Sajadah
yang aku hamparkan ikut serta dalam pergulatan yang ada di dalam lazuardi batinku,
dan terus saja menepiskan sekumpulan “halus sutra” yang sekarang hinggap di
tengah hati. Padahal tangan ini sudah sekuat daya upayaku untuk menggapai angin
malam,yang akan kuuntai di dada ini, agar mampu menerbangkan aku di balik
keremangan Bulan Suci Romadhon Apakah sajadah yang ada di depanku ini terus
saja akan melipat tempat sujudku.
Entah
roda jaman apa yang menggilasku, sementara “seteguk demi seteguk” kegilaan
telah aku selipkan pada semua yang aku punya. Hingga menusuk pembuluh darahku
dalam otak yang tidak seberapa kokohnya. Hingga lunglai tulang ini, nanar
pandang mataku meski seluruh otot bahu telah mengencang dan melegam, keangkuhanpun
sempat menyelinap masuk dalam batin,hingga mampu membuat sejuta malaikat
terpelanting kembali ke langit di tengah rengkuhan “Tangan Tuhan”.
Dan
sekarang, sebuah gambaran abstrak yang menggigil lantaran amarahnya yang
ememuncak telah menghadangku, di tengah pintu yang akan kuliwati untuk
menyongsong Adzan dif ajar Bulan Romadhon.
“Apakah
engkau sudah mampu berkemas guna menempuh perjalananmu, hai manusia lancang”
jawab suara itu di balik pintu.
“Aku
enggan menjawabmu, lantaran warna biru hanya akan aku hiaskan pada langit ketika
tiada lagi badai yang memusariku”
“Ha..ha..ha,bukankah
badai pernah kau curi dan dipasangkan di tengah mahkotamu, sehingga engkaupun
tak mampu menoleh lagi. Sudahkah puas engkau mainkan sandiwara warna-warni di
lazuardimu.Bukankah sajadah itu telah melipatkan dan hendak menukik dan
mengganjal hatimu”
“Akupun
belum sepenuhnya bermandikan air suci, agar sajadah ini menjadi diriku sendiri
dan menjadi teman di tengah malam kala
aku dipagut suatu kesunyian”.
Suara
itupun telah lenyap. Karena kehalusan sutra di hatiku telah melilit lehernya.
Tubuhnya kini menggigil dalam keputusasaan. Seribu sayap malaikatpun mampu
menghalangi pandangan mataku, agar tidak lagi diculik oleh suara-suara
sepanjang malam. Bumipun kini telah
menelanya dan terus membenamkan menuju perutnya
Malam
bertambah pekat, namun kegelapanya menjadi semakin memudar, kala dia menyiapkan
diri menerima “malam seribu bulan”. Apalagi kesyahduan di sepertiga malam kini
dirasakan oleh semua daun hijau yang tadi sempat menolak berceria di sentuh
angin kembara. Biarlah malam ini menjadi miliku, agar leher ini tidak lagi
menolehkan leherku pada masa silam.
Maka
ketika bumi kuharapkan agar berputar berlawanan arah. Matahari kujadikan
pertanda kala aku harus meradang dan menerjang debu jalan hingga berterbangan
karena takut dengan kehadiranku. Segelas “khamer kehidupan” telah membutakan
aku dalam arah mata angin yang tak pernah pasti. Maka kehidupan yang lancang
terus saja menutupi”bait-bait suci” yang seharusnya menghiasi mahkota hidup.
“Hai,,jalan
menuju keagungan, dimanakah aku akan temukan engkau, bila dengus nafasku sudah
tidak mampu lagi mengenalku. Bila apa yang diperintahkan di Atas sana juga belum smpat aku
benahi, aku cuci, aku seterika hingga pantas kala aku kenakan pada senja
berhias pelabgi warna-warni”
“Berteriaklah
engkau sekuat hati hai manusia, lantaran setiap debu yang ada di jalan ini
adalah Tunduk dan Tawadhu kepada Sang Pencipta” Seru sebuah ujung jalan yang
berliku dan membuat hati ini penasaran untuk men
“Lantas
di mana akan aku temukan itu”
“Peganglah
urat nadimu dan tundukanlah anganmu yang liar, yang biasa kau kenakan kala kau
menggapai nafas, sehingga kaupun akan
mendapatkan seteguk air tawar agar lebih mengerti lagi makna setiap makna di
tengah sejuta makna “di tengah belantara ketidaktahuan”, kalau kau gelisah DIA
yang akan membasahimu, kala kau terpanggang di tengah padang hidup yang
gersang, DIA akan memberimu secawan obat mujarab hingga engkau tenang, bila
enghkau tak tahu arah DIA pun akan menuntunmu dengan penuh ramah, bila engkau
gundah, DIA pun akan memberikan apa saja lantaran DIA Maha Pemurah”
“Namun
kedua kakiku ini sudah terlanjur terjerambab dalam kubangan “fatamorgana hidup
di jaman ini”, rengkuhanya begitu kuatnya. Hingga dada ini terasa panas, tiada
satupun air yang mampu membasuhnya, Tiada satu gunungpun yang mampu mengalirkan
mata air pembnasuh itu”
“Engkau
memang keras kepala hai manusia, dan tuli telingamu, mata hanya untuk memandang
gebyar lampu taman warna-warni, ketahuilah hai “pembawa bencana”, semua yang
menghalangimu mampu kau tundukan, bila suara degup jantungmu sendiri telah
mampu kau dengarkan, bila darah yang mengalir di setiap nadimu telah kau jaga.
Maka pergilah kamu jauh-jauh, tundukan “belantara ketidaktahuan” dengan bilah sutra yang kini ada di sudut
hatimu. Niscaya malamupun menjadi milik seribu bulan”.
Kali
ini biar aku pegang sisi yang paling tajam dari pedang waktu, agar tidak
menebasku dan memisahkan diriku dengan ujung jalan yang tak berdebu itu.
Biarlah aku jaga pedang itu hingga suara Adzan di fajar Bulan Romadhon mampu
aku dengarkan dengan jernih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar