Tangan tangan mereka lepas saja sambil berjalan, lantaran tidak menjinjing bekal apapun kala menyusuri jalan desa yang memutih tertutup abu. Nafas mereka kelihatan tersengal saat menelusuri jalan terjal. Namun tetap saja mereka berjalan menerbangkan abu halus yang liar berkejaran. Nampaknya rasa rindu pada kampung halaman mereka melebihi penderitaan apapun yang tak jauh memusari.
Tidak beberapa lama sampailah mereka pada
dataran tinggi yang memutari lembah kampung halaman mereka, yaitu Turgo, suatu
lembah kehidupan mereka di lereng Merapi. Mereka semua kini berkumpul dengan
tatapan mata kosong, beberapa ibu melepaskan gendongan anak anaknya yang
merengek kelaparan. Kaki mereka yang melegam menyimpan sisa sisa terkaman sinar
matahari, kini seakan berat melangkah menuruni bukit menuju lembah kehidupanya.
Dari atas sudah tidak nampak lagi lautan
Kolonjoyo, yang biasanya terhampar bagi permadani hijau untuk pakan sapi sapi
mereka, lembah itu kini hanya menyisakan tumpukan abu amarah Merapi. Dari kejauhan
pula mereka hanya menyaksikan puing puing rumah mereka yang hangus diterpa awan
panas muntahan Merapi. Lasmini kini lebih merapatkan ke tempat suaminya
berdiri, yang masih kokoh menggendong Indra putra semata wayangnya.
“Ya, Tuhan, ampuni hambamu ini yang banyak
berdosa” dari mulut Lasmini tanpa disadari terlontar desah ampunan dosa kepada Sang
Pencipta, kala menyaksikan Turgo menjadi luluh lantak bagaikan kampung hantu.
“Berilah kami kekuatan, Ya Tuhan untuk memulai
kehidupan kami “. Tangan kanan Sumitro masih terus saja menggendong Indra
sedangkan tangan kirinya memeluk sang istri yang sama sama merasakan kegetiran
hidup ini.
‘Gimana, kita sekarang, Mas ?” Lasmini
menengadahkan wajahnya yang memucat itu ke arah suaminya yang tetap bersikap
tenang.
“Bencana ini datangnya dari Yang Kuasa, maka
Yang Kuasa pula yang akan memberi jalan unutk kehidupan kita semua. Bersabarlah
!, kita tempati saja rumah kita, semoga
rumah kita masih kokoh berdiri, sambil
mulai besok aku akan membersihkan ladang kita dari abu.”
“Apa kita balik ke barak pengungsi saja, Pak
?”, pinta Lasmini, merengek seperti anak kecil
yang kehilangan mainanya.
“Kita disana juga tidak kalah menderitanya
dibanding di sini. Cobalah kita atasi dulu semua kesulitan ini. Oh ya Lasmi,
apa kamu lihat sapi sapi kita ?”. Sambil memutar melihat ke seluruh arah,
Sumitro masih berharap agar sapi sapi yang dilepas sebelum mengungsi masih bisa
bertahan hidup, karena tinggal sapi sapi itulah Sumitro dan Lasmini menyandarkan
hidup merek
“Mana aku tahu, Mas ?”
“Ya sudahlah, nanti tugas kamu mencari sapi
kita. Semoga saja mereka bisa terhindar dari awan panas. Aku akan membenahi rumah
kita dan membersihkan sendang di belakang rumah, semoga masih bisa kita manfaatkan”.
Pasangan suami istri muda itupun kini
menuruni bukit perlahan, tangan Indrapun semakin merapat memeluk tubuh ayahnya.
Sumitro berusaha menyembunyikan kegetira hatinya, da berusaha sekuat tenaga
agar tetap tenang semata mata demi Lasmini agar mampu lebih berani menapaki penderitaan
yang menyayat hati. Namun belum jauh mereka menuruni bukit itu, terdengar nyaring
Santoso memanggil mereka berdua.
“ Tro, tunggu dulu !, kau mau ke mana ?”
“Aku tetap mau pulang, aku tidak tahan di
pengungsian terus.”
“Tapi keadaan kampung kita seperti ini ?”
“Habis gimana lagi “
“Tapi, Merapi masih berbahaya, Tro ?”
Mereka semua hanya diam membisu, apalagi
Sumitro yang mencoba untuk menguatkan hatinya. Demikian juga Lasmini yang hanya
mampu melempar sorot matanya hanya ke
arah suaminya itu.
“Ya, bagaimana lagi San. Merapi sudah tenang
lagi. Sedangkan rencana relokasi masih belum jelas. Sambil menunggu kita
direlokasikan. Lebih baik aku akan lanjutkan menanam sayur dan memerah sapi. Kita
tidak mungkin terus terusan di barak, kau bagaimana San ?”
“Huh, entahlah Tro. Aku sendiri belum tahu.
Aku juga sebenarnya pengin bertani lagi. Tapi, huh aku mau menunggu saja Merapi
benar benar tenag. Aku sungguh bingung Tro, aku bagaimana pemerintah saja“
“Ya, itu terserah kamu saja. Mereka di
belakang menunggu apa lagi, mengapa tidak segera turun ?”
“Sebagian mereka nekad mau pulang seperti
kamu. Sedangkan sebagian lagi masih ragu-ragu, setelah melihat kampong kita
rata dengan tanah “.
Rupanya pembicaraan Santoso dan Sumitro
menarik perhatian lainya yang diselumuti kebimbungan yang terselip di tengah
kegetiran hati mereka. Maka tanpa
membuang waktu lagi mereka berduyun melangkahkan kakinya menuruni bukit itu,
untuk gabung dengan mereka bertiga. Kebimbangan demi kebimbangan terus mereka
alami, tanpa mampu memutuskan langkah apa yang ditapaki guna menggapai masa
depan mereka yang ditikam kemarahan Merapi. Sawah dan ladang mereka kini tidak
serta merta dapat segera ditanami sayur, sedangkan hidup di reokasi seperti
yang dijanjkan pemerintahpun tentu saja
bakal menuai masalah baru. Sementara itu hingga saat ini Merapi belum
menunjukan keramahan seperti biasanya.
“Tro, apa kamu nekad mau pulang ?” Tanya Ngatijan.
“Aku tidak punya pilihan lain ! “ .
“Mbok nanti dulu Tro, tunggu Merapi tenang
kembali “ pinta Tarsono, yang sebenarnya juga sangat nerindukan Turgo dibuka
lagi untuk mereka.
“Habis, dipengungsian juga kita tak punya harapan apa apa lagi.
Tempat untuk relokasi juga belum ditentukan dimana, Padahal butuh waktu
berbulan bulan. Di pengungsian untuk makan saja kita harus berebut “.
“Lantas, kalau kamu di sini juga mau makan apa, Tro ?” .
Kembali Santoso mencoba untuk menemukan jalan keluar .
“Kita coba saja membuka dapur umum di sini,
nanti untk bahan makanan sementara kita minta bantuan relawan. Musibah ini
bukan kita saja yang menanggung, tapi seluruh rakyat Indonesia “
“Masalahnya bukan itu, Tro !. Tapi kita
tidak tahu apa Merapi masih bisa meletus, atau sudah tenang kembali ?”
“Kalau masalah itu aku tidak tahu, Kang
Sawijan !. Tapi kita mengenal Merapi kan sudah puluhan tahun. Bahkan Kang
Sawijan kan lebih tahu dari saya “
“Betul juga pendapat Sumitro, kita masih
punya waktu untuk meninggalkan Turgo,bila Merapi garang lagi “. Perlahan lahan Santoso mulai menemukan hatinya
kembali, yang sejak kemarin memang bimbang. Kini diapun sependapat dengan
Sumitro.
“Tapi aku bukan ahli gunung, jangan mengikuti langkahku. Sebaiknya saudara
saudara minta pertimbangan Pak Lurah. Aku hanya menuruti lata hatiku saja,
meski aku lihat banyak saudara saydara kita yang sekarang nekad pulang ke
rumahnya “
Tutur kata Sumitro sedikit banyaknya membuat
mereka harus berpikir lebih jernih lagi untuk memutuskan kembali ke barak atau
mengikuti Sumitro, Sebagian dari mereka menjadi tertunduk lesu, sebagian lainya
hanya mampu menarik nafas panjang. Hanya Santoso saja yang lebih berani lagi
mengikuti langkah Sumitro. Bagi mereka berdua telah yakin bahwa Merapi telah
kembali ramah, entah apa yang
melatarbelakangi keyakinan itu. Tapi memang mereka telah bertahun tahun mengenal
watak Merapi, yang memasuk tahap membangun material kembali untuk letusan
berikutnya.
Dari kejauhan nampak debu mengepul diterjang
roda roda beberapa mobil menuju mereka, semakin dekat semakin nyata bahwa
mereka adalah dari satuan TNI, relawan, wartawan dan pejabat daerah yang
membawa beberapa bahan makanan dan perlengkapan dapur umum untuk warga yang
berbondong pulang ke Turgo.
Seorang dari mereka kemudian mendekati
kerumunan Warga Turgo tersebut sambil menuturkan bahwa Merapi benar benar sudah
bersahabat lagi dengan mereka, dan mereka semua diperbolehkan untuk memulai
kehidupan mereka di desa yang meradang pilu itu, tetapi hanya untuk sementara
hingga benar benar pemerintah siap merelokasi mereka. Mulai hari ini sebuah
team relawan siap membantu utuk menyediakan kebutuhan hidup mereka semua.
Air mata kebahagiaan Sumitro benar benar
telah membasahi pipinya kini, sebuah pelukan erat dia rasakan dari istrinya
yang tadinya lunglai tak berdaya menghadapi kehidupan yang getir ini. Peluk
cium mereka lakukan sepuas puasnya pada Indra buah hati mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar