Bersahutan petir memerahkan
langit yang berjelaga, sebentar-sebentar terdengar suara dentuman seribu meriam yang dinyalakan oleh
malaikat malaikat penjaga langit. Merahnya bara api kadang kala hanya terasa
sepenggalah jaraknya dengan orang-orang yang memilih bersembunyi di bawah
selimut. Pekatnya malam betul betul mengungkung mereka semua, lantaran
kesetiaan angin malam yang mengembara dan ikut sejenak mengambil nafas menemani
tidur mereka semua yang mendengkur.
Di tengah mimpi yang mereka
rajut, mereka semua sementara melupakan, bahwa acapkali pesta petir akhir akhir
ini sering terjadi justru di tengah musim kemarau. Itulah yang membuat mereka
belum siap untuk menyemai padi ataupun tanaman palawija di tengah cuaca yang
tidak mereka kenal. Sebagian lagi lebih memilih mengikat perahunya di muara
sungai, ketimbang di lahap ganasnya ombak Pantai Selatan.
Sepenggal hidup lagi harus
mereka tanggalkan, lantaran alam yang sedang tidak lagi bersahabat. Bertanam
padi Lokonpun mereka tangguhkan, lantaran hujan masih saja menerpa di tengah
musim kemarau. Bertanam padi apalagi, di
kehidupan mereka yang dipertaruhkan pada tegalan tadah hujan, hujan belum cukup
utuk menumbuhkan padi yang manja dengan air hujan. Di tengah sketsa hidup yang
pelik, hanyalah putus asa yang mereka usung. Apa daya hujan dengan pesta petir
telah merenggut bumi ini, maka perahu, jaring, dan apapun yang mampu menyambung penghidupan
merekapun kini bersandar.
Sang fajarpun kini
menyergap mereka, meski sebagian masih berlindung di bawah selimut kumal. Namun
sebagian lainnya masih menyambut hasrat membenahi bilah kehidupan yang tiada
seberapa kokohnya di sekitar Goa Karang Bolong yang tandus. Meski tegalanya
kini telah ditumbuhi ilalang kegetiran, namun mereka masih menyisakan tanaman singkong
dan sayuran ala kadarnya untuk sarapan pagi ini.
Sang surya masih
bersitegang dengan awan gelap, yang terus saja menghalangi pandanganya.
Sehingga Bumi Karang Bolongpun masih dirundung kegelapan, jangankan kehidupan
para petani, burung camarpun masih enggan untuk mencari mangsa. Debur ombak
Pantai Karang Bolong membuat burung burung camar itu ketakutan. Hanya Suwito
saja yang menapaki pagi ini untuk sekedar mencari angin di wajah pagi yang
belum bersahabat itu. Sementara dari jauh masih sering terdengar suara gemuruh
petir dari kejauhan, pertanda hujanpun
masih menginginkan kehadiranya kembali.
Sementara Suwitopun tahu, bahwa
tegalan miliknya sudah tidak mampu memberinya penghidupan keluarganya. Namun
kegetiran hatinya yang membuat dia sepagi ini berselimut embun untuk mencoba
untuk menjaring angin pagi, barangkali
mampu membalut kegetiran hatinya. Setelah semalam suara nyaring istrinya
mengalahkan pesta petir, mengutuk kehidupan mereka yang didera nestapa tiada
berujung.
“Sudahlah Pak, apa yang kita tunggu lagi. Kita kan tahu
bahwa sudah banyak tetangga kita yang berangkat ke Bandung, meskipun di sana
hanya bekerja menjadi pengemis. Daripada mengandalkan kacang hijau, kedelai dan
padi. Nyatanya tetangga kita juga bisa hidup makmur”
“Dari mana kamu tahu kalau
mereka mengemis di Bandung ?”. Apa dari mulut mereka sendiri ?”.
“Ya tidak, Pak !. Mereka
memang tidak mau terus terang”
“Ya, terus darimana kamu
tahu mereka mengemis ?”
“Aku tahu dari, Pak Lurah”
“Mengapa !, mereka tidak
mau terus terang ?. Lantaran mereka malu dengan pekerjaan hina itu. Mereka
selalu mengaku kalau mereka bekerja di kantor, tapi nyatanya ?. Apa kamu mau
aku seperti itu ?”.
“Tapi daripada kita hidup
seperti ini. Pak !, untuk makan besok
saja aku sudah tidak punya apa apa lagi. Apa lagi untuk bayar SPP anak anak
kita, aku tahu mengemis adalah perbuatan yang tidak kamu sukai, tapi apa anak
anak harus berhenti sekolah, apa mereka besok tidak sarapan?”
“Sudahlah, aku yakin besok
Tuhan masih memberi kita rejeki. Kalau kau sudah tidak punya beras, sementara
ambil saja singkong yang ada di belakang. Besok aku akan semampuku mencari
tambahan. Percayalah pada Yang Mengatur Rejeki, kamu harus yakin!”.
Sarung yang lusuh yang
melipat di leher Suwito, kini direntangkan hingga menutupi seluruh tubuhnya.
Sebentar sebentar Yani putri bungsu pasangan petani itu terjaga dan menangis
mencari Ibunya yang lepas dari pelukanya. Suwito kini bersama dengan seluruh
warga Karang Bolong mulai merajut mimpi. Sama sekali di wajahnya tidak terdapat
guratan kesedihan atau panik, karena Suwito yakin setiap kehidupan pasti akan
menjemput siapa saja yang mau mengaisnya. Maka diapun sangat benci dengan tekad
teman temanya satu desa yang memilih mengemis di Bandung demi sebilah
penghidupan.
Pematang menuju
tegalanyapun kini ikut sunyi, tiada satupun tetangganya yang berniat membenahi
barang sejengkal tegalan mereka yang terendam air. Padahal tanaman jagung
kuning yang ditanam pada bulan bulan lalu kini tenggelam banjir. Bukankah
daunya yang masih segar bisa dimanfaatkan untuk pakan sapi dan kambing, Mengapa
mereka membiarkan saja ataukah mereka menjadi mudah putus asa. Demikian bisik
hati Suwito, yang menyesalkan perilaku tetangganya yang masih larut dalam
dinginya pagi, lantaran dipagut hujan yang terus menyergap
Batas pandang Suwito
menyapu semua sudut tegalan yang tergenag air dari sudut satu ke sudut lainnya.
Bagaikan lautan luas yang tiada bertepi, perasaan getir kini menyelinap alam
jantung hatinya. Inilah yang menyebabkan sebagian besar masyarakat Karang
Bolong memilih menjadi pengemis di Bandung. Tanpa secuilpun upaya
menyingsingkan lengan guna menepis tegalanya yang terus diterjang banjir,
sementara tanah pertanian mereka menjadi kering kerontang ditikam kemarau
panjang.
Sejuta bayangan dengan sayap
yang terbentang kini memburu hatinya untuk segera menemukan jalan keluar
mengatasi kepelikan hidup saudara saudaranya itu. Bayangan dalam hati itulah
yang memaksa Suwito berjalan menuju kantor kelurahan guna menemui Marto Suseno
sang Lurah Karang Bolong. Meski gagasan itu akan terkulai tak berdaya di gilas
birokrasi. Namun karena tekadnya Suwito tidak mau mengikuti jejak saudara
saudaranya mengemis ke Bandung, maka
gagasan si kecil itupun akan diperjuangkan mati matian.
***
“Wito !, saluran irigasi di
dusun Sibayan telah ada sejak jaman Belanda dulu, namun karena petani malas
merawatnya, akhirnya kini telah tertimbun tanah. Apa urusanmu dengan saluran
itu ”.
“Aku tidak punya urursan
dengan saluran itu, Pak Lurah !. Tapi rakyatlah yang membutuhkan demi kehidupan mereka ?”
“Dari pertama aku menjabat
lurah, aku sudah mengajak warga untuk merehabilitasi saluran tersebut. Aku tahu
Wito, sebagian besar wargaku banyak yang mengemis di Bandung,karena tanah
mereka tidak mampu lagi menopang kehidupan. Mereka malah lebih senang mengemis
di kota besar”
“Aku heran, Pak Lurah !.
Mengapa mereka senang mengemis ketimbang bertani. Padahal apabila mereka mau
bekerja bakti merehabilitasi saluran tersebut, mereka akan mampu bertahan hidup
di Karang Bolong”
“Penghasilan dari mengemis
jauh lebih banyak dari bertani. Rata rata orang kota bisa memberi mereka lima
ratus sampai seribu rupiah. Coba bayangkan berapa penghasilan mereka per hari?”
“Makanya, Pak Lurah !. Aku
akan memimpin seluruh warga untuk bekerja bakti memperbaiki saluran itu. Sampai
kapan, entahlah. Yamg pasti saluran itu harus selesai secepatnya “
“Itu gagasan yang bagus,
Wito !. Setiap tahun aku mengusulkan dana ke atas, tetapi hingga saat ini belum
turun “
\
“Kalau menunggu bantuan
dari atas, sampai kapan kita akan mengatasi masalah ini. Lebih baik aku akan
mengumpulkan teman teman untuk mrnggarapnya, setelah pekerjaan di sawah
selesai. Kalau semua petani bergabung saya kira nggak akan lama selesai”
“Baguslah kalau begitu
Wito, segeralah kamu kerjakan.Oh ya hari ini beras raskin sudah datang di
kelurahan. Ambilah jatahmu”
Matahari telah mulai
meminang wajah bumi. Jalan jalan desa yang berbatu telah mulai rame, lalu lalang masyarakat petani di pasar Tambak
Mulya mulai kentara. Mereka mulai menjual dan membeli sayur serta kebutuhan
hidup lainnya. Demikian juga wajah Suminah istri Suwito yang telah ceria, kala
menerima beras raskin jatahnya dan ditambah jatah dari Pak Lurah. Memang itulah
Keadilan Sang Pencipta, yang telah menebarkan rejeki kepada siapapun yang selalu
tawakal dan pasrah kepadaNYA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar