. Apakah betul  suara itu dari Kang Parlan yang hampir lima tahun tak  pernah mengunjunginya.
”Narsih, apa  kamu lupa sama aku ? ” . Kini dia yakin betul bahwa suara itu, tidak lain adalah suara Kang Parlan suaminya.
”Kang Parlan, kamu pulang ?. Betulkah sampeyan Kang Parlan ? ” Sekali lagi Munarsih mencoba untuk meyakinkan kembali.
”Apa di dunia ini ada dua Parlan. Apa kamu sudah berhasil menemukan pengganti Parlan ”
          ”Oh tidak Kang !, aku hanya tidak percaya apa sampeyan masih ingat Novi dan Wanto ? ”
            ”Tolong, Nah !. Panggil mereka ke sini, aku kangen ”
            ”Iya Kang, tapi masuklah dulu.  Wanto ,  Novi keluarlah ” . Teriakan mamanya itu segera mereka dengar. Sehingga tanpa menunggu waktu  berlarilah mereka keluar rumah diikuti Hendra putra Munarti,
Novi dan Siswanti terbelalak kaget bukan kepalang, karena mereka kini dapat melihat bapak mereka  yang sudah lima tahun meninggalkan. Kontan saja mereka segera menubruk sosok yang selama ini mereka nantikan
Rumah mungil  yang tadinya dingin, sedingin hati Munarsih  dan kedua anaknya. Kini terasa hangat. Jendela hati Munarsih yang telah lima tahun terkunci rapat kini terbuka lagi, untuk  berdua dengan Suparlan menengok nyanyian burung pagi hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar