Padang
luas berlantai ilalang memantulkan sinar putih mentari yang berjarak seakan
sepenggalah, tiada naungan sama sekali di padang itu. Lantaran pepohonan lebih
senang tumbuh di tempat yang membawa kesejukan, ketimbang harus berlomba dengan
manusia untuk menggerutui teriknya panas. Sementara debu debu jalang menggambar
padang ilalang itu menjadi pengap dan mengaburkan pandangan mata.
Namun
di tengah padang tersebut, masih saja manusia mengais kehidupan dengan caranya
sendiri, yang tidak mau melangkah surut dari terkaman sinar mentari dan debu
pengap demi sesuap nasi. Di tengah tumpukan sampah yang teronggok di tengah
padang tersebut, mereka berlomba mencari sampah kaleng, plastik dan yang
lainnya guna menyambung nafas yang masih bersemayam di dalam dadanya, yang tak
kalah teriknya dengan udara padang. Meski terkadang angin kemarau yang kering
dan sejuk itu mencoba mendinginkan semua yang melekang.
Dengan
kantong plastic berwarna putih di punggungnya, wajah Sarkasi tertawan oleh perguliran
hari yang berkuku tajam dan bertaring menakutkan. Diapun kini melangkah
menyusuri jalan setapak, meski harus menyibakan kuning daun daun ilalang yang mengenai
tubuhnya. Jalan setapak yang dilalui berujung pada tepi padang, yang mempertumukan
dengan bocah kecil berambut menguning terpagut sinar mentari dan tanpa alas
kaki. Kedua kakinya coklat kehitaman, lantaran bocah itu telah akrab dengan
kehidupan keras bapak ibunya yang selalu bermandi peluh dan sinar mentari.
“Bapak
! “ suara lantang memenuhi semua mulut jalan setapak itu. Sebuah senyum
menghiasi siang yang membara itu dari bibir kecil putri bungsunya seraya
menjulurkan kedua tanganya, untuk mendapatkan belaian kasih sayang dari pria
yang tak kenal lelah dalam secercah
kehidupan. Tangan kanan Sarkasi kemudian dijulurkan untuk menggendong putri
bungsunya itu.
“Kamu tidak menunggui emakmu, sayang?”
“Emak
sudah tidur, mengapa emak tidur terus,
kapan emak sembuh, ya Pak ?”
“Sebentar
lagi juga sembuh, makanya kamu harus sering mendoakan emakmu, ya sayang !”.
“Ya
Tuhan, aku memohon padamu, kapan emak sembuh ya Tuhan, aku ingin berjalan jalan
kalau sore dengan emak. Sembuhkanlah emak, ya Tuhan “. Pandangan mata lugu
bocah itu terus dilemparkan ke langit biru, tempat Tuhan bersemayam menurut
anganya. Sementara itu Sarkasi hanya tersenyum getir dengan mata yang mulai
berkaca-kaca.
“Emak
sakit apa sih Pak ?”
Emak tidak sakit, emak hanya kecapaian, besok
juga sembuh. Nanti kamu bisa jalan jalan ke mana kamu suka, sayangku !”
Tangan
Sarkasi masih tetap kokoh menggendong putri bungsunya, sementara itu gubug
bambu milik mereka sudah mulai tampak, di tengah rimbun pohon pisang, singkong
dan tanaman lombok. Pilar pilar yang meski terbuat dari batu bata, namun tidak
cukup kokoh menahan terpaan angin kemarau yang kencang dan kering. Sehingga
rumah bambu itu sedikit bergoyang. Dan di dalam rumah bambu itu tergolek lemah
Sumiasih yang diterjang kanker alat pencernaan yang ganas. Sumiarsih masih
menyodorkan senyum tulusnya dari bibirnya yang pucat dan kering itu, kala
suaminya yang menggendong Esti berdiri di sebelah pembaringan yang berkulum
sepi.
“Kau
sudah datang, Bang !”. Sarkasi hanya mengganggukan kepalanya dengan sebuah
senyum yang dalam untuk membalas tegur sapa istrinya yang dicintainya selama 20
tahun.
“Maafkan
aku Bang !, aku tidak menyiapkan makan siangmu. Hari ini badanku terasa lemas,
Bang !, biarkan Esti disampingku, aku selalu kangen dengan anak kita ini”
“Asih,
biar abang nanti masak sendiri. Istirahatlah dulu !”
“Tapi
aku juga tidak masak sayur dan lauk, Bang?”
‘Pemulung
seperti saya ini, lauk apapun jadi, biarlah abang nanti masak sayur daun
singkong”
“Dari
pagi, Bang!, setelah Abang pergi perut aku terasa sakit lagi dan Alhamdulillah
sekarang sudah agak berkurang”
“Asih,
abangkan berkali kali minta agar kamu mau dioperasi ?”
“Ah
si Abang, biaya dari mana Bang ?”
“Aku
masih punya tanah ini yang bisa kita jual untuk operasimu, Esti masih
membutuhkan kamu, maka biarlah tanah ini jadi milik orang lain asalkan kau bisa
sembuh dan bahagia”.
“Engkau
membutuhkan waktu bertahun tahun banting tulang untuk bisa membeli tanah ini,
mengapa pula harus kau jual demi aku ?”
“Tapi
kehadiranmu di sisi Esti dan Didin jauh lebih berharga daripada tanah ini.
Masalah rumah kita nantinya, serahkan saja pada kekuasaan Yang D iatas sana”
“Tapi
aku kasihan dengan kedua anak kita. Bang !, abang kan tahu !. Didin anak sulung
kita hanya mampu bersekolah hingga SMP, dan kini hanya bisa menjadi abang becak di Jakata.
Aku tidak mau mengecewakan Didin yang
kedua kali. Kelak mereka berdua membutuhkan
tanah ini untuk kehidupan Didin dan Esti. Aku harap kau mengerti “
Kata kata terakhir Sumiasih sudah tidak mampu dia dengarkan lagi, beribu sayap yang kokoh kini menjinjingnya untuk mengembarakan anganya menyelusuri langit biru, yang telah dihiasi mentari yang mulai condong ke Barat. Anganya yang ada di langit mampu menyelusuri benang benang waktu, mulai dari dia melewatkan malam pertama dengan Sumiasih hingga dia di pembaringan kini tak berdaya.
Betapa
indahnya hidup yang dia jalani bersama Sumiasih, layaknya mengguratkan warna warni keindahan
di langit biru. Meskipun mereka berdua mengarungi bahtera rumah tangga dengan
penuh keterbataan, namun langit di atas
hidup mereka benar benar penuh warna.
Sumiasih
kini hanya terdiam dengan batuk batuk kecil terus terdengar memenuhi semua
udara di kamarnya yang beratap bambu dan berlantai tanah. Esti masih merangkai
mimpi indah di sisi Sumiasih, yang berulang membelai rambut kering dan lurus
putri bungsunya. Angin kemarau bertambah kencang menerobos lubang lubang
dinding bambu.
“Asih
!”
“Ya
bang !”
“Sebaiknya
aku kabari Didin untuk pulang dan mengerti tentang penyakitmu. Aku takut kalau
dia marah nantinya “.
“Biarkanlah
dia di Jakarta dulu, Bang. Aku khawatir saat dia mendengar tentang penyakitku,
jiwanya menjadi tergoncang, aku kasihan
bang “
“Aku
menjadi bimbang, Sih. Memang benar ucapanmu. Kita saat ini masih merasa berdosa
hanya mampu menyekolahkan dia ampai SMP saja. Maka akupun ingin dia benar benar
bahagia di Jakarta, tidak terbebani dengan keadaan orang tuanya di sini. Tapi
di lain pihak, barangkali saja kehadiran Didin bisa menyembuhkan penyakitmu “.
Suimiarsih hanya tersenyum ringan mendengar serangkaian kata bijak dari sang
suaminya yang kokoh sekuat baja dalam menghadapi benturan hidup, sejak mereka
sepakat membina maghligai mereka berdua. Sebuah maghligai yang diibaratkan
sebuah perahu kertas di tengah riak air, namun perahupun tidak kunjung
tenggelam, kecuali Yang Maha Kuasa yang Menghendaki.
“Tapi
apa kamu tidak kangen?, istriku !”
“Didin
adalah anak kita yang sulung, yang berarti
bagi hidup kita, Bang!. Kala kita berdua hanya hidup di rumah kontrakan, kala
Didin tidak boleh ikut tes di sekolah, kala dia hanya tinggak di rumah
sementara temen temen sekolahnya piknik ke Bali, lantaran kita tidak punya uang
untuk membayar piknik. Tapi Didin tidak pernah protes dengan ketidakmampuan
kita, Bang. Sekarang biarlah dia bahagia di Jakarta, jangan sampai dia tahu
bila aku terkena kanker pencernaan, aku tidak tega lagi melihat dia menderita
“. Sumiarsih sudah tidak mampu lagi meneruskan kata katanya, lantaran bara
panas telah mengganjal tenggorokanya.
Dadanyapun
terasa sesak seakan seribu tangan raksasa telah menelikungnya
Sarkasipun
hanya tertunduk lesu, kedua matanya kini berkaca-kaca. Rasa tidak tega terhadap
istrinyapun kini memenuhi semua dadanya. Betapa besar pengorbanan istrinya yang
selama belasan tahun telah menyertai langkah kakinya dalam menapaki jalan hidup
yang penuh banturan sebagai seorang pemulung. Tapi kini hanya tergolek lemas di
pembaringan, tanpa berobat ke dokter ahli kanker. Tidak seperti biasanya
istrinya hanya tersenyum kala menghadapi cobaan hidup mereka bersama.
“Asih,
maafkan Abang ya ?” pinta Sarkasi dengan nada suara terputus,.
“Maaf,
untuk apa Bang ?”
“Aku
tiak mampu berbuat apapun saat engkau seperti ini. Harusnya aku memiliki uang
untuk mengobati penyakitmu “
“Bang,
apa baru kali ini kita mengalami penderitaan, setiap terbitnya matahari
penderitaan dan kekurangan yang pertama mengucapkan selamat pagi pada kita. Aku
sudah tidak mampu lagi merasakan penderitaan ini, Bang !”
“Tapi
siapa orangnya yang tidak iba melihat penderitaan seorang istri seperti kamu.
Asih !, masih ada kesempatan untuk
membawamu ke rumah sakit. Jangan kamu berpikir terlalu jauh, yang
pentingkamu bisa bersanding disampingku dan membesarkan Esti yang membutuhkan
kamu”
Suara
batuk batuk Sumiarsih terdengar lagi dengan dada yang terguncang berat. Sambil
terus menyodorkan senyum pada suaminya, diapun mencoba untuk menyadarkan
suaminya, bahwa dia sudah merelakan semuanya. Barngkali kematianlah yang paling
membahagiakan dia dalam menghadapi badai kehidupan. Sumiarsihpun tahu meski
suaminya menghabiskan biaya ratusan juta namun peluang untuk hidup tetaplah
tipis. Maka diapun mencoba meminta
suaminya untuk tetap bahagia apapun yang terjadi dengan dirinya.
“Tahu
kemarin aku hanya berobat dan mondok di rumah sakit, abang sudah menjual seekor
sapi. Lantas bila aku harus operasi yang biayanya ratusan juta, abang mau jual
apalagi. Sudahlah Bang, aku siap menghadapi apa saja. Bahagiakan abang di
tengah Didin dan Esti”. Sumiarsih bertambah pucat pasi wajahnya, diapun kini
tertidur di sisi suaminya dan Esti. Sementara matahari kini telah mulai lelah
menyaksikan episode drama dari sepasang insan yang harus menghadapi segala
sesuatu dengan kemampuan mereka sendiri,
kini matahari mulai bersembunyi di tirai senja.
Sarkasi
dan Esti putri bungsunya melewatkan senja ini dengan canda ria, Estipun menjadi
bertambah berseri wajahnya setelah berhari hari hanya murung, sementara ini Esti
mampu melupakan emaknya, yang sedang meregang nyawa di pembaringan.Nampaknya
memang Tuhan telah mengabulkan permohonan Sumiarsih untuk menapaki kebahagiaan
yang abadi disisiNYA.
Senja
itu adalah senja terakhir Sarkasi didampingi Sumiarsih, setelah beribu ribu
episode Sumiarsih tidak pernah absen disampingnya. Sarkasipun tahu bahwa
kebahagiaan seorang manusia ternyata berada di jauh hati manusia itu sendiri,
bahagia bukah diwujudkan dengan berhamburan materi. Terbukti dua puluh tahun
lebih dia merasakan kebahagiaan berada di samping Sumiarsih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar