Rabu, 14 November 2012

Buku Harian



Usianya kini telah hampir 55

Tahun, tergolong belum uzur betul. Namun karena  penyakit gulanya telah menggrogotinya sejak usia 45  tahun, kini diapun layaknya manula yang tiada berdaya.
Maka hari-harinya hanya dia  lewati dengan membaca dan membaca. Kadang itupun masih membuat jiwanya terkungkug kegetiran , di tengah  rumah gedong  yang  hanya  dihuni dia seorang diri.  Namun mau apa lagi, toh dia hanya manusia biasa, yang tiada punya daya upaya.
Pagi hari itu dia mencoba lagi membaca buku harian yang dia sempat tulis sejak muda. Karena hidup bagi dia adalah suatu esai keindahan kala masih bersama anak serta istrinya, menempati rumah mewah di perumahan sinder Pabrik Gula  Jatiibarang Kabupaten Brebes. Kala  itu diapun tidak mau melewati  hidup yang indah  begitu  saja,  bersama istrinya  Diajeng Melati. Prmadoaa di pabrik gula tersebut.
Istri yang dia cintai itu memang putri pimpinan pabrik gula tersebut, yang sudah barang tentu tergolong putri gedongan dan  manja. Dapat dikatakan diantara rakyat se wilayah Jatibarang tiada yang melebihi kecantikannya, apalagu kekayaannya. Hanya dialah yang  mampu  merobohkan hati Prakoso, pemuda kalangan pinggiran,  namun memiliki etos kerja yang brilliant,  pandai memimpin,  murah  senyum, cerdas dan patuh pada pimpinan. Sehingga tidak heran bila dlam waktu sekejap karirnya meroket di pabrik gula tersebut.
Namun saat itu  keteguha hati Prakoso menjadi luruh, kala  berjumpa kembang mawar yang wewangi, yang mampu merobohkan hati siapa saja yang menjumpainya. Meski semula Prakoso tahu betul bahwa bukan wanita itu yang dia inginkan menjai pendamping hidupnya. Dia lebih menyukai wanita dari kalangannya yang  penuh memberi arti dan sangguh  mampu menjadi pelabuhan hatinya. Bukankah  maghligai  pelaminan seperti itu yang dibutuhkan oleh setiap  insan.
Namun Diajeng Melatipun tidak mau membiarkan saja kumbang jantan yang memliki prestai kerja yang  handal, hanya Prakosolalah satu-satunya pekerja yang memenuhi persyaratan menggantikan ayahnya kelak dikemudian hari. Maka Diajeng Melatipun  tidak ragu lagi mengulurkan kedua tangannya untuk menerima kehadiran  Prakoso,  sang mandor yang juga memiliki  pesona yang romantis, tidak kalah dengan putra bendoro  koleganya.
Menyikapi niatan putrinya untuk menggapai masa depannya itu, Raden Mas Soenaryopun  menyambutnya dengan  bahagia. Meski silih berganti para putra bendoro melamar putri kahyangannya, namun Diajeng Melati  justru menyam,bitnyua dengan sikap dingin, pertanda dia belum menemukan pilihannya.
Bagi Raden Mas Prakoso kejadian itu sudah 35 tahun berselang, namun rasanya kenangan itu baru saja melintasinya di pinggir hatinya yang kini tinggal kepingan keputusasaan, semenjak belahan jiwanya meninggalkannya bersama kedua putrinya yang sudah  beranjak ewasa.  Namun kenangan itu,  sepertinya masih melekat di kehidupannya, kala lembar demi lembar buku hariannya di baca.  Sampailah pandangan matanya tajam menyorot sebuah halaman lusuh,  namun  menyebabkan hatinya yang semula  ditaburi bunga kini terhempas dalam kepiluan.
Diambilnya nafas dalam dalam untuk menyegarkan kemabli tubuihnya yang sudah lemah tak berdaya. Ketika suatu pagi, ketika dia bangun dari tidurnya. Rasa kaget menelikungnya saat melihat istri dan kedua anaknya berpamitan entah hendak pergi kemana. Sementara andong milik keluarga ningrat itu sudah menunggu di pintu regol.
            “Melati .!   Tunggu  dulu,   kau mau kemana ?”
            Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Melati,  hanya terlihat dia  menyibukan diri mengemasi  koper berisi pakaian dan perhiasan milik dia dan anak-anaknya.
            ”Melati, aku suamimu, berhak melarang atau menijinkan kemana kau dan anak-anaku  pergi”
            ”Lantas kalau kau suamiku, kau mau apa ?”
            ”Aku berhak menerima penjelasan darimu, apa maksud semua ini?”
            ”Apa perlu lagi kujelaskan,  apa  kau masih berhak menerima penjelasanku”
            ”Aku masih suamimu yang  sah, Diajeng Melati mengertilah, ini semua bukan kemaunku”
Kembali  rumah mewah berarsitek  Eropa itu menjadi lengang, kini hany a terdengar  suara  isak tangis dari kedua  putrinya, yang mulai beranjak dewasa, yaitu  Rr.  Caroline  Widiati dan  Rr. Elisabeth Muniarti. Sementara itu sebentar-sebentar terdengar ringkik kuda andong milik keluarga piyayi pabrik gula tersebut.
            ”Kalau kau ingin penjelasanku, sekarang juga aku akan ke Pakde Raden Winata  di Cirebon, akau akan tinggal di sana. Kamu sudah tidak mampu lagi menjadi suamku, kamu sudah tidak  mampu lagi menafkahi  keluargamu.  Yang kamu lakukan hanya  mengumbar nafsu dengan wanita-wanita inlander itu.”
            ”Tap itu dulu kan, mam ! ”
            ”Ya dulu waktu kau masih  masih bugar dan banyak  menyimpan gulden. Sekarang  mana ?”
            ”Lagian di luar masih banyak ekstimis republik  yang akan membahayaka perjalananmu”
            ”Aku sudah minta bantuan  Tuan Kepala Polisi dan mereka mengirmku beberapa petugas ”
            ”Tunggulah dulu barang beberapa hari,  kita bicarakan baik-baik”
            ”Kamu lupa Mr. Prakoso !, bertahun-tahun aku berusaha mengajakmu bicara masalah masa depan kita. Tapi kamu selalu m,enghindar,  bahkan  semakin kamu terporosok lebih dalam  dengan wanita-wanita jalang   dari  temat-tempat kasino itu,  berapa ribu gulden telah kau hamburkan. Sekarang kau mau menutup mata lagi”
            ”Bukan itu maksudku Melati !,  toh aku sudah menyadari itu dan  aku sudah minta maaf  masa laluku.. Aku harap jangan pergi dulu, toh masih banyak kesemptan bagi kita untuk saling memperbaiki”
            ”Ketahuilah  Mr. Prakoso, aku pergi bukan masalah itu saja, tapi demi masa depan anak kita. Kedua putrimu yang cantik  harus bersekolah di sekolah terpandang, sekolah para bendoro, karena kita adalah  keluarga terpandang. Sedangkan kamu sudah tidak mampu lagi membiayai kedua putrimu, karena kau sudah bangkrut.  Suamiku”
Prakoso merasakan jantungnya berdegup lebih kencang, kedua kakinya ternanam di bumi dalam-dalam. Kini diapun hanya mampu memandangi kepergian istri dan kedua putrinya. Seluruh tubuhnya terasa tak bertulang lagi, Hanya seperti inikah sebuah hidup yang harus dijalani, ataukah memang dunia tiada bersahabat lagi.
Tanpa menoleh sedikitpun  kearahnya Diajeng Melati berlalu dengan angkuhnya, hanya pandang mata kedua putrinyasaja yang membekas jauh di dalam kalbunya, bersama dengan airmata mereka. Kapankah  kita bertemu lagi putriku, demikian bisik hatinya,  bersama dengan ringkik kuda yang semakin lama semakin tak  terdengar lagi.
Ditutupnya lembar buku harian itu yang menyisakan perasaan pedih dan haru. Meski sebuah halaman yang paling dia benci namun sekaligus paling sering dibaca hingga kelihatan kumal. Sebuah nafas panjang ditarinya dalam –dalam, bersama dengan keringat dingin yang membasahi seluruh tubuhnya. Dengan tangan yang  bergetar terpagut perasaan rindu terhadap sebuah  pertemuan, Prakoso yang tiada berdaya itu membuka lembaran berikutnya. Lembaran yang mengisahkan perjalanan panjang seorang laki-laki yang  terhempas  dari badai kehidupan.
Berkali kali dirinya mengunjugi  Wedana Kresidea\nan Cirebon,  Bendoro Winata untuk menyakan kepergian keluarganya. Dari keterangan paman Diajeng Melatilah dia  tahu, bahwa keluarganya kini berada di Batavia bersama dengan pembesar Kerajaan Belandan Mr, William, seorang arsitek terpandang dan sangat kaya. Semula memang Diajeng Melati tinggal bersama pamanya,  namun entah alasan apa merekapun  sepakat untuk  hidup di Batavia, tanpa meninggalkan alamat yang jelas.
Serasa baru kemarin  kegetiran itu berlangsung, meski telah  lima belas tahun berselang. Pandangan matanya menjadi sendu,  kursi goyang dari kayu jatipun telah  berhenti bergoyang. Lantaran sebuah insan yang penuh kebekuan hidupnya telah terbujur berada di atasnya.  Prakosopun tambah semakin jauh dengan kehidupan yang dimilikinya, yang sarat dengan derai tawa canda dikala m,udanya. Kini didnding rumah gedongan sang sinder itupun terasa semakn menghimpitnya, sehingga  paru-parunya tersa sakit  untuk bernafas.
Sebuah suara lembut  dari dalam kamar  tidurnya yang lengang  telah memanggilnya , dengan sisa tenaga yang masih ada diapun berusaha menuju arah suara itu. Kemudian dengan keputusasaaan akan suatu pertemuan, kini menemani dia di pembaringan. Dinding rumah tuanya kini terasa lebih  longgar lagi. Warna  dinding rumahnya yang  tadi kusam, kini mulai memancarka sinar putih yang menyilaukan, sang sinderpun hanya mampu memandanginya.  Jiwa yang dipenuhi lautan pasrahpun kini menunggunya, tatkala dia terbang ke awan bersama sinar putih itu. Kamar itupun kini lenggang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar