Tak
mudah memang mengusung hidup seperti yang kita harapkan, kadang kita dipusari
angin kemarau yang hanya membawa debu kering. Semenatar daun daun hijau hanya
meranggas, meski ujung daun yang masih segar hanya mampu meneteskan embun yang sedari
malam tadi melingkunginya, sementara lainnya hanya mampu membasahi petak sawah
ladang yang sudah meretak dipagut keringnya udara musim kemarau. Kadang pula
kita dihimpit hujan badai seharian, yang mendatangkan guratan petir di langit
yang menghitam, sehitam nasib nelayan nelayan miskin di hunian pesisir utara
Pulau Jawa.
Desa Sawojajar, Brebes masih saja diterkam hujan
seharian yang mencandai pagi hingga sore hari, meski pada malam hari tiupan angin kumbang milik musim kemarau sudah mulai terasa menggigit sumsum
tulang nelayan nelayan di pesisir itu. Tinggalah kini mata mata redup, dengan
tatapan yang kosong terpasang pada wajah yang memucat. Karena angin tenggara
sudah mulai menjadi selimut malam mereka, yang bertiup kencang dengan disambut
ombak laut yang garang dan siap menenggelamkan perahu mereka yang telah sarat
dengan penderitaan. Lantas dimana lagi mereka mampu meyelipkan hidup, bila
terus menerus mereka hanya menyandarkan arah angin. Padahal anak anak mereka
terus saja bersekolah, agar mampu ,menuai masa depan lebih cerah ketimbang
hidup mereka.
Sesekali
mereka berpikir untuk menjadi petani bawang merah seperti teman teman mereka
yang pernah sukses lantaran lebih menyandarkan pada suburnya tanah. Namun baru
saja mereka menyemai gagasan indah, alampun berteriak nyaring dengan
mengirimkan hujan yang tiada pernah berhenti. Mereka kinipun hidup di negeri yang
berpagar hujan setahun. Semai tanaman bawang merah yang belum seberapa
besarnya, telah menjadi makanan yang menggairahkan bagi ulat ulat bulu dan
jamur.
Wirjo
menjadi kalang kabut, uang yang tersisa dari melaut hingga ke Kota Rembang
beberapa bulan yang lalu telah musnah di makan ulat bulu tanaman bawang merah.
Anganya semula mampu melunasi SPP anak anaknya dari hasil panen bawang
merahnya, kini lenyap bersama hujan angin yang saban hari menerpanya. Lantas
apa bumi ini telah berputar berbalik arah, atau karena matahari sudah mengajukan
protes atas kelalaian semua manusia untuk menyembah Sang Pencipta. Ataukah
memang dia belum pernah berusaha maksimal untuk menjadi insan yang penyabar.
Rotipah
istrinya adalah yang hadir terlebih dahulu di hatinya, kala dia termangu di
samping petak tanaman bawangnya yang puso. Kapan aku mampu membawanya ke
bahtera kehidupan yang lebih ramah, ataukah hanya ini yang bisa dia berikan
pada istrinya itu, setelah tahun kemarin dia hanya mampu membeli perahu nelayan
dan mebuatkan rumah papan, terselip di tengah padang ilalang.
“Lantas
kita harus bagaimana lagi, Pah !” seru Wirjo pada Rotipah istrinya yang hanya
tertunduk lesu di samping tungku perapian untuk merebus pecel daganganya,
termasuk sarapan pagi anak anaknya yang akan pergi ke sekolah.
“Terserah kamu, Pak.
Dimana tempanya pasti ada rejeki. Kamu bisa saja ke kota besar”
“Di kota besar juga penuh ketidakpastian, Pah
!”
“Pikiran
sampeyan seperti itulah, yang membuat kita tidak pernah menggapai masa depan
untuk keluarga ini!” Rotipah kini kelihatan bersungut sungut wajahnya. Pipi dan
keningnya menjadi memerah meskipun di beberapa bagian sudah kelihatan keriput.
“Masa
depan yang bagaimana to, Pah ?” Wirjo masih saja dalam hatinya berniat untuk
menyejukan hati istrinya yang sangat dicintainya. Kembang kampung di Sawojajar
yang lima belas tahun yang lalu berhasil merobohkan hatinya.
“Aku
paling kesal, kalau melihat sampeyan pura pura bodo. Apa Lisa, Adi tidak butuh
SPP dan si kecil kita tidak perlu susu” . Rotipah memberikan wajah yang tidak
seperti biasanya, lantaran untuk tahun ini memang mereka mengalami masa yang
sulit.
“Bukan
itu maksudku, Pah !. Di kota juga banyak buruh yang terkena PHK atau pengusaha
yang bangkrut. Lantas apa yang bisa aku lakukan di kota?”
“Sampeyan coba dulu to Pak ?, Aku harapkan
sampeyan mampu seperti tahun tahun dulu yang gigih, mampu mengatasi kesulitan
apapun. Padahal anak anak sudah bertambah besar “ Rotipah kini nampaknya tidak
mau suaminya berputus asa. Rotipahpun tahu bahwa jaman yang harus mereka
tapaki, adalah jaman yang penuh kerikil tajam dan berliku dan jalan yang
bertepikan jurang yang menganga dan dalam sedalam perilaku manusia yang
mendzolimi mereka sendiri demi sesuap nasi.
“Sampeyan
bisa saja berbuat apa yang penting halal, jadi abang becak,apa satpam apa saja
lah demi anak anak “.. Toripah bertambah garang wajahnya, kali ini dia tanpa
memberi angin sejuk sedikitpun pada Wirjo suaminya, yang sedang diserang badai
perasaan tak percaya diri pada selembar kehidupan mereka yang tidak seberapa
tangguhnya.
“Sampeyan
jangan putus asa apalagi sampeyan belum
bisa menerima kenyataan ini, kehidupan kita bertambah dengan badai
derita, kita berdua manusia yang tidak punya derajat apapun, Pak !. Hanya masa
depan saja yang kita miliki. Aku tidak mau tahu sampeyan mau jadi apa”
“Bukan
itu semua yang aku maksudkan, Pah. Aku berniat mengatasi masalah kita dulu.
Cobaan ini saya yakin tidak akan lama. Bila musim telah kembali baik, ulat ulat
bulu itupun akan menjadi kepompong dan kita bisa tanam bawang merah lagi “ ,
Belum selesai Wirjo mengucapkan kata katanya, keburu dia berlalu pergi
meninggalkan sarapan paginya yang sudah disiapkan istrinya, sayur lodeh dengan tempe
dan sambal terasi dibiarkan begitu saja. Bara hatinya yang terus mengganjalnya
telah membuat dia tidak berselera sarapan pagi. Wirjo lebih memilih gabung
dengan teman temanya yang berjanji untuk rapat ulat bulu di pos penyuluhan di
tengah sawah Sawojajar.
Ulat
bulu yang kemarin menghabiskan daun daun bawang merahnya, kini mulai merambah
ke pematang sawah sepanjang perjalanan Wirjo menuju gubug pos penyuluhan. Bulu
kuduk Wirjo menjadi bergidik, meski rintangan ombak dan ganasnya laut selalu
dia hadapi dengan penuh keberanian, namun menghadapi ulat bulu, Witjo tak mampu
berbuat apa apa. Namun Wirjo terus saja melangkahkan kakinya menuju posko yag
kini sudah bertambah dekat, hanya beberapa puluh langkah saja posko itu sudah
berada di depannya.
“Mengapa
bisa terjadi seperti ini, Pak Ruslan ?” . Belum sempat Wirjo mengatur nafas,di
posko itu, sebuah pertanyaan yang polos keluar
begitu saja dari mulutnya. Namun Pak Ruslan, pegawai penyuluhan kecamatan yang
sudah hampir pensiun dan sabar itu hanya tersenyum lebar.
“Yah..ini
kehendak Yang Kuasa, disamping itu kekacauan iklim belakangan ini. menjadi factor
penyebab utama serangan ulat bulu ini. Curah hujan masih tinggi dan merata
sepanjang tahun dan tanpa musim kemarau pada tahun kemarin, padahal ulat ulat
itu perlu musim kemarau untuk membuat kepompong” jawab laki laki uzur itu
dengan senyuman masih menghiasi wajahnya.
“Teman
teman yang gabung disini berencana akan membasmi dengan insektisida,Pak!. Hanya
saja kami belum minta ijin pada Pak Lurah ”.
“Bila
penyebab utama meledaknya populasi ulat adalah gangguan keseimbangan alam, maka
percuma kita gunakan insektisida, lagian ulat ulat bulu itu beberapa
diantaranya telah kebal dengan insektisida dan akan menambah dampak lainnya.
Berapa besar biaya yang harus bapak bapak keluarkan itu ?”.
“Belum
tahu Pak, sungguh petani dan nelayan di sini semua sedang kelimpungan, sudah
beberapa bulan ini kami tidak melaut, bertanam bawang merahpun begini jadinya. Seharusnya
tanaman bawang merah kami sudah besar, angin
kumbangpun sudah mulai muncul, pertanda
kemarau sudah mulai datang. Tapi hujan angin terus saja tiada henti hentinya
“ .Prasojo yang dari tadi hanya diam, kini bibirnya memberondongkan kata kata
kepanikan bagaikan senapan mesin yang menembakan peluru ke arah musuh, di
tengah petani Sawojajar lainnya yang sama dirundung kepanikan dan kekecewaan.
“Tidak
ada perbuatan lainnya yang bisa kita lakukan kecuali bersabar dan gunakan cara
cara lainnya untuk menanggulangi ulat bulu ini”
“Caranya
bagaimana Pak ?” pinta Karso.
“Yang
pertama gunakan uang sampeyan semua untuk membeli minyak tanah dan oli bekas,
siramlah sekeliling rumah sampeyan secukupnya, untuk melindungi rumah sampeyan
dari ulat bulu tersebut. Tunggulah awal musim kemarau nanti, paling hanya
beberapa minggu lagi, angin kumbang belum terasa kuat betul. Sampeyan sebaiknya
bertanam dan memanen bawang merah dengan serentak, sehingga dapat memutuskan
siklus
hidup ulat tersebut. Nah dengan cara seperti ini, populasi mereka akan menurun
tajam”
“Entahlah,
apa lagi yang akan menerjang nasib kita. Beberapa waktu belakangan ini
kehidupan kami semakin terhimpit, kami pernah mengalami bermacam cobaan Pak,
mul;ai jatuhnya harga bawang, angin kencang serangan tikus yang merajalela.
Seharusnya bulan bulan kemarin kita beruntung, karena harga cabe naik, tetapi
apa daya, tanaman cabe kami semua busuk diterjang hujan yang terus menerus. Dan
kini giliran ulat ulat sialan menyerang hidup kami, bagaikan laskar berbulu
tanpa mengenal belas kasihan” Rintihan Santo mengheningkan semua yang hadir.
Pandangan mereka kini jauh ke hijau pemandangan sawah mereka yang terkapar di
terjang laskar berbulu”
“Kehidupan
aku dan sampeyan semua tidak hanya sampai disini, kita masih harus membiayai
sekolah anak anak kita. Laskar lascar berbulu tak lama lagi akan hancur dimakan
sengatan kekeringan di musim kemarau. Siapkan dulu lahan lahan kalian untuk
tanaman palawija, seperti kedelai lokon, jagung hybrida dan lain sebagainya,
sambil menunggu datangnya kemarau. Jangan terus meratapi laskar berbulu itu”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar