Selasa, 20 November 2012

Shodanco Sudjiwo




September hari ke 18 tahun 1948, sebuah pengumuman dari Gubernur Militer Republik Sovyet Madiun tentang pembentukan Front Nasioanal Daerah menyelinap ke angkasa Kota Surabaya yang terpagut sepi, lantaran disekap hujan semalam.

Namun pengumuman Gubernur Militer Republik Sovyet Madiun tersebut, seketika menghangatkan udara kota Surabaya. Embun yang turun di pagi hari sontak menepi, ditepis gelora juang hati para pemuda, termasuk Letnan Sudjiwo, anggota TKR Batalyon Mayangkara 503, di Perning Sidoarjo tepi batas kota. Surabaya yang merah membara akibat ulah anjing NICA pada November 1945, kini kembali bangkit lagi untuk menghempaskan “merah darah” yang hendak merenggut Bumi Madiun menjadi negara Beruang Merah.
Demikian juga Lt. Sudjiwo, hati letnan lajang itu meradang merah membara mendengar “kaum merah” yang menggagahi Madiun dengan sekehendak hati. Ibu pertiwi yang lagi bersolek penuh gairah bersyahwat dengan nasionalis setiap anak bangsa, guna mempertahankan sang kekasih dari sergapan dan tikaman bregundal dari daratan Eropa, yang telah berabad lamanya memasung hasrat Ibu Pertiwi “pemilik archipelago yang berpantai nyiur hijau”, telah terluka hatinya. Luka hatinyapun   tersayat bertambah dalam, lantaran bercampur dengan sebuah kerinduan semua anak bangsa akan makna sebuah kebebasan, yang telah menjadi fitroh , harkat dan martabat setiap nafas, yang telah banyak ditebus dengan apa saja yang mereka mampu kerjakan dan akan terus menjadi “penyulut” pergulatan panjang di pentas prosa sebuah bangsa.
Sang letnanpun telah tahu persis tabiat “kaum merah” yang liar tanpa nyanyian jiwa, maka Rakyat Madiunpun bakal menjadi  korban radikalisme tanpa mengenal “kehalusan akal perasaan” demi sebuah revolusi setan. Maka Perningpun menjadi saksi bisu akan semangat anak bangsa “asuhan negeri ratna mutumanikam Nusantara” untuk menerjang setiap hasrat yang menodai revolusi kemerdekaan ini. Mereka telah berkumpul di markas batalion itu untuk menunggu perintah Panglima Divisi I Jawa Timur Kolonel Sungkono.
Belum jelas betul jalan-jalan di Kota Surabaya akibat embun pagi yang menghalangi sang mentari. Sepanjang perjalanan hanya terlihat rumah rumah penduduk yang masih terbujur kaku dengan pintu yang masih tertutup rapat. Mereka betul-betul melupakan “ucapan selamat pagi” pada wajah pagi. Namun letnan lajang itu telah melaju dengan sepeda Bathavus menuju Ngagel guna menautkan hati dengan gadis yang selalu hadir di hatinya.
Irma gadis Ngagel yang dirindunya kini menghias bibirnya dengan senyum ceria, bak bunga mawar merah bermandikan embun pagi. Irma tiada mengira “Shodancho Sudjiwo”, yang dia kenal betul sejak jaman PETA, kini berada tepat di depannya meski hari masih tertutup embun.
“Ada perlu penting apa Mas !, pagi pagi sudah ke Surabaya. Ada sesuatu yang gawat rupanya ?”
“Betul, Ir !. Madiun diterjang orang merah. Musso dn pengikutnya bikin ulah. Nasibku tinggal menunggu telegram dari Pak Dirman. Untuk maju menyabung nyawa, sesuatu yang sangat aku benci dalam hidupku”
“Kenapa baru sekarang, Mas bicara masalah menyabung nyawa, Mas kan bukan anak kecil lagi. Sudah kenyang dengan pertempuran meregang nyawa sejak jaman Heiho,
PETA dan pembentukan Djawa Hookoo Kai. Semua anggota laskarpun menyabung nyawa dengan gagah berani“
 “Aku sendiri heran,  Irma .!, Mengapa begitu panjangnya tugas-tugas negara yang selalu saja menelibatkan aku. Padahal aku berharap semua akan berakhir . Sehingga aku bisa meniti kehidupan bersama kamu dalam satu rumah mungil.Tapi ya suadahlah…Ir, aku hanya akan pamit saja sama kamu, untuk menerjang Musso di Madiun”.
Irma hanya tersenyum manis mendengar keletihan jiwa pada letnan muda itu. Namun diapun memaklumi. Lantaran dia dan jutaan Rakyat Indonesia sudah letih pula dalam menggapai kehidupan adil makmur sentosa di masa mendatang. Keduanya kini hanya saling pandang, ketia roda-roda sepeda Bathavus sudah berada di depan rumah Irma Susanti, pejuang wanita yang dijumpai pertama kali oleh letnan lajang itu pada sebuah dapur umum.
Kolonel Sungkono tahu persis bahwa tidak setiap Rakyat Madiun adalah pengikut Musso, maka kekuatan pengikut Musso dan tentaranya tentunya hanya terkonsentris hanya di daerah tertentu saja.  Sejak Kolonel Sungkono diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, 19 September 1948, dia tidak menyisakan waktu barang satu menitpun bagi pasukannya untuk membiarkan pengikut Musso melarikan diri. Tangan tangan mereka yang berlumuran darah harus berhadapan dengan Divisi I TKR, yang terus menerjang maju dari arah timur Kota Madiun. Sementara dari atah barat mereka harus berhadapan dengan TKR Divisi II pimpinan Kolonel Gatot Soebroto. Mereka tak kenal lelah maju melumat beruang merah yang kini tinggal terkonsentris di kota Madiun.
Bau mesiu dan asap meriam membahana di semua tempat di Kota Madiun yang meradang pilu. Setiap langkah maju dari pasukan TKR selalu dihadang dengan pekikan semangat menggelora dari pengikut Musso yang tiada kenal takut, mereka bagaikan mayat yang memanggul senjata. Namun bagi anggota TKR, sikap berani mati mereka tidak sempat menggoyahkan anggota TKR, barang sehelai ambutpun yang terus merangsek maju, menerjang peghalang apapun. Sehingga pertempuran frontal terakhir di tengah Kota Madiun tak terhindarkan.
Hari hari terakhir pertempuran hebat dirasakan oleh Letnan Sudjiwo sebagai hari yang panjang. Lantaran sudah 2 minggu dia bersama anggota TKR lainya menyabung nyawa melawn pengikuit Musso yang sudah tercuci otaknya. Mereka bertempur bagaikan melawan barisan “benteng ketaton”. Namun satu demi satu banteng-banteng merah tersebut berhasil digulung. Hingga hari ini, Hari yang ke – 30 Bulan September mereka telah berada di depan Hotel Merdeka tepat di tengah kota Madiun tempat markas para petinggi pemberontak , meski berjarak beberapa ratus meter.
“Letnan…Letnan Sujiwo”
“Ada apa kopral”
“Aku kurir dan diperintah Kapten menghadapmu”
“Jelaskan apa perintah Kapten Djarot”
“Peleton anda ditugasi membungkam beberapa water canon yang ada di mulut gerbang Hotel Merdeka”
“Tapi itu tak mungkin ?”
“Saya hanya menyampaikan pesan, Letnan !”         
“Baik akan aku jalankan, sampaikan pada Kapten aku akan bertempur semampuku “
Letnan Sujiwo mantan Sodancho gemblengan serdadu Dai Nippon tidak merasakan gentar barang sedikitpun menghadapi water cannon PKI yang terus menyalak. Rasa marah membara kini menghinggapi bilik jantungnya, ketika melihat beberapa anak buahnya lunglai ditebas peluru senapan mesin tersebut.
 “Sersan Santo!,  kumpulkan granat yang masih kita miliki ?”
“Siap letnan. Tapi untuk apa ?”
“Aku akan bungkam meriam itu sendirian”
“Lebih baik anak-anak saja, Letnan !”                                     
“Tentu saja mereka aku libatkan, tapi mereka harus dibelangku, akan aku hujani dengan granat. Setelah aku beri aba-aba majulah serentak semua anggota peleton “
“Baik, Let, laksanakan !”
Sudjiwo kini merangkak harimau di atas padang alang-alang menuju water canon di depan gerbang hotel itu. Kini resiko apapun tidak berhasil mengusik hatinya untuk melangkah surut. Hanya Irma saja yang sempat melintas di atinya, maka diapun
mengacungkan tanganya untuk meminta Sersan Susanto maju mengambil posisi di sampingnya.
“Sersan, maukah kamu menolongku !”
“Tentu saja, Letnan !”
“Kamu kenal Irma kan ?”
Sersan Susanto hanya diam seribu bahasa setelah mendengar pertanyaan aneh dari komandan peletonnya itu.
“He.. Sersan, kamu kenal Irma kan ?. Gadis Ngagel ?”
“Kan aku pernah diajak letnan ke rumahnya. Ada apa dengan Irma, letnan ?”
Di tengah desingan peluru berbagai ukuran Letnan Sudjiwo menarik nafas panjang, tak lama kemudian dia mengeluarkan kalung emas dengan bandul berlian yang disodorkan pada sersan di sampingnya.
“Berikan ini pada Irma, tolong Sersan”
“Sebentar lagi kita pulang ke Surabaya, kan letnan bisa berikan sendiri pada Irma”
            ‘Kali ini aku benar-benar minta tolong, kembalilah ke posisi semula.Bersiaplah menunggu aba-abaku. Aku yakin kita akan menang, selamat bertugas Sersan.Merdeka !”
            “Merdeka, jaga dirimu baik baik Letnan, aku harap kita akan bertemu lagi di kesatuan”
Letnan Sudjiwo hanya tersenyum tipis, kemudian mempercepat gerakmerayapnya hingga semakin dekat jarak dia dengan water cannon. Setelah  tinggal beberapa puluh  meter jarak dia dengan water cannon, dia lantas melengking memberi aba-aba gerakan maju sambil melempar beberapa granat aktif di tangan kanan dan kirinya. Berkali kali
terdengar ledakan dasyat di sekitar senapan mesin itu. Sehingga hacur kini senapan mesin itu bersama dengan penembaknya.
Tubuh letnan itu kini terpelanting membasahi bumi dengan darah pahlawannya,lantaran beberapa peluru 12, 7 telah menyobek dadanya. Seluruh anggota peletonya kini merangsek maju merebut gerbang itu, sementara anggota lainnya berhasil maju hingga ruang lobi. Tak beberapa lama Hotel Merdeka berada sepenuhnya dikuasai Batalyon Mayangkara 503. Kini tubuh Shodancho Sudjiwo yang terbujur kaku berada di pelukan peleton C bersama linangan air mata anak buahnya. Irmapun melepas kepergian letnan pujaanya itu  dengan hati tabah, pada upacara pemakaman pahlawan kusuma bangsa. ***
(Cerita pendek ini  hanya fiktif belaka)-



Tidak ada komentar:

Posting Komentar