Sabtu, 17 November 2012

Pesta Petir



Bersahutan petir memerahkan langit yang berjelaga, sebentar-sebentar terdengar suara  dentuman seribu meriam yang dinyalakan oleh malaikat malaikat penjaga langit. Merahnya bara api kadang kala hanya terasa sepenggalah jaraknya dengan orang-orang yang memilih bersembunyi di bawah selimut. Pekatnya malam betul betul mengungkung mereka semua, lantaran kesetiaan angin malam yang mengembara dan ikut sejenak mengambil nafas menemani tidur mereka semua yang mendengkur.

Di tengah mimpi yang mereka rajut, mereka semua sementara melupakan, bahwa acapkali pesta petir akhir akhir ini sering terjadi justru di tengah musim kemarau. Itulah yang membuat mereka belum siap untuk menyemai padi ataupun tanaman palawija di tengah cuaca yang tidak mereka kenal. Sebagian lagi lebih memilih mengikat perahunya di muara sungai, ketimbang di lahap ganasnya ombak Pantai Selatan.

Sepenggal hidup lagi harus mereka tanggalkan, lantaran alam yang sedang tidak lagi bersahabat. Bertanam padi Lokonpun mereka tangguhkan, lantaran hujan masih saja menerpa di tengah musim kemarau.  Bertanam padi apalagi, di kehidupan mereka yang dipertaruhkan pada tegalan tadah hujan, hujan belum cukup utuk menumbuhkan padi yang manja dengan air hujan. Di tengah sketsa hidup yang pelik, hanyalah putus asa yang mereka usung. Apa daya hujan dengan pesta petir telah merenggut bumi ini, maka perahu, jaring,  dan apapun yang mampu menyambung penghidupan merekapun kini bersandar.

Sang fajarpun kini menyergap mereka, meski sebagian masih berlindung di bawah selimut kumal. Namun sebagian lainnya masih menyambut hasrat membenahi bilah kehidupan yang tiada seberapa kokohnya di sekitar Goa Karang Bolong yang tandus. Meski tegalanya kini telah ditumbuhi ilalang kegetiran, namun mereka masih menyisakan tanaman singkong dan sayuran ala kadarnya untuk sarapan pagi ini.


Sang surya masih bersitegang dengan awan gelap, yang terus saja menghalangi pandanganya. Sehingga Bumi Karang Bolongpun masih dirundung kegelapan, jangankan kehidupan para petani, burung camarpun masih enggan untuk mencari mangsa. Debur ombak Pantai Karang Bolong membuat burung burung camar itu ketakutan. Hanya Suwito saja yang menapaki pagi ini untuk sekedar mencari angin di wajah pagi yang belum bersahabat itu. Sementara dari jauh masih sering terdengar suara gemuruh petir dari kejauhan,  pertanda hujanpun masih menginginkan kehadiranya kembali.



Sementara Suwitopun tahu, bahwa tegalan miliknya sudah tidak mampu memberinya penghidupan keluarganya. Namun kegetiran hatinya yang membuat dia sepagi ini berselimut embun untuk mencoba untuk menjaring angin pagi,  barangkali mampu membalut kegetiran hatinya. Setelah semalam suara nyaring istrinya mengalahkan pesta petir, mengutuk kehidupan mereka yang didera nestapa tiada berujung.



“Sudahlah  Pak, apa yang kita tunggu lagi. Kita kan tahu bahwa sudah banyak tetangga kita yang berangkat ke Bandung, meskipun di sana hanya bekerja menjadi pengemis. Daripada mengandalkan kacang hijau, kedelai dan padi. Nyatanya tetangga kita juga bisa hidup makmur”



“Dari mana kamu tahu kalau mereka mengemis di Bandung ?”. Apa dari mulut mereka sendiri ?”.



“Ya tidak, Pak !. Mereka memang tidak mau terus terang”



“Ya, terus darimana kamu tahu mereka mengemis ?”



“Aku tahu dari, Pak Lurah”



“Mengapa !, mereka tidak mau terus terang ?. Lantaran mereka malu dengan pekerjaan hina itu. Mereka selalu mengaku kalau mereka bekerja di kantor, tapi nyatanya ?. Apa kamu mau aku seperti itu ?”.



“Tapi daripada kita hidup seperti ini. Pak !,  untuk makan besok saja aku sudah tidak punya apa apa lagi. Apa lagi untuk bayar SPP anak anak kita, aku tahu mengemis adalah perbuatan yang tidak kamu sukai, tapi apa anak anak harus berhenti sekolah, apa mereka besok tidak sarapan?”



“Sudahlah, aku yakin besok Tuhan masih memberi kita rejeki. Kalau kau sudah tidak punya beras, sementara ambil saja singkong yang ada di belakang. Besok aku akan semampuku mencari tambahan. Percayalah pada Yang Mengatur Rejeki, kamu harus yakin!”.



Sarung yang lusuh yang melipat di leher Suwito, kini direntangkan hingga menutupi seluruh tubuhnya. Sebentar sebentar Yani putri bungsu pasangan petani itu terjaga dan menangis mencari Ibunya yang lepas dari pelukanya. Suwito kini bersama dengan seluruh warga Karang Bolong mulai merajut mimpi. Sama sekali di wajahnya tidak terdapat guratan kesedihan atau panik, karena Suwito yakin setiap kehidupan pasti akan menjemput siapa saja yang mau mengaisnya. Maka diapun sangat benci dengan tekad teman temanya satu desa yang memilih mengemis di Bandung demi sebilah penghidupan.



Pematang menuju tegalanyapun kini ikut sunyi, tiada satupun tetangganya yang berniat membenahi barang sejengkal tegalan mereka yang terendam air. Padahal tanaman jagung kuning yang ditanam pada bulan bulan lalu kini tenggelam banjir. Bukankah daunya yang masih segar bisa dimanfaatkan untuk pakan sapi dan kambing, Mengapa mereka membiarkan saja ataukah mereka menjadi mudah putus asa. Demikian bisik hati Suwito, yang menyesalkan perilaku tetangganya yang masih larut dalam dinginya pagi, lantaran dipagut hujan yang terus menyergap

Batas pandang Suwito menyapu semua sudut tegalan yang tergenag air dari sudut satu ke sudut lainnya. Bagaikan lautan luas yang tiada bertepi, perasaan getir kini menyelinap alam jantung hatinya. Inilah yang menyebabkan sebagian besar masyarakat Karang Bolong memilih menjadi pengemis di Bandung. Tanpa secuilpun upaya menyingsingkan lengan guna menepis tegalanya yang terus diterjang banjir, sementara tanah pertanian mereka menjadi kering kerontang ditikam kemarau panjang.

Sejuta bayangan dengan sayap yang terbentang kini memburu hatinya untuk segera menemukan jalan keluar mengatasi kepelikan hidup saudara saudaranya itu. Bayangan dalam hati itulah yang memaksa Suwito berjalan menuju kantor kelurahan guna menemui Marto Suseno sang Lurah Karang Bolong. Meski gagasan itu akan terkulai tak berdaya di gilas birokrasi. Namun karena tekadnya Suwito tidak mau mengikuti jejak saudara saudaranya mengemis ke Bandung,  maka gagasan si kecil itupun akan diperjuangkan mati matian.

***

“Wito !, saluran irigasi di dusun Sibayan telah ada sejak jaman Belanda dulu, namun karena petani malas merawatnya, akhirnya kini telah tertimbun tanah. Apa urusanmu dengan saluran itu ”.

“Aku tidak punya urursan dengan saluran itu, Pak Lurah !. Tapi rakyatlah yang membutuhkan demi kehidupan  mereka ?”

“Dari pertama aku menjabat lurah, aku sudah mengajak warga untuk merehabilitasi saluran tersebut. Aku tahu Wito, sebagian besar wargaku banyak yang mengemis di Bandung,karena tanah mereka tidak mampu lagi menopang kehidupan. Mereka malah lebih senang mengemis di kota besar”



“Aku heran, Pak Lurah !. Mengapa mereka senang mengemis ketimbang bertani. Padahal apabila mereka mau bekerja bakti merehabilitasi saluran tersebut, mereka akan mampu bertahan hidup di Karang Bolong”

“Penghasilan dari mengemis jauh lebih banyak dari bertani. Rata rata orang kota bisa memberi mereka lima ratus sampai seribu rupiah. Coba bayangkan berapa penghasilan mereka per hari?”

“Makanya, Pak Lurah !. Aku akan memimpin seluruh warga untuk bekerja bakti memperbaiki saluran itu. Sampai kapan, entahlah. Yamg pasti saluran itu harus selesai secepatnya “

“Itu gagasan yang bagus, Wito !. Setiap tahun aku mengusulkan dana ke atas, tetapi hingga saat ini belum turun “
\
“Kalau menunggu bantuan dari atas, sampai kapan kita akan mengatasi masalah ini. Lebih baik aku akan mengumpulkan teman teman untuk mrnggarapnya, setelah pekerjaan di sawah selesai. Kalau semua petani bergabung saya kira nggak akan lama selesai”



“Baguslah kalau begitu Wito, segeralah kamu kerjakan.Oh ya hari ini beras raskin sudah datang di kelurahan. Ambilah jatahmu”



Matahari telah mulai meminang wajah bumi. Jalan jalan desa yang berbatu telah mulai rame,  lalu lalang masyarakat petani di pasar Tambak Mulya mulai kentara. Mereka mulai menjual dan membeli sayur serta kebutuhan hidup lainnya. Demikian juga wajah Suminah istri Suwito yang telah ceria, kala menerima beras raskin jatahnya dan ditambah jatah dari Pak Lurah. Memang itulah Keadilan Sang Pencipta, yang telah menebarkan rejeki kepada siapapun yang selalu tawakal dan pasrah kepadaNYA.


Gaung bersambut, semua petani desa itupun sudah mendengar rencana Suwito untuk merehabilitasi saluran irigasi yang melintang tegalan mereka. Saluran itu diharapkan oleh masyarakat petani gurem mampu memberikan secercah harapan. Lantaran mereka hanya mampu mengadu nasib dengan bertanam musim. Dengan saluran itu nantinya, meski telah hadir pesta petir dengan hujan yang lebatpun tidak menepiskan mereka untuk bertanam palawija, jeruk, kedelai bahkan padi. Inilah suatu kehidupan sederhana yang mampu diusung oleh Suwito dan banyak keluarga lainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar