Hujan turun dari pagi. Membasahi
udara malam yang terus saja menyisakan kedinginan. Laki – laki separo baya itu
lantas menepis kedinginan dengan menggapai baju hangat yang lusuh, dan terlihat
di berapa bagianya sudah terkoyak,. Deru mobil di jalan depan warungnya sudah
mulai berkurang jauh, warung kopinyapun tidak seperti biasanya menjadi lengang.
Rasa kantuk sebenarnya sudah dia rasakan sedari sore, tetapi nasi dan lauk
serta makanan rebus dan goranganya masih banyak yang belum terjual. Padahal
secercah penghidupan yang dia geluti, adalah menggantungkan dari ini semua.
Namun hujan tiada mau reda,
meskipun sudah saatnya musim hujan berganti dengan musim kemarau. Dengan muka
bersungut-sungut laki-laki itu menggeliat kesana-kemari merasakan penat seluruh
tubuhnya. Istrinyapun sudah tertidur semenjak sore tadi, lantaran sedari pagi
sibuk memasak segala masakan untuk warungnya. Istrinyapun segera merangkai
mimpi, berisi sketsa yang terkanvas dalam hidup yang dicitakan suami dan anak-anaknya.
Sekali lelaki itu terbang dengan
anganya, andaikata anak-anaknya mau menggantikan dia semalaman di warung
kopinya, tentu dia akan tidur menyusul istrinya yang mendengkur di belakang
warungnya. Namun mereka harus menyelesaikan sekolahnya hingga selesai, agar
nasibnya tidak seperi dia. Namun dibalik itu semua acapkali diapun tidak
percaya dengan dirinya sendiri, hanya dengan mengais nafkah dari sebuah warung
kopi kecil di pinggir jalan, tapi dia sanggup menyekolahkan Wanto hingga sampai
perguruan tinggi. Sementara Sofyan anak keduanya, kini telah lulus dari SMK dan yang terakhir
Wati masih duduk di kelas satu SMA. Lamunan
terus menggayuti anganya, hingga sebuah sapaan telah membangunkannya.
“Nglamun Bang!”, suara itu tak
asing bagi Norman.
Sebuah suara yang selalu mampir di warungnya tiap malam.
“Yaah, saat cuaca seperti ini sebenarnya aku sudah
enggan buka warung seperti ini , Yul ?. Tapi bagaimana lagi !”
“Ah, jangan gitu to, Bang, yang
namanya rejeki tetap saja harus dicari. Kok tidak seperti biasanya, kini abang
mengeluh”
“Umurku bertambah terus, Yul !,
tapi bagaimana lagi, anak-anak masih
harus sekolah, semoga saja mereka tidak seperti orang tuanya bernasib seperti
ini”
“Abang adalah manusia yang bahagia
lho, punya anak anak yang pintar. Mereka semua tekun bersekolah”
“Kalau aku ingat itu, maunya terus
saja buka warung 24 jam, yah semoga mereka berhasil, kamu mau minum apa, Yul ?”
“Aku nggak punya duit, Bang!,
beberapa hari ini belum ada satu priapun yang boking aku. Nggak usah lah Bang,
aku Cuma mau nyanggong saja”
“Jangan gitu dong Yul, kalau kamu
nggak punya duit, nggak apa-apa. Kamu sudah lama jadi langganan warungku,
seberapa mahal sih Yul, Cuma nasi sama minum. Kamu pasti lapar, iya kan ?”
“Tapi dagangan abang kan belum laku seharian
?”
“Adakalanya memang rejeki seseorang
memang disempitkan, namun aku tetap bersukur. Lantaran beberapa minggu
belakangan aku sampai kelelahan melayani pembeli. Malam ini anggap saja malam
untuk istirahatku. Ayolah kamu ambil sesukamu, kamu nggak usah
malu-malu”
“Trimakasih Bang Norman, kalau saja
di dunia ini semua orang seperti Bang Norman. Mungkin aku tidak jadi PSK
seperti ini, ya Bang!”.
“Entahlah Yul, aku tidak pernah
membeda-bedakan orang kok, Yang penting kamu harus punya niatan untuk
mengakhiri ini semua. Kamu kan
bertambah usiamu Yul“.
Normapun selalu berangan bahwa
apapun derajatnya, senista apapun profesi mereka, yang gemerlapan layaknya
kunang-kunang malam yang sesaat bersinar, mereka adalah manusia biasa, yang
tetap memiliki derajat yang sama. Hanya Tuhan saja yang berhak menghakimi
mereka, itupun bila mereka belum bertaubat kepadaNYA.
Hujanpun mulai reda, namun malam
telah merambat hingga melengangkan jalan di depan warung. Kota yang biasanya padat dan berdebu disertai
deru mesin, kini terbujur dingin, sedingin hati kunang malam yang kini meratapi
nasibnya. Kini hanya terdengar canda riang beberapa kunang malam yang saling
menghibur diri, derai senyum mereka semakin jelas terdengar. Tak lama
kemudian, merekapun berkumpul di warung
kopi Norman, yang
sekarang mulai menghangatkan warungnya, setelah seharian terbujur dalam
kedinginan.
Itulah kunang kunang malam,
beterbangan dengan seribu angan guna membunuh setiap kegetiran hati. Mereka
mudah berhamburan untuk memberi keceriaan, tapi sesaat merekapun berlarian
pergi menuruti kata hatinya. Dari dalam bilik tidur, terdengarlah desah nafas
istri Norman yang terjaga dari tidurnya dan
sekarang diapun ikut canda riang di warung kopi yang tidak seberapa luasnya.
“Maafin aku ya, Mak!, aku
mengganggu tidur emak !” , seru Ratih perempuan tinggi semampai, yang
berperawakan wanita gaul, namun terbelenggu himpitan hidup, karena ditinggal
suaminya yang berlalu begitu saja dan hanya meninggalkan ke dua anaknya yang
masih kecil.
“Nggak apa apa, sebentar lagi emak juga
masak, untuk sarapan bapak-bapak yang berlangganan di sini”.
“Emak nggak cape ?” Tanya Wiwin
dengan pandangan mata yang kosong, seakan
menyimpan kehampaan yang ada di hatinya. Wiwinpun menjadi terbawa angan
tentang emaknya di kampung, yang membanting tulang sebagai petani desa demi
untuk menafkahi dia dan saudara saudaranya. Namun gairah cinta Wiwin yang
membara, maka dengan mata gelap diapun menyerahkan segala-galanya pada pria
hidung belang, yang m,emberi seribu
janji tapi juga meninggalkan dia begitu saja.
“Yaa cape to Win, tapi gimana lagi
!”
“Makanlah dan buatlah kopi sendiri,
kamu semua kan lapar ?, Udara di luar dingin,
ayo semuanya jangan malu !” pinta Norman
“Aku ngebon dulu, ya Bang Norman ?,
besok-besik aku bayar “
“He..he..ambilah makanan yang kamu
sukai. Kamu semua sudah seperti anaku. Jangan malu !” , pinta istri Norman, yang melihat
mereka semua dengan hati yang iba. Mereka semua tentunya mengalami kehancuran
dalam hidupnya. Sebenarnya masih banyak diantara orang-orang yang kelihatannya
terhormat, tetapi sebenarnya memiliki derajat yang lebih rendah dari mereka.
“Emak dan abang Norman , kok baikan dengan kami yang hanya
seorang wanita jalang, yang tiada harganya” seru Yuli.
“Apa kami semua lebih suci dari
kalian semua. Tuhanlah yang tahu harga seseorang” jawab Norman.
“Tetapi orang-orang semua pada
mencibir kami, Mak!”
“He..he manusia hidup di dunia
memang nggak ada benarnya, yang penting kalian semua mau belajar dagang, apa
kerja, apa nglamar di pabrik. Anak anak kaliankan bertambah besar, kebutuhan
mereka juga akan bertambah. Nggak mungkin kalian akan seperti ini terus” jawab
istri Norman sembari menunggu matangnya nasi.
“Betul emakmu, kami semua juga
seperti kamu. Yang namanya hidup akrab dengan penderitaan, hingga kami sendiri
sudah nggak bisa merasakan apa penderitaan itu sendiri. Sabarlah, coba deh
mulai besok pada nyari kerja kemana aja, jadi pembantu atau apa !”
“Kita semua sudah kesana kemari
mencari kerja, hingga anak anak kami butuh susu dan sekolah. Sehingga akhirnya
kami seperti ini” Wiwie tidak mau diam saja, dia lantas gabung curhat, sekedar
menepiskan kegetiran hatinya. Dalam hati dia sempat bersukur telah dipertemukan
dengan suami istri yang berhati emas, yang menempatkan mereka seperti orang
lainnya. Namun sayangnya meski mereka telah akrab dengan suami istri tersebut
bertahun-tahun, tapi tiada sepatah kata Norman
dan istrinya yang mereka dengarkan. Bagi
suami istri itu dosa adalah mutlak urusan Tuhan yang Diatas. Wiwiepun tertegun,
dan meresakan belum saatnya terlambat bagi dia untuk kembali sebagai wanita
terhormat.
Air mata Wiwin telah memenuhi semua
rongga matanya, tatkala terbayang dihatinya, setiap sore dia memperhatikan
sorot mata kedua anaknya yang masih merindukan kehadirannya. Betapa teriris
hatinya tatkala dia membayangkan, kedua anaknya menangis pilu di tengah malam
merindukan peluk dan ciumnya.
“Sudahlah Win, kita semua mengalami
penderitaan hidup yang sama denganmu. Ada
benarnya juga nasehat bang Norman,
kita belum terlambat untuk mencari kerja, membiayai anak anak kita dengan
nafkah yang baik. Kita pun belum terlambat untuk menjadi ibu yang baik”. Yuli
memeluk Wiwin kemudian mengusap rambutnya, persis seperi anak kecil. Mereka
berduapun menjadi tersenyum , diikuti juga dengan derai senyum Wati, yang juga
bernasib sama.
Kokok ayam jantan telah terdengar
dimana-mana, pertanda sebuah kehidupan baru segera di mulai. Mereka bertigapun
sudah tidak mampu lagi seperti kunang-kunang, karena sinarnya telah ditelan
sang surya. Mereka semuapun berpamitan dengan pasangan suami istri yang
disambut dengan senyum tulus dan sebuah doa, Kunang-kunangpun telah suram
sinarnya, karena kini merea telah siap dengan penghidupan yang baru. Jalanan di
depan warung Normanpun mulai rame.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar