Usianya kini telah hampir 55
Tahun, tergolong belum uzur betul. Namun karena penyakit gulanya telah menggrogotinya sejak usia 45 tahun, kini diapun layaknya manula yang tiada berdaya. Maka hari-harinya hanya dia lewati dengan membaca dan membaca. Kadang itupun masih membuat jiwanya terkungkug kegetiran , di tengah rumah gedong yang hanya dihuni dia seorang diri. Namun mau apa lagi, toh dia hanya manusia biasa, yang tiada punya daya upaya.
Tahun, tergolong belum uzur betul. Namun karena penyakit gulanya telah menggrogotinya sejak usia 45 tahun, kini diapun layaknya manula yang tiada berdaya. Maka hari-harinya hanya dia lewati dengan membaca dan membaca. Kadang itupun masih membuat jiwanya terkungkug kegetiran , di tengah rumah gedong yang hanya dihuni dia seorang diri. Namun mau apa lagi, toh dia hanya manusia biasa, yang tiada punya daya upaya.
Pagi
hari itu dia mencoba lagi membaca buku harian yang dia sempat tulis sejak muda.
Karena hidup bagi dia adalah suatu esai keindahan kala masih bersama anak serta
istrinya, menempati rumah mewah di perumahan sinder Pabrik Gula Jatiibarang Kabupaten Brebes. Kala itu diapun tidak mau melewati hidup yang indah begitu
saja, bersama istrinya Diajeng Melati. Prmadoaa di pabrik gula
tersebut.
Istri
yang dia cintai itu memang putri pimpinan pabrik gula tersebut, yang sudah
barang tentu tergolong putri gedongan dan
manja. Dapat dikatakan diantara rakyat se wilayah Jatibarang tiada yang
melebihi kecantikannya, apalagu kekayaannya. Hanya dialah yang mampu
merobohkan hati Prakoso, pemuda kalangan pinggiran, namun memiliki etos kerja yang brilliant, pandai memimpin, murah senyum, cerdas dan patuh pada pimpinan.
Sehingga tidak heran bila dlam waktu sekejap karirnya meroket di pabrik gula
tersebut.
Namun
saat itu keteguha hati Prakoso menjadi
luruh, kala berjumpa kembang mawar yang
wewangi, yang mampu merobohkan hati siapa saja yang menjumpainya. Meski semula
Prakoso tahu betul bahwa bukan wanita itu yang dia inginkan menjai pendamping
hidupnya. Dia lebih menyukai wanita dari kalangannya yang penuh memberi arti dan sangguh mampu menjadi pelabuhan hatinya.
Bukankah maghligai pelaminan seperti itu yang dibutuhkan oleh
setiap insan.
Namun
Diajeng Melatipun tidak mau membiarkan saja kumbang jantan yang memliki prestai
kerja yang handal, hanya Prakosolalah
satu-satunya pekerja yang memenuhi persyaratan menggantikan ayahnya kelak dikemudian
hari. Maka Diajeng Melatipun tidak ragu
lagi mengulurkan kedua tangannya untuk menerima kehadiran Prakoso,
sang mandor yang juga memiliki
pesona yang romantis, tidak kalah dengan putra bendoro koleganya.
Menyikapi
niatan putrinya untuk menggapai masa depannya itu, Raden Mas Soenaryopun menyambutnya dengan bahagia. Meski silih berganti para putra
bendoro melamar putri kahyangannya, namun Diajeng Melati justru menyam,bitnyua dengan sikap dingin,
pertanda dia belum menemukan pilihannya.
Bagi
Raden Mas Prakoso kejadian itu sudah 35 tahun berselang, namun rasanya kenangan
itu baru saja melintasinya di pinggir hatinya yang kini tinggal kepingan
keputusasaan, semenjak belahan jiwanya meninggalkannya bersama kedua putrinya
yang sudah beranjak ewasa. Namun kenangan itu, sepertinya masih melekat di kehidupannya,
kala lembar demi lembar buku hariannya di baca.
Sampailah pandangan matanya tajam menyorot sebuah halaman lusuh, namun
menyebabkan hatinya yang semula
ditaburi bunga kini terhempas dalam kepiluan.
Diambilnya
nafas dalam dalam untuk menyegarkan kemabli tubuihnya yang sudah lemah tak
berdaya. Ketika suatu pagi, ketika dia bangun dari tidurnya. Rasa kaget
menelikungnya saat melihat istri dan kedua anaknya berpamitan entah hendak
pergi kemana. Sementara andong milik keluarga ningrat itu sudah
menunggu di pintu regol.
“Melati .! Tunggu dulu,
kau mau kemana ?”
Tidak ada sepatah katapun yang
keluar dari mulut Melati, hanya terlihat
dia menyibukan diri mengemasi koper berisi pakaian dan perhiasan milik dia
dan anak-anaknya.
”Melati, aku suamimu, berhak
melarang atau menijinkan kemana kau dan anak-anaku pergi”
”Lantas kalau kau suamiku, kau
mau apa ?”
”Aku berhak menerima penjelasan
darimu, apa maksud semua ini?”
”Apa perlu lagi kujelaskan, apa
kau masih berhak menerima penjelasanku”
”Aku masih suamimu yang sah, Diajeng Melati mengertilah, ini semua
bukan kemaunku”
Kembali rumah mewah berarsitek Eropa itu menjadi lengang, kini hany a
terdengar suara isak tangis dari kedua putrinya, yang mulai beranjak dewasa,
yaitu Rr. Caroline
Widiati dan Rr. Elisabeth
Muniarti. Sementara itu sebentar-sebentar terdengar ringkik kuda andong milik
keluarga piyayi pabrik gula tersebut.
”Kalau kau ingin penjelasanku,
sekarang juga aku akan ke Pakde Raden Winata
di Cirebon, akau akan tinggal di sana. Kamu sudah tidak mampu lagi
menjadi suamku, kamu sudah tidak mampu
lagi menafkahi keluargamu. Yang kamu lakukan hanya mengumbar nafsu dengan wanita-wanita inlander
itu.”
”Tap itu dulu kan, mam ! ”
”Ya dulu waktu kau masih masih bugar dan banyak menyimpan gulden. Sekarang mana ?”
”Lagian di luar masih banyak
ekstimis republik yang akan membahayaka
perjalananmu”
”Aku sudah minta bantuan Tuan Kepala Polisi dan mereka mengirmku
beberapa petugas ”
”Tunggulah dulu barang beberapa
hari, kita bicarakan baik-baik”
”Kamu lupa Mr. Prakoso !,
bertahun-tahun aku berusaha mengajakmu bicara masalah masa depan kita. Tapi
kamu selalu m,enghindar, bahkan semakin kamu terporosok lebih dalam dengan wanita-wanita jalang dari
temat-tempat kasino itu, berapa
ribu gulden telah kau hamburkan. Sekarang kau mau menutup mata lagi”
”Bukan itu maksudku Melati !, toh aku sudah menyadari itu dan aku sudah minta maaf masa laluku.. Aku harap jangan pergi dulu,
toh masih banyak kesemptan bagi kita untuk saling memperbaiki”
”Ketahuilah Mr. Prakoso, aku pergi bukan masalah itu
saja, tapi demi masa depan anak kita. Kedua putrimu yang cantik harus bersekolah di sekolah terpandang, sekolah
para bendoro, karena kita adalah
keluarga terpandang. Sedangkan kamu sudah tidak mampu lagi membiayai
kedua putrimu, karena kau sudah bangkrut.
Suamiku”
Prakoso
merasakan jantungnya berdegup lebih kencang, kedua kakinya ternanam di bumi
dalam-dalam. Kini diapun hanya mampu memandangi kepergian istri dan kedua
putrinya. Seluruh tubuhnya terasa tak bertulang lagi, Hanya seperti inikah
sebuah hidup yang harus dijalani, ataukah memang dunia tiada bersahabat lagi.
Tanpa
menoleh sedikitpun kearahnya Diajeng
Melati berlalu dengan angkuhnya, hanya pandang mata kedua putrinyasaja yang
membekas jauh di dalam kalbunya, bersama dengan airmata mereka. Kapankah kita bertemu lagi putriku, demikian bisik
hatinya, bersama dengan ringkik kuda
yang semakin lama semakin tak terdengar
lagi.
Ditutupnya
lembar buku harian itu yang menyisakan perasaan pedih dan haru. Meski sebuah
halaman yang paling dia benci namun sekaligus paling sering dibaca hingga
kelihatan kumal. Sebuah nafas panjang ditarinya dalam –dalam, bersama dengan
keringat dingin yang membasahi seluruh tubuhnya. Dengan tangan yang bergetar terpagut perasaan rindu terhadap
sebuah pertemuan, Prakoso yang tiada
berdaya itu membuka lembaran berikutnya. Lembaran yang mengisahkan perjalanan
panjang seorang laki-laki yang
terhempas dari badai kehidupan.
Berkali
kali dirinya mengunjugi Wedana
Kresidea\nan Cirebon, Bendoro Winata
untuk menyakan kepergian keluarganya. Dari keterangan paman Diajeng Melatilah
dia tahu, bahwa keluarganya kini berada
di Batavia bersama dengan pembesar Kerajaan Belandan Mr, William, seorang
arsitek terpandang dan sangat kaya. Semula memang Diajeng Melati tinggal
bersama pamanya, namun entah alasan apa merekapun
sepakat untuk hidup di Batavia, tanpa meninggalkan alamat
yang jelas.
Serasa
baru kemarin kegetiran itu berlangsung,
meski telah lima belas tahun berselang.
Pandangan matanya menjadi sendu, kursi
goyang dari kayu jatipun telah berhenti
bergoyang. Lantaran sebuah insan yang penuh kebekuan hidupnya telah terbujur
berada di atasnya. Prakosopun tambah
semakin jauh dengan kehidupan yang dimilikinya, yang sarat dengan derai tawa
canda dikala m,udanya. Kini didnding rumah gedongan sang sinder itupun terasa
semakn menghimpitnya, sehingga
paru-parunya tersa sakit untuk
bernafas.
Sebuah suara lembut dari dalam
kamar tidurnya yang lengang telah memanggilnya , dengan sisa tenaga yang
masih ada diapun berusaha menuju arah suara itu. Kemudian dengan keputusasaaan
akan suatu pertemuan, kini menemani dia di pembaringan. Dinding rumah tuanya
kini terasa lebih longgar lagi.
Warna dinding rumahnya yang tadi kusam, kini mulai memancarka sinar putih
yang menyilaukan, sang sinderpun hanya mampu memandanginya. Jiwa yang dipenuhi lautan pasrahpun kini
menunggunya, tatkala dia terbang ke awan bersama sinar putih itu. Kamar itupun
kini lenggang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar