Sawah
ladang yang mulai basah telah menjadi saksi, saat mereka harus sigap dengan langkah kaki ke depan, lantaran mereka semua
adalah petani kecil yang hanya mampu menitipkan hidupnya pada perguliran musim,
Saat Angin Muson Barat mendera, mereka segera membenamkan seluruh kaki kakinya
pada air sawah. Sehingga mereka yang
berdagang di kota besar, segera meninggalkan kotanya, untuk segera
menyemai penghidupan dengan butir butir padi di sawah mereka yang tidak begitu
luas. Namun bila sawah mereka diterkam kemarau panjang, merekapun segera balik
lagi ke kota untuk berdagang mi ayam, mi bakso, panganan untuk anak anak SD dan
apapun yang mereka mampu lakukan. Saat itu angin tenggara melempar mereka jauh
jauh dan entah kemana mereka akan terdampar. Seperti biji biji ilalang yang
kecil dan ringan kala terhempas angin kemarau.
Inilah
nafas hidup desa tempat kelahiran mereka,
meski tidak seluruh penghidupanya
dikemas di desa ini. Mereka yang tidak
mengenal pangkat dan jabatan, tidak mengenal jenjang karir apalagi gaji ke 13
atau tunjangan prestasi dan apapun yang dimiliki oleh pekerja-pekerja kantoran.
Aalagi korupsi uang negara. Mereka hanya akrab dengan lenguh sapi perahan
dengan Kolonjono yang tumbuh di pekarangan samping rumahnya.
Saat
ini kembali angin Barat menjenguk
penghuni desa itu dengan titik titik hujan yang terusung, sehingga pagi mulai berkabut, jalan dan
pematang yang malang melintang di tengah sawah mulai ramai. Deru knalpot
traktor menyalak , namun burung burung bangau yang ada di
seputarnya tidak memperdulikanya. Mereka lebih peduli pada yuyu dan ikan ikan
kecil unuk sekedar mengganjal perutnya. Seakan mereka tahu persis apa yang
dilakukan oleh petani petani itu dan merekapun menirunya. Namun yang mampu
dilakukan oleh burung burung itu hanyalah memburu musim hujan. Meski beberapa
tahun belakangan ini mereka menjadi tak mengerti, lantaran mereka sering menjumpai hujan yang
berkawan dengan badai, atau hujan di tengah kemarau, bahkan mereka juga pernah
menjumpai kawanan ulat bulu yang menghabiskan semua dedaunan hijau.
Namun
mereka masih bisa terenyum lega, saat menyaksikan
manusia masih terus mengolah tanah yang sudah banyak ditimbuni zat kimia,
dengan tanah seperti itu burung burung banagu itu kini tidak bisa melahap cacing cacing tanah
dengan lebih rakus lagi, tidak sperti beberapa tahun silam.
Terminal
bus yang lusuh dan berdebu dengan jalan jalan aspal yang menganga di sana sini
siap dengan rakus menelan tubuh tubuh
yang terperosok di dalamnya. Terminal bus itu
berada di sudut desa dan mulai terlihat lebih ramai ketimbang hari
biasanya.Kerumunan orang tua dan muda bahkan terlihat juga anak anak yang mulai bereksotis di terminal bus
tersebut. Mereka semua adalah petani yang kembali ke desa, untuk memburu
secercah hidup dari sawah sawah mereka.
Ciri
khas yang tidak bisa disembunyikan dari mereka, adalah kulit yang hitam melegam
dengan bahu yang kekar. Namun raut wajah yang pasrah masih terus melekatnya. Diantara
mereka adalah suami istri Hananto dan Kadarwati.
***
Belahan
langit yang mengungkungi desa itu semalam telah mengirim titik hujan hingga
pagi, kembang api alam terus saja silih berganti memagut desa itu. Kini pagi
telah menyingkap mendung mendung gelap, sehingga keluarga muda petani Hananto
dan istrinya Kadarwati sigap berseri mengawali kehidupan ini.
Sudah
beberapa ratus meter jalan desa yang berbatu telah mereka lalui, tanpa suatu
alas kakipun. Sementara jalan yang
terhampar di depanya kini hanyalah jalan pematang, yang malang melintang membelah
sawah menjadi petak petak yang rapi, senyum beberapa karib, kawan sepermainan
selalu menghiasi wajah mereka yang tumpah di sawah itu. Hananto yang baru pagi
ini, menapakan kakinya di sawahnya yang terletak di tengah hamparan sawah yang
nampak tak bertepi, segera melemparkan senyum rindu pada teman teman
sepermainan. Teman yang dahulunya sering bermain “wayang orang dan gamelan jawa” di tengah padang
gersang, kala kemarau memagutnya. Di bawah bulan purnama adalah saat yang hidup
untuk anak anak desa bermain wayang orang tersebut.
Hananto
yang di Jakarta biasa bergelut dengan peluh-peluh pengap, mengais hidup di
bawah tenda tenda plastik di pinggir jalan, menawarkan jasa menjadi buruh
permak jean dan Kadarwati yang menjual bensin eceran disampingnya, kini
bagaikan anak ingusan yang berada di tengah petani petani yang menenggelamkan
diri dengan lumpur sawah, kerbau, gerimis dan terkaman matahari.
Sawah
Hananto hanya berisi ilalang kering yang terbakar ganasnya kemarau panjang dan
disana sini terlihat ilalang yang mulai menghijau di sela tubuh ilalang lainya rebah.
“Tanah
ini tentunya harus mulai aku balik, mumpung hujan mulai menghidupi sawah kita”.
Seberkas harapan mulai menebal di bilik
jantung Hananto, Kadarwati hanya mengangkat kedua tanganya, suatu isayarat agar suaminya sigap memulai memunguti kehidupan mereka yang jauh dari
sorot sorot mata yang garang, di tengah
knalpot mikrolet Jakarta yang hitam dan menyesakan dada. Kadarwati masih
menyodorkan senyuman tawar, meski kehidupan mereka yang masih terbawa “angin kembara”, bagaikan debu tak
berdaya diterbangkan angin padang.
***
“Apa
kamu sudah siap menyandarkan hidupmu pada sawah sawah kita, Wati ?”. Sepotong keinginan
tahu Hananto dilontarkan pada Kadarwati, yang masih menyapu semua penjuru sawah
dengan sorot mata yang masih kelihatan beku dan dingin. Sedingin beranda rumah
sederhana mereka yang cukup lama ditinggalkan dan kini tembok tembok
dindingnyapun masih menyimpan sepi. Hananto masih saja menunggu jawaban
istrinya dengan wajahnya yang diarahkan padanya, meski dia tahu bahwa istrinya telah
akrab dengan benturan benturan hidup sejak kecil.
“Itu
tergantung kita, Mas !”, seraya merebahkan badanya di kursi bambu, Kadarwati
memberikan jawaban.
Hananto
tambah mengecil hatinya, berkali- kali dia meneguk kopi hangat yang sekian lama
belum tersentuh. Berkali kali pula jantung hatinya berdegup, karena
ketidakmampuan Hananto menangkap isarat dari
istrinya. Senja itu Hananto menjadi terpingit dalam ketidaktahuan
tentang jawaban istrinya. Kebisuan itu akhirnya membuat dia tersudut , namun semilir
angin dingin musim hujan memberinya bisikan, agar dia lebih berani lagi
menghadapi resiko apapun.
“Kalau
aku gagal panen atau rugi ?”.
“Kapan
dirimu berhasil ?, Bukankah kegagalan lebih akrab dengan dirimu, Mas ?”.
Hananto terlempar hingga jauh ke ujung langit, sayap sayapnya yang tadinya sudah
ditutup rapat rapat. Kini Kadarwati telah merentangkanya, sayap-sayap itu telah
membawa Hananto pada kenangan di Bengkulu kala ikut transmigrasi, kala Hananto
menjadi nelayan dan episode episode kelam kini hadir di dalam benaknya.
Angin
senja musim hujan semakin memagutkan dingin beranda rumah papan itu, bahkan kini
lebih berani lagi mengibaskan rambut
Kadarwati yang dibiarkan terurai sebatas pinggang. Hanantopun menjadi terkapar
dalam angan berada dipelukan wanita berkulit sawo matang dan berwajah oval itu.
Tak lagi senyap dalam jantung Hananto dan kini mulai tumbuh bara asmara milik
dewa dewi kahyangan. Seberkas harapanpun
mulai tumbuh dalam benak Hananto.
“Semoga
kita berhasil menjadi petani di sini, seperti semangatku kala aku meninggalkan
Jakarta yang pengap, lusuh dan garang”. Hananto mencoba tampil layaknya lelaki
gagah dan kekar dan mampu menggendong pujaan hatinya itu hingga ke tengah peraduan mereka.
“Cobalah
bekerja keras seperti teman-temanmu, mereka tak takut hidup menjadi petani,
mereka tak takut lagi dengan kegagalan. Karena mereka terbiasa dengan
kegagalan, tapi kalau dirimu Mas ! sudah merasa gagal, maka separo dari usahamu
telah gagal”
“Tapi
apa engkau siap hidup menjadi petani?” . Kembali Hananto menyelipkan sebuah
pertanyaan.
“Mengapa
tidak kau tanya saja!, apa aku siap menjadi istri seorang menteri ?”. Hananto
merasakan sejak saat itu bumi telah berputar terbalik, jawaban istrinya telah
memisahkan dirinya dengan apa yang tersimpan dalam lubuk hatinya. Dia
sebenarnya tidak takut dengan sebuah kegagalan, tapi dia tidak ingin kegagalan
terus saja bergayut di kehidupan isrinya.
Meskipun dia tidak pernah merasakan bangku perguruan tinggi, namun
benang benang sutra yang halus dan lembut, tetapi kokoh telah menautkan kedua
hati mereka. Maka diapun berhasrat untuk
menyaksikan istrinya selalu hidup bermandikan bunga warna warni.
“Maksud
kamu bagaimana, Wati ?”
“Bila
manusia diberi kebebasan untuk memilih takdirnya, maka aku akan memilih jadi
istri seorang mentri atau gubernur atau sekalian menjdi ibu negara. Tetapi
karena suratan takdir yang harus kita jalani seperti ini. Tidak ada jalan lain
kecuali aku harus siap dengan yang aku mampu jalani “
Rembulan
yang tadinya berada di ketiak awan, kini berwajah bundar di pusari angin malam.
Rumah papan itupun menjadi sepi.
***
Entah
sudah berapa ratus kali cangkul Hananto dan beberapa buruhnya membentur dan membalikan
tanah dan lumpur sawah yang berwarna kecoklatan karena bercampur dengan jerami
yang mengering di musim kemarau silam. Tiada lagi deru debu menerpa tubuhnya
yang tiada seberapa kokohnya. Hanantopun terus bercengkerama dengan Angin Muson
yang mengirimnya hujan, guna mengokohkan bahtera rumah tangganya dengan
Kadarwati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar