Bila manusia memang harus meniti takdir dari Yang Kuasa, itu memang kekuatan manusia itu sendiri. Memang kadang begitu pahit yang kita rasakan, untuk sekedar mereguk curahan kodrat. Namun memang harus bagaimana lagi, karena kita hanya manusia biasa. Mampukan kita memberontak melawan rengkuhan langit biru, disanalah mahkota untuk kita akan dikenakan bila kita mau bersabar meniti kemauan Yang Kuasa.
Beberapa kali sudah Winda menjerit
menghempaskan apa yang direngkuhnya dalam hidup, karena apa yang didapatkan
selalu kegetiran yang mengganjal tenggorokan dan dada Winda yang tidak sebera
kokohnya. Pria pujaan hatinya yang
selalu member janji janji emas tiada pernah mengemas janji dan menyodorkan
padanya dengan sebilah cinta suci. Hanya sebilah sembilu yang menusuk tiap
sudut hatinya.
Winda kini hanya winda yang telah
mati hati dan jiwanya, tiada lagi asa untuk mendapatkan lagi kehangatan dari
pria manapun, mesti silih berganti pria mencoba untuk merobohkan kedinginan
yang selalu saja terbujur.
Aku mengenalnya dengan raut mukanya
yang pucat pasi dan dada penuh rasa
benci, layaknya harimau lapar yang hendak menerjang mangsanya. Sementara
matanya tajam menikam meneliti setiap pori-pori kulitku. Hanya kadang senyum
tipis dan sinis yang diharapkan mampu menerbangkan tubuhku entah kemana.
Tetapi terus saja anganku bergelut dengan diriku sendiri untuk memberi
kehangatan padanya. Meski akupun tahu sebuah karang yang kokoh akan kuhadapi.
Namun akupun memang harus terus mencobanya, dengan segenggam harap mampu
memberikan kembang warna warni pada Winda teman sekantorku.
Rumah mungil Winda peninggalan
orang tuanya kini sunyi senyap, sementara semua anak anaknya tertidur, karena
siang ini angin kemarau begitu sejuknya. Sesejuk hatiku yang berhasil menemui
rumah Winda. Ada segumpal ganjalan dalam dada ini bila aku menemui dia.
Perempuan dengan sejuta pesona, rambut yang terurai hingga bahu, wajah manis dengan hidung
mancung menghiasinya. Tetapi lebih menarik lagi bagiku adalah ketegaran jiwanya
yang berhasil memingit hatiku, mengosongkan batas ruang hatiku untuk melupakan
semua kenangan dulu.
“Win, aku Prasetyo” Di tengah
kesunyian rumah mungil dan sederhana itu aku coba membangunkan Winda yang
sedang terlelap di tengah dua anaknya yang masih kecil.
“Oh kamu Mas Pras “ Suara yang
bening dan datar terasa meghentikan jantungku. Bertapa tidak suara itulah yang
sanggup menghantarkan aku untuk menengok kebun bunga warna warni di langit
biru.
“Maafin aku mengganggu tidurmu”
“Oh enggak Mas, aku tidur sudah
dari tadi kok. Ngapain Mas datang kemari, ngapain datang ke rumah hina ini, apa nggak ada acara
lain?”. Bagaikan sebilah pedang yang berkelebat menebas jantung hati ini.
Jawaban Winda dengan senyuman getirnya membuat aku harus meneduhkan hatiku
sendiri. Terasa kebencian Winda kepada semua pria yang mencoba menggapai
hatinya begitu besarnya, termasuk kepada diriku.
“Win, kamu
marah karena aku mengganggu tidurmu. Oh ya kamu boleh tidur lagi Win
biar aku duduk di depan saja, nggak apa apa kok Win”
“Kok kamu menyuruhku sih Mas,
silakan duduk Mas. Biar aku buatin kopi”
“Kok kamu baikan sama aku sih Win?”
“Kamu kan teman sekantorku, dan
sudah banyak kebaikan yang kau berikan padaku. Hanya segelas kopi saja
Mas Pras, maaf aku nggak punya apa-apa”
“Emangnya aku minta apa ?. Win
rumahmu terasa sejuk, beda dengan rumah di tengah kota, gerah dan kumuh.
Apalagi masih banyak tanah kosong di kanan kiri rumahmu” Winda hanya diam
seribu bahasa, sempat aku tertegun memandang wajah yang tak pernah bosan aku
pandangi. Wajah itulah yang selalu menyertai aku dan hatiku di setiap saat.
“Ya beginilah rumahku Mas, beda
jauh dengan rumahmu. Maka aku heran mengapa repot tepot Mas Pras datang ke
sini. Kalau perlu aku, besok kan kita bisa ketemu di kantor”
“Winda !, apa aku nggak boleh
mampir ke rumahmu ?. Kamu seharusnya bahagia lho Win. Engkau masih memiliki
Reki dan Bella, itulah kebahagianmu. Sedangkan aku, meski rumahku bagus, tetapi
berisi kehampaan semenjak Santi meminta perpisahan, dan semua anaku ikut dia.
Entah sampai kini akupun tidak tahu kemana anaku tinggal”
“Ah itulah kehidupan Mas, kehidupan
yang akan aku jalani bersama kedua anaku. Aku sangat mengharapkan mereka berdua
bahagia kelak” Winda hanya mencibirkan bibirnya dan sedikit berhias senyuman
sinisnya. Meski tanpa lipstick dan make up layaknya wanita modern. Winda masih
menyisaka keayuan yang alami.
“Tapi engkau akan tetap tersiksa
Win, tanpa ayah mereka disisimu”
“Tolong Mas Pras, jangan ungkit
ungkit itu lagi”
“Aku akan tetap memintamu untuk itu
Win !. Meski sampai kapanpun. Kamu manusia yang juga berhak bahagia di dunia
ini”
“Masalah itu urusanku to Mas !”
Winda mula memerah pipinya. Pertanda sama sekali dia tidak mau mengingat masa
lalunya.
“Winda, akupun merasakan sama
seperti kamu. Bahkan kamu lebih berbahagia. Tapi cobalah kita hadapi bersama
hidup ini. Tentunya kamu sudah kenal lama aku”
“Aku harap Mas Pras jangan
melangkah seperti itu lagi, percuma Mas!.
Sikap saya sama seperti yang dulu duu, tetap tidak berubah” Suara Winda mulai terdengar ketus hingga
membangunkan kedua anaknya. Windapun segera menghampiri mereka berdua, untuk
membelai si kecil Bella, agar tidak menangis. Ternyata di balik kehidupan Winda
yang dingin, masih terselip kebahagiaan degan memberikan kasih sayang pada anak
anaknya. Beginilah harkat dari kehidupan ini, akupun rindu dengan keteduhan
jiwa seperti ini.
“Mas Pras, tunggulah dulu, aku tak
menidurkan Bella dan Reki”
“Aku tunggu di luar saja Win. Di luar angin kemarau mulai kencang“
Suara dari dalam rumah kembali
hening, mereka berdua di buai angin kemarau yang mulai kencang dan sejuk.
Sementara aku masih berdiri di depan rumah yang berdiri di tengah padang di
tepi kota. Tak lama Windapun menyusulku dan duduk di kursi tua dari bambu.
“Mereka sudah tidur, ? “
“Sudah Mas, mereka berdua memang
saya didik mandiri, sehingga tidak manja” Kini terlihat rambut Winda yang
panjang terberai di terpa angin kemarau, akupun segera duduk di sebelahnya.
“Win apa salahnya sih, setiap
mereka bermanja kita berdua selalu disisi mereka”
“Aku nggak bisa, maaf Mas ?”
“Mereka butuh itu Win “
“Tapi mereka kan tahu kalau Mas
bukan bapaknya”
“Lama lama mereka juga akan
percaya”
“Mas masih banyak wanita yang cocok
mendampingimu. Apalagi Mas Pras keren dan kaya serta punya jabatan”
“Apa arti semua itu sih Win?”
“Tapi bagi wanita kota kan berarti
sekali Mas’
“Tapi bukan itu yang jadi ukuran
hidupku Win?”
“Maksud Mas ?”
“Buat apa aku kaya, kalau nggak
punya siapa siapa. Apalagi tanpa kamu disisiku”
“Ah Mas Pras berlebihan. Tolonglah
Mas, aku nggak bisa Mas”
“Tapi demi Reki dan Bella kamu
perlu mencobanya Win “
“Mas Pras kok terus merayuku, maaf
Mas. Jawabanku sama seperti saat kita di kantin, saat kita piknik ke Bali sam
temen-temen kantor. Mas pun memintaku dan jawabanku tetap sama”.
Barangkali saja aku laki laki yang
paling menderita di muka bumi, akupun tak tahu lagi. Kalau toh Winda memang
tidak bisa aku miliki, biarlah angin kemarau di tengah padang ini yang akan
menjadi saksi , bahwa cinta kasih antara
sesama manusia memang harus berasal dari lubuk hati yang paling dalam. Meski
aku sudah lama kenal Winda sebagai teman kerjaku, tapi toh Winda adalah tetap
Winda yang hanya bayangnya saja hadir di hidupku. Lamunanku menjadi pudar,
setelah mendengar kedua Bella dan Reki yang terbangun dari tidurnya dan kini
menark tanganku mengajak bermain di tengah padang.
Hari sudah hampir petang, mereka
berduapun telah puas dan lelah main di tengah padang. Winda segera menyuruh
mereka berdua masuk rumah untuk mand.
“Win !, aku bisa kan menjadi ayah
mereka, mengapa kamu tidak bisa ?” Winda hanya menunduka wajahnya, dan sorot
matanya kini berisi suatu kesejukan di balik bening air matanya. Akupun
memberanilan diri untuk mengusap rambut Winda dan diapun hanya memberikan
senyum penuh arti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar