Ada keraguan di kalbu yang menyelip jauh di kalbu Sebastian, untuk menyambangi Carolin yang hampir 5 tahun tenggelam dalam peraduan egonya. Antara dia dan gadis lesung pipit ini memang selalu dibatasi “langit bersusun tujuh”,karena masing terpagut dengan hasrat yang bertanam di halaman hati masing-masing. Sebastian bagaikan karang terjal, selalu menjinjing ego yang kuat. Kala dia sudah berniat mengapai apapun , semuanya adalah harus menjadi miliknya. Meski hingga sampai kini diapun merasa hanya hidup bagaikan daun hijau yang berteman angina kembara.
Sedangkan Caroline anak mama, putra seorang
developer di kota Semarang, hanya
bayangan semu selama dekat di hati Sebastian sejak mereka duduk di kelas
XI sebuah SMU. Caroline laksana Madam
Julia Peron dari Argentina,
yang hidup merengkuh emas dan berlian si singasananya da kehidupan sekelilingnya.
Meski jauh dalam hatiya dia merasa kagum dengan cowok eksentrik namun cerdas
yang senang berphose apa adanya. Dasar Sebastian adalah cowok ganteng dengan
rambut ikal, maka apapun perangainya selalu saja menrik simpatik Carolin.
Kemanapun kaki sang Romie ini melangkah,
Juli pasti membayanginya. Mereka berdua bagaikan angina laut yang liar dan
ombak laut yang bergelora. Namun ombak yang bergelora tersebut tidak pernah
mampu menyatukan tangan dengan angina yang memusarinya.
Gema takbir hari kemenangan mulai menggema
dari cakrawala semua arah, senja kali ini menjadi senja yang paling benderang
di muka bumi. Seribu malaikat telah menggelarkan sayapnya, menaburkan maghfiroh
untuk insan yang mengusung keteduhan hati, termasuk Sebastian, yang sudah lima
tahun setelah berpisah dengan Caroline bagaikan perahu yang koyak layarnya,
sehingga untuk menepikan sauhnya di pelabuhan hatinya, diapun tidak memiliki
keberanian. Kerap kali memang Carolinn melintas di hatinya, namun seketika itu
juga bayangan itu menghilang tersapu angin badai yang ganas.
Untuk menyelipkan hidup yang dia inginkan
hanya ada di guratan wajah bulan, yang dia perhatikan kala sendiri duduk di
beranda rumah kontrakan di pinggir kota. Mungkinkah Caeolin ada di wajah bulan,
yang bertaut dengan kuning sinarnya yang selalu saja merajut warna warna
pelangi di cakrawala senja hidupnya,desah hati seperti itu selalu saja hadir di
bilah hidupnya.
Namun manusia tetap saja manusia, yang semua
nasib kodrat dan suratan takdir manusia berada di tanganNYA, gema takbir,
tahlil dan tahmid telah meresap jauh ke jantung hatinya. Telaga sejuta warna
dalam hatinya, menepis menjadi warna putih bersih yang mampu mencelupkan semuanya asanya untuk menemui
Carolin, yang sekarang berada di istana kehidupanya.
Rumah itu masih seperti dulu, berasiktur
“jawa kuno” dengan dinding dan genteng yang kokoh. Namun warna tembok dan
keramik lantainya telah berganti dengan warna putih polos. Bukankah papi
Carolin sangat menyukai variasi warna yang mencolok, mengapa sekarang warna
warna itu telah hilang. Ataukah mungkin ini selera Carolin, yang dia tahu
persis adalah cewek yang tidak suka variasi warna yang mencolok. Degup
jantungnya segera memburu anganya,maka kini di hatinya muncul. Jari telunjuknya
tanpa keraguan kini memencet tombol bel yang ada di samping pintu gerbang yang
juga telah berganti dengan warna hitam legam.
“Maaf Om, Carolin ada?”
“Anda siapa?” jawab pria setengah baya yang
ada di depan pintu gerbang.
Belum pernah Sebastian merasakan badai yang
dasyat yang menerpa halaman hatinya. Kemana Carolin, kemana papi dan mamanya
yang dulu sangat akrab dan simpatik sama dia.
“Saya teman SMU Carolin, Om !. Apa Carolin
sudah pindah Om ?”
Oh, silakan masuk Mas, Om ceritakan di dalam
saja “
Satu demi satu kata yag keluar mulut
laki-laki itu di dengarkan oleh Sebastian,yang kiniterbang tak menyentuh bumi
lagi, melayang entah kemana.
“Itulah Mas, sejak Pak Benhard meninggal
karena kanker ganas, Karolin dan maminya sekarang pindah entah kemana. Semua
hartanya telah habis terjual untuk obat dan biaya hidup keluarga itu yang
terlanjur mewah. Aku beri alamat terakhir Karolin. Sekarang tinggal di Padang”. Kertas kumal
berisi alamat Carolin kini disimpan di domper dekilnya Sebastian. Kedua
tanganya kini bergetar, Carolin mengapa kau tidak memberi kabar untukku. Akupun
siap mengatarmu dalam merajut hidup yang
tiada menentu.
Beruntung Sebastian masih kebagian tiket
pesawat yang langsung terbang dari Semarang
ke Padang.Tanpa menemui kesulitan Sebastian kini berada di ujung gang yang
dituju. Kota Padang masih menyisakan nafas peayaan Hari Kemenanga. Sebuah rumah
sederhana kini berada di depannya, halamanya tiada seberapa luasnya dan di
pojok depan halaman itu telah berdiri warung panganan yang banyak dikunjungi
pembeli.
Darah yang mengalir di nadi Sebastian kini
terasa berhenti, kerongkonganya kini bagai tesumbat bara api yang panas hingga
menyesakan dadanya. Diamati cewek yang berada di dalam warung panganan itu. “ Ternyata
dia Caroline, ya !. Carolin, aku tidak pangling”.Sebastian berhasil menepis
leraguannya.
“Mari Mas, silakan duduk!, silakan merasakan
cendol dan panganan lainnya, oh,kau.!!! .kau..!!!, benarkah kamu Yan. Mengapa
kau disini. Mari masuk ke dalam Yan !”
Tubuh yang menyisakan ketidakpercayaan itu
kini direbahkan pada kursi penjalIn tua yang lusuh dan masih ditebari debu,
pertanda tidak pernah dirawat pemilikya dengan baik.
“Yan, kamu dari mana saja, mengapa kamu
sekarang di Padang, dari mana kamu tahu alamatku, Yan, pasti dari Pak Stewart
?. Dan kini kau tahu semuanya tentang aku ?”.
“Aku kemarin memang ke Gajah Mungkur dan
ketemu Pak Stewart, lantas dia memberiku alamat ini?”
“Sekarang inilah aku, ini aku Carolin maka
wajar saja kamu nggak pernah mau calling aku, setelah aku jatuh”
“Buktinya sekarang aku ke sini”
“Lantas apa maumu, kamu mau berteriak
sekeras kerasnya pada semua orang, kalau Carolin sekarang jatuh miskin ?”
“Ah,simpan saja perasaanmu itu Carolin. Aku
memang lama nggak ngasih kabar, maafkan
aku Carolin. Inikan suasana yang baik
untuk saling memaafkan!”
“Lantas kemana saja kamu selama ini ?”
“Aku hidup tiada menentu selama lima tahun,
aku kerja dari studio ke studio lainnya. Pengalaman yang aku miliki hanya
bagian produksi di studio radio atau design grafis. Penghasilanku tiada
menentu, padahal aku harus hidup mandiri”
“Keadaanmu tidak jauh berbeda dari aku, Yan.
Aku hanya seorang pedagang cendol”
“Sudahlah. Carolin. Semuanya pasti akan
berakhir. Mengapakamu tinggal di sini?”
“Ini rumah milik Om Hendra, aku dan mama
serta Devi hanya bisa menempati sesukaku. Sementara mama mbantu catering di
perusahaan Om Hendra. Aku dan Devi bergantian di warung itu, Yan”
“Bagiku kehidupan seperti itu sudah akrab
sejak aku di SMA. Bapaku hanya pegawai kecil kecilan,sedangkan ibuku pedagang
di pasar Karang Jati. Maka waktu SMA dulu aku selalu menjauh darimu”
“Sudahlah, tolonglah Yan, aku minta kau
lupakan masa masa itu”
“Namun aku kini sudah ada di depanmu. Kau
masih Carolin yang dulu kan?”
Karolin hanya menghiasi wajahnya dengan
senyuman kecilnya. Senyuman yang membuat Sebastian hendak merengkuh dunia dan
isinya. Senyuman itulah yang lima
tahun selalu menjaga pintu hatinya. Sekarang diapuntak mau lagi kehilangan
wangi bunga di taman hatinya.
“Karolin, pulanglah ke Semarang lagi. Aku sekarang udah punya studio
grafis sendiri, dan designku telah banyak dicari biro iklan. Aku butuh
bantuanmu dan juga dirimu. Kita akhiri saja semuanya, Kita berpisah dulu tiada
satu patah katapun kita sepakati, demikian juga hari ini, sebuah pertemuan lagi
tiada banyak kata yang dapat aku tuturkan”
Bintik air mata kini muali merebak di benung
mata Karolin, menambah pesona wajahnya yang ayu. Sebastianpun tehu persisi
bahwa rembulan kini telah memenuhi ruang dadanya pada hari kemenangan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar