Rabu, 14 November 2012

Angin Kemarau di Tengah Padang




Bila manusia memang harus meniti takdir dari Yang Kuasa, itu memang kekuatan manusia itu sendiri. Memang kadang begitu pahit yang kita rasakan, untuk sekedar mereguk curahan kodrat. Namun memang harus bagaimana lagi, karena kita hanya manusia biasa. Mampukan kita memberontak melawan rengkuhan langit biru, disanalah mahkota untuk kita akan dikenakan bila kita mau bersabar meniti kemauan Yang Kuasa.

Beberapa kali sudah Winda menjerit menghempaskan apa yang direngkuhnya dalam hidup, karena apa yang didapatkan selalu kegetiran yang mengganjal tenggorokan dan dada Winda yang tidak sebera kokohnya.  Pria pujaan hatinya yang selalu member janji janji emas tiada pernah mengemas janji dan menyodorkan padanya dengan sebilah cinta suci. Hanya sebilah sembilu yang menusuk tiap sudut hatinya.

Winda kini hanya winda yang telah mati hati dan jiwanya, tiada lagi asa untuk mendapatkan lagi kehangatan dari pria manapun, mesti silih berganti pria mencoba untuk merobohkan kedinginan yang selalu saja terbujur.

Aku mengenalnya dengan raut mukanya  yang pucat pasi dan dada penuh rasa benci, layaknya harimau lapar yang hendak menerjang mangsanya. Sementara matanya tajam menikam meneliti setiap pori-pori kulitku. Hanya kadang senyum tipis dan sinis yang diharapkan mampu menerbangkan tubuhku  entah kemana.  Tetapi terus saja anganku bergelut dengan diriku sendiri untuk memberi kehangatan padanya. Meski akupun tahu sebuah karang yang kokoh akan kuhadapi. Namun akupun memang harus terus mencobanya, dengan segenggam harap mampu memberikan kembang warna warni pada Winda teman sekantorku.

Rumah mungil Winda peninggalan orang tuanya kini sunyi senyap, sementara semua anak anaknya tertidur, karena siang ini angin kemarau begitu sejuknya. Sesejuk hatiku yang berhasil menemui rumah Winda. Ada segumpal ganjalan dalam dada ini bila aku menemui dia. Perempuan dengan sejuta pesona, rambut yang terurai  hingga bahu, wajah manis dengan hidung mancung menghiasinya. Tetapi lebih menarik lagi bagiku adalah ketegaran jiwanya yang berhasil memingit hatiku, mengosongkan batas ruang hatiku untuk melupakan semua kenangan dulu.

“Win, aku Prasetyo” Di tengah kesunyian rumah mungil dan sederhana itu aku coba membangunkan Winda yang sedang terlelap di tengah dua anaknya yang masih kecil.

“Oh kamu Mas Pras “ Suara yang bening dan datar terasa meghentikan jantungku. Bertapa tidak suara itulah yang sanggup menghantarkan aku untuk menengok kebun bunga warna warni di langit biru.

“Maafin aku mengganggu tidurmu”
“Oh enggak Mas, aku tidur sudah dari tadi kok. Ngapain Mas datang kemari, ngapain  datang ke rumah hina ini, apa nggak ada acara lain?”. Bagaikan sebilah pedang yang berkelebat menebas jantung hati ini. Jawaban Winda dengan senyuman getirnya membuat aku harus meneduhkan hatiku sendiri. Terasa kebencian Winda kepada semua pria yang mencoba menggapai hatinya begitu besarnya, termasuk kepada diriku.

“Win,  kamu  marah karena aku mengganggu tidurmu. Oh ya kamu boleh tidur lagi Win biar aku duduk di depan saja, nggak apa apa kok Win”
“Kok kamu menyuruhku sih Mas, silakan duduk Mas. Biar aku buatin kopi”
“Kok kamu baikan sama aku sih Win?”
“Kamu kan teman sekantorku,  dan   sudah banyak kebaikan yang kau berikan padaku. Hanya segelas kopi saja Mas Pras, maaf aku nggak punya apa-apa”

“Emangnya aku minta apa ?. Win rumahmu terasa sejuk, beda dengan rumah di tengah kota, gerah dan kumuh. Apalagi masih banyak tanah kosong di kanan kiri rumahmu” Winda hanya diam seribu bahasa, sempat aku tertegun memandang wajah yang tak pernah bosan aku pandangi. Wajah itulah yang selalu menyertai aku dan hatiku di setiap saat.

“Ya beginilah rumahku Mas, beda jauh dengan rumahmu. Maka aku heran mengapa repot tepot Mas Pras datang ke sini. Kalau perlu aku, besok kan kita bisa ketemu di kantor”

“Winda !, apa aku nggak boleh mampir ke rumahmu ?. Kamu seharusnya bahagia lho Win. Engkau masih memiliki Reki dan Bella, itulah kebahagianmu. Sedangkan aku, meski rumahku bagus, tetapi berisi kehampaan semenjak Santi meminta perpisahan, dan semua anaku ikut dia. Entah sampai kini akupun tidak tahu kemana anaku tinggal”

“Ah itulah kehidupan Mas, kehidupan yang akan aku jalani bersama kedua anaku. Aku sangat mengharapkan mereka berdua bahagia kelak” Winda hanya mencibirkan bibirnya dan sedikit berhias senyuman sinisnya. Meski tanpa lipstick dan make up layaknya wanita modern. Winda masih menyisaka keayuan yang alami.
“Tapi engkau akan tetap tersiksa Win, tanpa ayah mereka disisimu”
“Tolong Mas Pras, jangan ungkit ungkit itu lagi”
“Aku akan tetap memintamu untuk itu Win !. Meski sampai kapanpun. Kamu manusia yang juga berhak bahagia di dunia ini”
“Masalah itu urusanku to Mas !” Winda mula memerah pipinya. Pertanda sama sekali dia tidak mau mengingat masa lalunya.
“Winda, akupun merasakan sama seperti kamu. Bahkan kamu lebih berbahagia. Tapi cobalah kita hadapi bersama hidup ini. Tentunya kamu sudah kenal lama aku”

“Aku harap Mas Pras jangan melangkah seperti itu lagi, percuma Mas!.  Sikap saya sama seperti yang dulu duu, tetap tidak berubah”  Suara Winda mulai terdengar ketus hingga membangunkan kedua anaknya. Windapun segera menghampiri mereka berdua, untuk membelai si kecil Bella, agar tidak menangis. Ternyata di balik kehidupan Winda yang dingin, masih terselip kebahagiaan degan memberikan kasih sayang pada anak anaknya. Beginilah harkat dari kehidupan ini, akupun rindu dengan keteduhan jiwa seperti ini.
“Mas Pras, tunggulah dulu, aku tak menidurkan Bella dan Reki”
“Aku tunggu di luar saja Win.  Di luar angin kemarau mulai kencang“
Suara dari dalam rumah kembali hening, mereka berdua di buai angin kemarau yang mulai kencang dan sejuk. Sementara aku masih berdiri di depan rumah yang berdiri di tengah padang di tepi kota. Tak lama Windapun menyusulku dan duduk di kursi tua dari bambu.
“Mereka sudah tidur, ? “
“Sudah Mas, mereka berdua memang saya didik mandiri, sehingga tidak manja” Kini terlihat rambut Winda yang panjang terberai di terpa angin kemarau, akupun segera duduk di sebelahnya.
“Win apa salahnya sih, setiap mereka bermanja kita berdua selalu disisi mereka”
“Aku nggak bisa, maaf Mas ?”
“Mereka butuh itu Win “
“Tapi mereka kan tahu kalau Mas bukan bapaknya”
“Lama lama mereka juga akan percaya”
“Mas masih banyak wanita yang cocok mendampingimu. Apalagi Mas Pras keren dan kaya serta punya jabatan”
“Apa arti semua itu sih Win?”
“Tapi bagi wanita kota kan berarti sekali Mas’
“Tapi bukan itu yang jadi ukuran hidupku Win?”
“Maksud Mas ?”
“Buat apa aku kaya, kalau nggak punya siapa siapa. Apalagi tanpa kamu disisiku”
“Ah Mas Pras berlebihan. Tolonglah Mas, aku nggak bisa Mas”
“Tapi demi Reki dan Bella kamu perlu mencobanya Win “
“Mas Pras kok terus merayuku, maaf Mas. Jawabanku sama seperti saat kita di kantin, saat kita piknik ke Bali sam temen-temen kantor. Mas pun memintaku dan jawabanku tetap sama”.
Barangkali saja aku laki laki yang paling menderita di muka bumi, akupun tak tahu lagi. Kalau toh Winda memang tidak bisa aku miliki, biarlah angin kemarau di tengah padang ini yang akan menjadi saksi ,  bahwa cinta kasih antara sesama manusia memang harus berasal dari lubuk hati yang paling dalam. Meski aku sudah lama kenal Winda sebagai teman kerjaku, tapi toh Winda adalah tetap Winda yang hanya bayangnya saja hadir di hidupku. Lamunanku menjadi pudar, setelah mendengar kedua Bella dan Reki yang terbangun dari tidurnya dan kini menark tanganku mengajak bermain di tengah padang.
Hari sudah hampir petang, mereka berduapun telah puas dan lelah main di tengah padang. Winda segera menyuruh mereka berdua masuk rumah untuk mand.
“Win !, aku bisa kan menjadi ayah mereka, mengapa kamu tidak bisa ?” Winda hanya menunduka wajahnya, dan sorot matanya kini berisi suatu kesejukan di balik bening air matanya. Akupun memberanilan diri untuk mengusap rambut Winda dan diapun hanya memberikan senyum penuh arti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar