Mestinya aku biarkan saja semua yang menimpaku berlalu begitu saja, tanpa singgah barang
sedikitpun di sudut hati. Sehingga
jadilah aku manusia yang terbang bebas kesana kemari, sebebas angin kemarau
menerjang siapa saja yang dihadapannya. Bahkan
tak akan kulepaskan sayap ini hingga kudapatkan penggantimu. Tanpa adanya sedikitpun bayang Angelina yang selalu saja mencuri hatiku. Apalagi kini
sebuah penantian memagutku tak
berdaya.
Aku sendiri tak menyadari, bila
Angelina selalu saja bersembunyi di balik kekagumanku. Hingga sebuah kenyataan
yang ada didepanku terasa sungguh sulit kuterima. Masih saja ada tatapan harap
yang selalu membentur semunya batas pandang. Angelinapun pergi entah kemana.
Lantas apa yang dia miliki dalam hatinya, apakah hanya bunga sedap malam,
ataukah aku yang dungu , yang hanya mampu terbujur di keputusasaan.
Tahun pertama sebuah perpisahan
terasa belum seberapa lama, sebuah kado
ultah Angelina yang ke 23 pun sempat aku beli dan kuterbangkan hingga ke Ujung
Pandang menyusuri kenangan bersama dia, kala dia mengajaku berliburan di rumah Tante
Rosa. Kembali aku merasakan kedua kakipun terasa telah terjerambab ke dasar
bumi, kala Tante Rosa mengabari bahwa Angelina telah pindah ke Sidney ,
merengkuh bahagia bersama pria bule.
Tapi memang dialah Angelina, yang
memang pantas menerima kebahagiaan seperti itu.Menapaki maghligai bahagia
dengan pria yang mampu membahagiakan dia segalanya. Semoga saja Angelina mampu
memiliki dunia ini dengan segala kekurangannya. Atau kekurangan apapun yang dia
terima, mampu disikapi dengan kelapangan hatinya yang seluas dunia.
Moga saja Tom suaminya mau menerima
Angelina apa adanya, menerima sesuatu yang dimiliki Angelina dengan segala
kekurangannya, dibalik kecantikanya. Karena hanya aku saja yang selama ini
mampu menerima kekurangan Angelina,
karena sebuah janji sempat aku torehkan didepanya dengan saksi air matanya yang
membasahi bahuku. Kala dia menerima hasil diagnose dokter yang menemukan adanya
kanker ganas yang bersemayam di organ dalamnya.
“Marcell, aku harus mengucapkan
selamat tinggal untukmu”. Kalimat darinya masih saja menghuni telingaku, meski
telah satu tahun lamanya.
“Tenanglah dulu, Lia !. Jangan
berkata kaya gitu”
“Aku harus ngomong gimana, bacalah
hasil lab PA ini. Oh Tuhan kenapa begini !”
Sebuah pelukan lebih hangat dan
rapat membuat akupun tidak ingin ke
hilangan dia hingga kapanpun. Aku baca hasil lab itu, dan tertera jelas catatan dr. Isa yang merekomendasikan adanya kanker ganas di antara organ organ dalamnya. Dan catatan medispun merekomendasikan dia hanya mampu bertahan 5 tahun. Sebuah petir menyambar hati ini, hingga lemaslah seluruh badanku. Namun aku harus menunjukan ketegaran sebagai Marcell yang harus mampu menjadi tempat berlindung Angelina.
hilangan dia hingga kapanpun. Aku baca hasil lab itu, dan tertera jelas catatan dr. Isa yang merekomendasikan adanya kanker ganas di antara organ organ dalamnya. Dan catatan medispun merekomendasikan dia hanya mampu bertahan 5 tahun. Sebuah petir menyambar hati ini, hingga lemaslah seluruh badanku. Namun aku harus menunjukan ketegaran sebagai Marcell yang harus mampu menjadi tempat berlindung Angelina.
‘Oh Marcell, bagaimana ini ?”
“Kamu harus bersabar Lia, tentu saja
yang mampu menyembuhkan adalah ketegaran kamu sendiri “. Dadaku terasa sesak
saat Angelina menumpahkan kesedihan dan kegetiran hatinya dengan memeluku erat.
Sementara seluruh tubuhnya tergoncang, lantaran Angelina belum mampu menerima
kenyataan ini. Sekarang telah lima tahun
berselang, aku telah berusaha menambatkan bahtera hidupku dengan gadis
pilihanku yang mampu menyirnakan bayang kehadiran Angelina, namun selalu kandas
dan berakhir dengan perpisahan. Selalu saja kekelaman aku dapatkan sama seperti
yangh ditorehkan Angelina.
Memang tak semestinya aku terus
ditelikung bayang Angelina, aku laki laki yang sudah sepantasnya menggenggam
dunia dengan ketegaran hati dan kekokohan langkah. Hari demi hari baying
Angelinapun tertinggal jauh, Sebuah langkah percaya diri dan gentle kembali aku dapatkan sebagaimana
layaknya seorang laki-laki.
Hingga datanglah Rully, yang
membuatku kembali lagi terbangun setelah lima tahun mengalami mimpi buruk
terpasung Angelina. Sebuah rumah mungil di pinggir Kota Semarang telah menjadi
saksi bahwa bahtera yang aku miliki telah menambatkan diri di tepi pelabuhan
hati Rulli. Berbagai suka dan dukapun menjadi saling berbagi. Layaknya saling bergantinya temaram senja dan
fajar di ufuk timur. Meski kebahagiaan Rully dan aku belum lengkap tanpa
kehadiran seorang putrapun.
Rullylah yang paling merasakan
kekurangan ini. Begitu besar kerinduan
dirinya akan kehadiran seorang putra. Bahkan
kerinduan ini semakin lama semakin menggrogoti hatinya. Hingga pada akhirnya
diapun meminta sebuah perpisahan. Mungkin saja Tuhan berkenan menciptakan
hambanya yang memang sanggup menerima cobaan
yang tiada kunjung reda. Disaat sisa umurku yang menipis sebuah
perpisahanpun masih saja melekat dalam hidupku. Namun sebuah kodratlah yang
menginginkan perpisahan ini, karena merawat benih dalam kandungan, melahirkan
dan mengasuh anak hingga dewasa adalah dambaan tiap wanita. Akupun melepas
kepergian Rully dengan sebuah keinginan agar hatiku mampu setegar karang dilautan.
Rumah mungil di batas kota itupun
kini lengang, berisi sebuah episode tentang sketsa hidup seorang manusia, yang
berdinding putih kelabu, beratap asa yang tiada bertepi dan berlantai sebuah
kekokohan yang terukir selangkah demi selangkah. Namun biarlah rumah mungil di
batas kota ini nantinya aku harapkan masih bisa menjadi saksi perpisahan diriku
dengan dunia yang penuh kepalsuan. Entah sampai kapan waktunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar