Hanya
tinggal mengandalkan ke dua kaki yang terbungkus keriputnya kulit, yang melegam karena terbakar matahari.
Terkadang kedua kakinya itupun gemetar menapaki pematang sawahnya yang tidak
seberapa luas. Namun Suto tidak pernah merasakan adanya sebuah perpisahan.
Meski kehadiran istrinya beberapa puluh tahun mendampingi dirinya hanya tinggal
kenangan. Setelah semua kepengapan hidup dan kesengsaraan yang mendera mereka
telah cukup.
Rupanya Tuhanpun memilih Suminah
untuk segera menghuni langit dengan taman bunga warna warni, ketimbang harus
menghuni dunia yang penuh tipu daya. Suminahpun meninggalkan Suto dengan
tenang, karena Suminahpun tidak mampu melawan kodrat yang digariskan oleh Yang
Diatas. Apalagi diapun tahu bahwa suaminya adalah laki-laki yang tangguh,
terbukti dari seluruh hidup mereka, hanya kesengsaraan dan kemiskinan yang
mengakrabinya.
“Aku sakit, Pak !” Demikian Suminah
mengeluh dihadapan suaminya, pada suatu malam. Setelah seharian mereka di
sawah.
“Tidurlah, besok biar aku saja yang
kesawah. Kamu tidak usah membantu”
“Ah Cuma masuk angin, besok juga
sembuh”
“Kamu sudah cukup umur, Bu !. Jangan
memaksa diri”
“Tapi kalau di rumah juga mau apa ?.
Aku senang mbantu kamu, Pak !. Aku juga tidak sampai hati sama kamu Pak. Aku
lihat kamu sebenarnya sudah tidak kuat lagi ke sawah. Pak. Duh Gusti kemana
perginya Yono dan Noto. Sudah bertahun-tahun belum pulang juga”
“Sudahlah, jangan
mengungkit-ngungkit mereka lagi Bu !. Nanti kamu tambah sakit. Kita tidak punya
biaya untuk ke rumah sakit lho Bu !. Jaga kesehatanmu !”
“Aku seorang ibu Pak, aku yang
melahirkan mereka berdua. Dari kecil aku asuh, setelah dewasa entah kerja di
mana. Mereka berdua lupa dengan kita berdua, yang sudah renta, Ya Pak ?”.
“Jangan kuatir, Bu !. Tidak lama
lagi mereka pasti pulang. Mereka tidak lupa dengan kita Bu, aku yakin. Hanya saja mereka tentunya belum
mendapatkan kehidupan yang layak”
Suminah tidak menjawab lagi, namun
tatapan matanya tetap kosong, rasa rindu kepada dua anaknya kian menjadi-jadi
saban hari. Apalagi bila mendengar teman sekampung Yono dan Noto telah
berbahagia dengan istri dan anak anaknya. Namun Suminah adalah wanita yang
telah biasa mengalami berbagai macam goncangan hidup. Namun entah mengapa rasa
rindu kepada anaknya, beberapa minggu ini kian tak karuan.
Baik Suminah sendiri, apalagi Suto
adalah manusia biasa yang tidak tahu kodrat dan iradat dari Tuhan Yang Kuasa
kepada hambanya. Rupanya rasa rindunya itu telah meluruhkan ketegaran wanita
petani yang hidup di desa, Suminah kinipun hanya berbaring ranjang lapuknya dan
sebuah kekuatan diluar kasat mata telah membius jantung dan paru. Sehingga
Suminahpun kini hanya terbujur dingin.
Hanya linangan air mata Suto saja
yang mengiringi kepergian belahan jiwa yang selama 30 tahun bersamanya
mengarungi dunia yang tak pernah menjadi sahabat mereka. Rasa penyesalan yang
dalam telah menyelimuti ruang hati Suto, mengapa dia tak mampu mempertemukan
istrinya dan kedua anaknya. Namun kala itu kemana dia akan mencari kedua
anaknya. Disamping itu dia dan istrinya hanyalah sepasang manusia yang sudah
uzur, yang tidak mungkin berpetualang dari kota ke kota mencari mereka. Karena
mereka berdua hanyalah ranting ranting yang kering dan rapuh.
Suto kini sudah tak mungkin lagi
terus larut dalam bayangan Suminah, karena dia kembali disibukan dengan panen.
Tangan dan kaki yang keriput itu masih saja bersemangat untuk menuai sebuah
kehidupan walau hanya secercah hinggap pada awan jingga di ufuk barat, apalagi tanpa bantuan Suminah istrinya. Tak
khayal lagi kini rasa rindu kepada semua keluarganya menjadi kental. Namun
bagaimana lagi, bila ranting kering yang sudah rapuh, hanya menunggu jatuh ke
tanah dihempas angin kehidupan.
Perjuangan melawan ganasnya
penghidupan membuat mereka saling berpisah satu sama lain. Kedua anaknyapun
memilih meninggalkan desa itu lantaran sudah tidak memiliki harapan lagi. Yono
putra sulung mereka bergabung dengan rekan satu desa yang berniat mengadu nasib
ke Lampung untuk bertranmigrasi. Sementara itu Noto bertekad merantau ke
Malaysia dan berjanji untuk sering menengok mereka beberapa tahun sekali. Namun
nyatanya mereka hanya meninggalkan sebuah harapan dan kerinduan untuk sepasang
ranting yang kering yang ditengah terik musim kemarau.
Harapan tinggal harapan, Sutopun hanya mampu
merenungi kepergian semua harta miliknya yang tiada pernah tahu berapa
nilainya. Apalagi semenjak kepergian Suminah, Suto telah kehilangan seisi dunia
ini. Malampun bertambah larut, langit langit kamarnya yang kumuh dan berdebu
kini menjadi saksi. Dipegangnya kata hatinya yang mampu membesarkan dirinya,
maka diapun tidak mau mendengarkan lagi hati kecilnya,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar