Melati menjadi enggan berbuat sesuatu, jiwa dan kalbunya dikungkung kenyataan yang ada. Dia kini hanya berpegang pada rasa pasrah yang tinggal di sudut hatinya. Tubuhnya yang tadinya simpal kini hanya tinggal tulang yang dibungkus kulit, Pandangan matanya padam mendingin, tidak sebinar beberapa lama silam. Kadang diapun hanya berteman dengan ketidaktahuan, sementara kekelautan jiwa yang mendera tiada pernah ditambatkan pada siapapun.
Bunga yang tadinya mekar bersama
dengan keceriaan hatinya, kini tiada pernah menyambut pagi lagi. Padahal dia adalah kembang ranum yang menyerbak
harum wangi dan tiada satupun pria yang enggan dekat dengannya. Sesekali dia
mencoba untuk membangun hatinya agar seperti dahulu menghadapi dunia yang kini
asing baginya. Namun itu hanya sesaat, karena sesuatu yang ingin digapainya
kini entah terselip di belahan bumi mana. Akhirnya kini dia terkungkung dalam
ketidaktahuan lagi.
Masa-masa bahagia mungkinkah bisa
erat dengan aku lagi, demikian bisik hatinya yang beribu kali datang dan pergi.
Kala dia termenung di tengah malam menunggu pengharapan esok hari. Dia ingat
betul betapa dulu papinya menjadi direktur perusahaan miliknya sendiri. Begitu
bergelimpangan dunia mewarnai keluarganya kala itu. Namun semuanya hilang bagai
ditelan bumi, semenjak papinya memiliki sekretaris yang cantik, Tante Else
namanya. Hingga membuat papinya lupa segala-galanya, Setelah puas menghamburkan
uang papinya, Tante Elsepun pergi entah kemana. Tinggalah penyesalan yang
menghinggapi perasaan Harsoyo, hingga dia
sakit.
Ironisnya lagi, Harsoyo meregang
nyawa dengan sakit komplikasi yang parah disaat semua harta kekayaannya disita
bank. Kini dia terbujur di kamar tidur rumah kontrakan di sudut kota
Pintu bambu kamarnya berderit, tak lama terlihatlah wajah seorang wanita
separuh baya dengan wajah lusuh namun masih menyisakan senyum yang tipis duduk
di samping Melati, yang masih terpaku diam. Wanita itu tak lain adalah Haryati,
ibunya Melati. Lama dia memandangi wajah anak sulungnya, sambil sebentar sebentar
melepaskan nafas panjang, pertanda kekalutan hatinya telah melekat di hatinya.
“Sudahlah
Melati, kamu tak usah memikirkan orang tuamu, cukup mami saja. Kau kan masih
sekolah? ”.
“Aku
tidak bisa seperti itu Mam, aku ingin keluar sekolah, aku ingin bekerja
sebisaku untuk biaya adik adiku dan juga mama”
“Kamu
mau kerja apa ?, Yang berijazah sarjana saja tak laku kerja”
“Entahlah,
Mam !. Sudah beberapa hari ini kita makan seadanya, lagi pula aku masih punya
tiga adik yang butuh uang sekolah, sedangkan
papa sudah tidak kontrol ke dokter lagi”
“Melati,
itu semua tanggung jawab Mama, apapun yang terjadi di keluarga ini, mamalah
yang harus tanggung jawab. Kamu jangan berpikir terlalu keras, anaku !”
“Aku
kasihan mama, biar Melati keluar sekolah saja mam !. Melati bisa kok mam cari
biaya untuk membantu keluarga kita”
“Aku
tidak ingin anaku putus sekolah, demi masa depanmu, jangan kau lakukan itu
Melati?. Biar mama saja yang cari biaya. Aku Cuma titip papamu, rawat dia bailk
baik Melati ?”
“Mama
mau ke mana ?”
“Mama
mau ke Jakarta, semoga bisa menemui pamanmu. Mama mau nyari pinjaman ! “
“Kalau
nggak dapat pinjaman, Mam ?”
“Itu
masalah nanti, yang penting rawatlah papamu dan adik adikmu, untuk beberapa
hari “
Melati hanya mampu menganggukan
kepalanya, dia kini hanya mampu menahan napas. Rasa khawatir masih terselip di hatinya, jangan –jangan itu hanya
alasan mamanya saja. Melatipun tahu bahwa mamanya adalah wanita yang meski
telah berumur hampir separo baya, namun
masih kelihatan cantik. Kulitnya kuning, tubuhnya masih kelihatan seksi.
Melati ingat betul, kala papinya
jatuh dipelukan Tante Else, maminyapun melampiaskan nafsu durjananya dengan
sejumlah om kolega papinya. Maminya hanya seperti pilala bergilir yang tiap
malam jatuh dipelukan teman teman papinya, namun papinyapun sama sekali tidak
bereaksi, bahkan semakin hangat membelai Tante Eise.
Semua memang telah berlalu, baik
mama dan papinya telah menyadari akan nafsu gilanya yang selama ini mereka
lampiaskan, Mereka tidak sadar bahwa anak anak mereka telah beranjak dewasa, apalagi Melati
putra sulung mereka telah menginjak usia
dewasa, Melati kini bagaikan artis sinetron atau foto model yang gaul, modis
dan memiliki paras yang selangit. Langit cerah mulai tampak di atap rumah
keluarga Harsoyo, namun hanya sesaat karena angin kembara telah membawa mendung
hitam menyelimuti hati mereka semua. Apalagi kini kehadiran mama mereka telah sekian lama hanya meninggalkan
bayang-bayang semu.
Melati tiada bergeming barang
sedikitpun dari buruk sangka terhadap mamanya, diapun kini hanya meronta dengan
hatinya yang paling dalam, untuk menyelamatkan papanya yang berjuang melawan
maut. Pendirianya tetap kukuh agar dia da papanya serta adik adiknya dilingkungi kebahagian seperti dulu lagi.
Bukankah Om Aleksander mampu membantu mengurai benang kusut ini semua, hanya
dengan menyodorkan sebilah cinta kepadanya, meski separo hatinya yang bening
tetap milik Indra. Namun Indra tetap Indra baginya, meski saat ini sama sekali
tidak mampu memberi secercah harapan untuk mengatasi kekalutan hatinya.
Malam bertambah dingin, semakin
panjang rasanya penantian Melati untuk kedatangan Om Aleksander, papanya masih
meregang menahan sakit, semua adik-adiknya kinipun terlelap. Kepergian mamanyapun sudah dua minggu berlalu,
Kini Melati hanya bertumpu pada ketidak tahuan, semoga saja Om Aleksander mau
datang malam ini, meskipun entah apa yang akan terjadi.
Deru mobil sayup terdengar dari
arah yang cukup jauh, kini jelaslah bahwa mobil itu adalah milik Om Aleksander
setelah nyampe di pekarangan rumahnya. Melati tertatih keluar agar tidak
membangunkan adik adiknya yang tertidur menahan lapar. Malam kini menjadi milik
mereka, hanya dengus nafas berat dan panjang serta keringat mereka berdua
menjadi saksi terpagutnya hasrat mereka di kedinginan malam Kaliurang.
Pagi itu Melati terlambat bangun,
rasa kantuk dan pegal seluruh tubuhnya masih saja belum mau pergi, sayup dia
terdengar mamanya menggerutu dengan suara yang hampir memenuhi isi rumah yang
tidak lagi mengguratkan kedamaian hati masing-masing. Kini sorot mata tajam
mamanya diarahkan padanya, dan terdengarlah lengkingan ucapanya yang memecahkan
keheningan pagi itu,
“Dari
mana saja kau !, wanita jalang !”
“Mama
dari mana ?, mama juga wanita jalang”
“Anak
tidak tahu diri !. Mama pergi ke Jakarta, cari pinjaman untuk biaya papamu dan sekolah
kamu !”
“Tidak
mungkin, mama jangan bohong !. Paman malah nyari mama, kemarin dia sms. Mama
bohong kan ?”.
“Untuk
apa mama bohong, mama mampir dulu ke teman mama juga untuk nyari pinjaman”
“Mampir
ke Om Yayan kan!, pacar mama dulu ?. Sudahlah mama jangan bohong. Aku jadi
wanita jalang juga karena mama seperti itu, yang tidak tahu malu. Kasihan papa
mam!” teriakan Melati membumbung tinggi dan membangunkan semua adik-adiknya
yang kini hanya bisa saling melempar pandang.
Melati
kini bertambah meradang, dari benak hatinya timbul keinginan untuk menerkam
wanita yang berdiri di depanya, setelah kedua pipinya terasa panas. Beberapa
kali tangan mamanya mendarat di kedua pipinya. Diapun menjerit mengungkapkan
kata hatinya yang dipenuhi bara api.
“Ayo
bunuh aku mam, bunuh aku, agar mama puas. Aku memang wanita jalang, karena
mamaku juga jalang! “
“Sudah, diam kau anak durhaka !”
“Meeelatiii.
. . Maaamaaa…kemarilaaaah”. Suara kedua perempuan itu menjadi terbungkam,
setelah terdengar rintihan dan tangisan Harsoyo yang sudah tak berdaya lagi,
tergolek lemah di pembaringan. Sontak keduanya berlarian menuju kamar sebelah
dalam. Mereka segera menubruk laki laki setengah baya yang terlihat pucat pasi.
“Peluklah
aku, anaku dan mama. . . jangan kau lakukan lagi…sudah yaa, papa ngggak kuat
lagi…selamat tinggal”. Suara Harsoyo melemah kemudian hilang terselp entah di
mana, diikuti dengus nafas yang terhenti. Tubuh Harsoyopun menjadi terbujur
kaku dan mendingin******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar