Sabtu, 17 November 2012

Ranting Kering





    Hanya tinggal mengandalkan ke dua kaki yang terbungkus keriputnya  kulit, yang melegam karena terbakar matahari. Terkadang kedua kakinya itupun gemetar menapaki pematang sawahnya yang tidak seberapa luas. Namun Suto tidak pernah merasakan adanya sebuah perpisahan. Meski kehadiran istrinya beberapa puluh tahun mendampingi dirinya hanya tinggal kenangan. Setelah semua kepengapan hidup dan kesengsaraan yang mendera mereka telah cukup.

            Rupanya Tuhanpun memilih Suminah untuk segera menghuni langit dengan taman bunga warna warni, ketimbang harus menghuni dunia yang penuh tipu daya. Suminahpun meninggalkan Suto dengan tenang, karena Suminahpun tidak mampu melawan kodrat yang digariskan oleh Yang Diatas. Apalagi diapun tahu bahwa suaminya adalah laki-laki yang tangguh, terbukti dari seluruh hidup mereka, hanya kesengsaraan dan kemiskinan yang mengakrabinya.

            “Aku sakit, Pak !” Demikian Suminah mengeluh dihadapan suaminya, pada suatu malam. Setelah seharian mereka di sawah.

            “Tidurlah, besok biar aku saja yang kesawah. Kamu tidak usah membantu”
            “Ah Cuma masuk angin, besok juga sembuh”
            “Kamu sudah cukup umur, Bu !. Jangan memaksa diri”
            “Tapi kalau di rumah juga mau apa ?. Aku senang mbantu kamu, Pak !. Aku juga tidak sampai hati sama kamu Pak. Aku lihat kamu sebenarnya sudah tidak kuat lagi ke sawah. Pak. Duh Gusti kemana perginya Yono dan Noto. Sudah bertahun-tahun belum pulang juga”

            “Sudahlah, jangan mengungkit-ngungkit mereka lagi Bu !. Nanti kamu tambah sakit. Kita tidak punya biaya untuk ke rumah sakit lho Bu !. Jaga kesehatanmu !”
            “Aku seorang ibu Pak, aku yang melahirkan mereka berdua. Dari kecil aku asuh, setelah dewasa entah kerja di mana. Mereka berdua lupa dengan kita berdua, yang sudah renta, Ya Pak ?”.

            “Jangan kuatir, Bu !. Tidak lama lagi mereka pasti pulang. Mereka tidak lupa dengan kita Bu, aku  yakin. Hanya saja mereka tentunya belum mendapatkan kehidupan yang layak”
            Suminah tidak menjawab lagi, namun tatapan matanya tetap kosong, rasa rindu kepada dua anaknya kian menjadi-jadi saban hari. Apalagi bila mendengar teman sekampung Yono dan Noto telah berbahagia dengan istri dan anak anaknya. Namun Suminah adalah wanita yang telah biasa mengalami berbagai macam goncangan hidup. Namun entah mengapa rasa rindu kepada anaknya, beberapa minggu ini kian tak karuan.

            Baik Suminah sendiri, apalagi Suto adalah manusia biasa yang tidak tahu kodrat dan iradat dari Tuhan Yang Kuasa kepada hambanya. Rupanya rasa rindunya itu telah meluruhkan ketegaran wanita petani yang hidup di desa, Suminah kinipun hanya berbaring ranjang lapuknya dan sebuah kekuatan diluar kasat mata telah membius jantung dan paru. Sehingga Suminahpun kini hanya terbujur dingin.

            Hanya linangan air mata Suto saja yang mengiringi kepergian belahan jiwa yang selama 30 tahun bersamanya mengarungi dunia yang tak pernah menjadi sahabat mereka. Rasa penyesalan yang dalam telah menyelimuti ruang hati Suto, mengapa dia tak mampu mempertemukan istrinya dan kedua anaknya. Namun kala itu kemana dia akan mencari kedua anaknya. Disamping itu dia dan istrinya hanyalah sepasang manusia yang sudah uzur, yang tidak mungkin berpetualang dari kota ke kota mencari mereka. Karena mereka berdua hanyalah ranting ranting yang kering dan rapuh.

            Suto kini sudah tak mungkin lagi terus larut dalam bayangan Suminah, karena dia kembali disibukan dengan panen. Tangan dan kaki yang keriput itu masih saja bersemangat untuk menuai sebuah kehidupan walau hanya secercah hinggap pada awan jingga di ufuk barat,  apalagi tanpa bantuan Suminah istrinya. Tak khayal lagi kini rasa rindu kepada semua keluarganya menjadi kental. Namun bagaimana lagi, bila ranting kering yang sudah rapuh, hanya menunggu jatuh ke tanah dihempas angin kehidupan.

            Perjuangan melawan ganasnya penghidupan membuat mereka saling berpisah satu sama lain. Kedua anaknyapun memilih meninggalkan desa itu lantaran sudah tidak memiliki harapan lagi. Yono putra sulung mereka bergabung dengan rekan satu desa yang berniat mengadu nasib ke Lampung untuk bertranmigrasi. Sementara itu Noto bertekad merantau ke Malaysia dan berjanji untuk sering menengok mereka beberapa tahun sekali. Namun nyatanya mereka hanya meninggalkan sebuah harapan dan kerinduan untuk sepasang ranting yang kering yang ditengah terik musim kemarau.

Harapan tinggal harapan, Sutopun hanya mampu merenungi kepergian semua harta miliknya yang tiada pernah tahu berapa nilainya. Apalagi semenjak kepergian Suminah, Suto telah kehilangan seisi dunia ini. Malampun bertambah larut, langit langit kamarnya yang kumuh dan berdebu kini menjadi saksi. Dipegangnya kata hatinya yang mampu membesarkan dirinya, maka diapun tidak mau mendengarkan lagi hati kecilnya,

Suto kin terlelap dalam sebuah mimpi panjang, ketika dia dan kedua anaknya bermain di tengah sawahnya yang mongering karena kemarau menerpanya. ,Mereka bertiga berkejaran dan melepas tawa riang hingga terdengar dari tiap penjuru padang tersebut. Mereka bermain layang-layang, menangkap kerbau, mencari belalang hingga datanglah Suminah yang berpakaian serba gemerlap, bersulap benang sorga dan semerbak wangi bunga sorgapun merebak memenuhi hidung Suto. Suto tak mampu menolak Suminah yang menjulurkan tanganya untuk mengajak pergi ke penjuru langit. Sementara kedua anaknyapun hanya melambaikan kedua tangannya dengan senyum bahagia. Dan heninglah peraduan Suto.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar