Kamis, 15 November 2012

Keagungan Bulan Romadhon







Sajadah yang aku hamparkan ikut serta dalam pergulatan yang ada di dalam lazuardi batinku, dan terus saja menepiskan sekumpulan “halus sutra” yang sekarang hinggap di tengah hati. Padahal tangan ini sudah sekuat daya upayaku untuk menggapai angin malam,yang akan kuuntai di dada ini, agar mampu menerbangkan aku di balik keremangan Bulan Suci Romadhon Apakah sajadah yang ada di depanku ini terus saja akan melipat tempat sujudku.

Entah roda jaman apa yang menggilasku, sementara “seteguk demi seteguk” kegilaan telah aku selipkan pada semua yang aku punya. Hingga menusuk pembuluh darahku dalam otak yang tidak seberapa kokohnya. Hingga lunglai tulang ini, nanar pandang mataku meski seluruh otot bahu telah mengencang dan melegam, keangkuhanpun sempat menyelinap masuk dalam batin,hingga mampu membuat sejuta malaikat terpelanting kembali ke langit di tengah rengkuhan “Tangan Tuhan”.

Dan sekarang, sebuah gambaran abstrak yang menggigil lantaran amarahnya yang ememuncak telah menghadangku, di tengah pintu yang akan kuliwati untuk menyongsong Adzan dif ajar Bulan Romadhon.
“Apakah engkau sudah mampu berkemas guna menempuh perjalananmu, hai manusia lancang” jawab suara itu di balik pintu.

“Aku enggan menjawabmu, lantaran warna biru hanya akan aku hiaskan pada langit ketika tiada lagi badai yang memusariku”
“Ha..ha..ha,bukankah badai pernah kau curi dan dipasangkan di tengah mahkotamu, sehingga engkaupun tak mampu menoleh lagi. Sudahkah puas engkau mainkan sandiwara warna-warni di lazuardimu.Bukankah sajadah itu telah melipatkan dan hendak menukik dan mengganjal hatimu”
“Akupun belum sepenuhnya bermandikan air suci, agar sajadah ini menjadi diriku sendiri dan menjadi teman  di tengah malam kala aku dipagut suatu kesunyian”.
Suara itupun telah lenyap. Karena kehalusan sutra di hatiku telah melilit lehernya. Tubuhnya kini menggigil dalam keputusasaan. Seribu sayap malaikatpun mampu menghalangi pandangan mataku, agar tidak lagi diculik oleh suara-suara sepanjang malam.  Bumipun kini telah menelanya dan terus membenamkan menuju perutnya

Malam bertambah pekat, namun kegelapanya menjadi semakin memudar, kala dia menyiapkan diri menerima “malam seribu bulan”. Apalagi kesyahduan di sepertiga malam kini dirasakan oleh semua daun hijau yang tadi sempat menolak berceria di sentuh angin kembara. Biarlah malam ini menjadi miliku, agar leher ini tidak lagi menolehkan leherku pada masa silam.

Maka ketika bumi kuharapkan agar berputar berlawanan arah. Matahari kujadikan pertanda kala aku harus meradang dan menerjang debu jalan hingga berterbangan karena takut dengan kehadiranku. Segelas “khamer kehidupan” telah membutakan aku dalam arah mata angin yang tak pernah pasti. Maka kehidupan yang lancang terus saja menutupi”bait-bait suci” yang seharusnya menghiasi mahkota hidup.

“Hai,,jalan menuju keagungan, dimanakah aku akan temukan engkau, bila dengus nafasku sudah tidak mampu lagi mengenalku. Bila apa yang diperintahkan di Atas sana juga belum smpat aku benahi, aku cuci, aku seterika hingga pantas kala aku kenakan pada senja berhias pelabgi warna-warni”
“Berteriaklah engkau sekuat hati hai manusia, lantaran setiap debu yang ada di jalan ini adalah Tunduk dan Tawadhu kepada Sang Pencipta” Seru sebuah ujung jalan yang berliku dan membuat hati ini penasaran untuk men
“Lantas di mana akan aku temukan itu”
“Peganglah urat nadimu dan tundukanlah anganmu yang liar, yang biasa kau kenakan kala kau menggapai nafas,  sehingga kaupun akan mendapatkan seteguk air tawar agar lebih mengerti lagi makna setiap makna di tengah sejuta makna “di tengah belantara ketidaktahuan”, kalau kau gelisah DIA yang akan membasahimu, kala kau terpanggang di tengah padang hidup yang gersang, DIA akan memberimu secawan obat mujarab hingga engkau tenang, bila enghkau tak tahu arah DIA pun akan menuntunmu dengan penuh ramah, bila engkau gundah, DIA pun akan memberikan apa saja lantaran DIA Maha Pemurah”
“Namun kedua kakiku ini sudah terlanjur terjerambab dalam kubangan “fatamorgana hidup di jaman ini”, rengkuhanya begitu kuatnya. Hingga dada ini terasa panas, tiada satupun air yang mampu membasuhnya, Tiada satu gunungpun yang mampu mengalirkan mata air pembnasuh itu”
“Engkau memang keras kepala hai manusia, dan tuli telingamu, mata hanya untuk memandang gebyar lampu taman warna-warni, ketahuilah hai “pembawa bencana”, semua yang menghalangimu mampu kau tundukan, bila suara degup jantungmu sendiri telah mampu kau dengarkan, bila darah yang mengalir di setiap nadimu telah kau jaga. Maka pergilah kamu jauh-jauh, tundukan “belantara ketidaktahuan”  dengan bilah sutra yang kini ada di sudut hatimu. Niscaya malamupun menjadi milik seribu bulan”.
Kali ini biar aku pegang sisi yang paling tajam dari pedang waktu, agar tidak menebasku dan memisahkan diriku dengan ujung jalan yang tak berdebu itu. Biarlah aku jaga pedang itu hingga suara Adzan di fajar Bulan Romadhon mampu aku dengarkan dengan jernih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar