Sabtu, 17 November 2012

Pertemuan di Bibir Neraka




Bulan purnama masih mengulurkan tangannya guna memberi kehangatan kepada alam semesta yang dilingkunginya, sementara itu di sebuah padang gersang terdengar dengus nafas beberapa manusia yang duduk saling melingkar. Wajah mereka semua tiada satu bilahpun menyisakan canda tawa. Pertanda sesuatu telah berkecamuk dalam ssnubari masing-masing. 

Dalam keremangan tersebut mereka mencoba untuk menggapai wewangian dalam busuknya puing kehidupan, yang telah mencekam mereka.Kentara dari nanarnya pandang mata mereka, yang berhasrat menembus “tabir keremangan malam”.
           
Sesekali suara lolong anjing melecut bagai pecut berapi yang membelah udara malam menjadi keping-keping misterius bersamaan dengan mantra-mantra kegelapan,yang lepas begitu saja dari mulut yang bersambung dengan jiwa yang kering. Tapi mantra mantra itu berlalu begitu saja, tiada satu sapaanpun lemah gemulai bidadari malam ataupun kunang-kunang yang menelisik ke tengah hati mereka. 

Lantas angin dingin fajarpun bersorak bagai batu yang runtuh, menggugah alam sadar mereka. Malam yang dinginpun kini melintang dan membujur di depan mereka tanpa bisa mengantarkan mereka dalam “menyambut pertemuan mereka dengan di luar batas bumi yang berputar”.

“Mana lagi arah yang akan kutempuh, untuk membawa segumpal anganku, hai istriku”.Samekto mulai menelanjangi dirinya sendiri dengan tatapan yang redup,di depan istrinya.

Istrinyapun masih menggenggam kemisteriusannya terhadap suaminya yang tiada lagi mampu menyatukan nalarnya dengan “episode kehidupan mereka” yang melekang. Satu dua rentetan peluru keluh kesah suaminya, dibiarkan begitu saja, meski peluru peluru itu kadang mampu menghujam hatinya, hingga menebari luka goresan yang dalam. Namun Sawitri segera membungkusnya dengan “air dingin dan sejuk di pagi hari”     

       . Sawitripu tahu bila suaminya memang sedang dihantui iblis pengikat  sukma, sehingga selalu saja memburu kekayaan dengan  jalan melintas alam gurun hitam pekat, yang tak berujung, Semakin suaminya mengayuh perahu angan, semakin jauh batas gurun kepekatan itu..

“Istirahatlah dulu, Mas !. Kan masih ada bulan purnama lagi. Malam yang mampu mengantar Kangmas meraih gunung emas itu!” sesekali Sawitri  mencoba meneduhkan angan suaminya yang terlanjur menebas deru dan debu yang tiada akhir.

“Kau tahu apa, Sawitri !. Kalau aku berhasil menemui penjaga empat penjuru bumi, maka semua keluh kesahmu, akan segera terbungkam. Berganti dengan dandanan kamu yang ayu seperti istri-istri Panjengan Dalem, barulah engkau Sawtri istri Juragan Samekto”.

“Selama aku jadi istrimu, tiada pernah aku lontarkan sebuah keluh kesah. Wajahku ini selalu menggambar kehidupan yang nyata, suamiku !, Aku tidak ingin bersolek dengan harta yang engkau dapatkan dengan menembus kegelapan malam. Aku lebih suka menjadi Sawitri meski Cuma jualan makanan di pasar, dengan penghasilan yang tidak seberapa, tapi itulah hidup,Mas !”

“Sawitri,jangan kamu ajari aku tentang hidup, tahu apa kamu !. Tidak ada salahnya hidup bertabur kemuliaan, entah dari mana asalnya, yang jelas aku tidak mencuri dari siapapun, Toh sudah menjadi suratan takdir, bila sesama yang hidup saling menolong satu sama lainnya. Sudahlah Sawitri !, engkau jangan memprotes, apapun yang akan aku dapatkan semuanya untuk kamu dan anak-anak kita !”.

Rumah tua berasitektur  Jawa dengan dinding terbuat dari kayu jati kini lengang, hanya suara cengjkerik yang terdengar dari kebun sayur sekeliling rumah tua itu. .Nyala  lampu minyakpun kini mulai redup,Rupanya malam benar benar memingit kedua insan yang berdiri saling bersebrangan, Sawitri hanya diam dengan mengelus perasaannya itu, apapun Samekto laki laki sekeras batu karang dari Laut Kidul, adalah suaminya yang terikat dengan benang sakral, beruntai ratna mutumanikam yang sempat membahagiakan hidupnya dengan Samekto.

Kala Samekto masih memiliki penghidupan sebagai anemer bangunan, kala itu Samekto adalah laki-laki yang hadir dalam kanvas lukisan penuh makna. Kehidupan yang
mensiratkan hasrat yang menyatu antara dua anak adam yang berhak mencintai dan dicintai, hingga dari cintanya membuahkan empat putra mereka. Tapi ternyata Sawitripun baru tahu bahwa sudah menjadi hak Sang Maha Pencipta, untuk membawa mereka dalam liku hidup yang berduri dan  berkelok dengan diselingi bibir jurang yang menganga siap untuk melumatkan tubuh dan keempat putranya. Setelah Sawitri bermandikan madu merangkai hidup penuh  bahagia, kini merekapun harus hidup disela gerigi jaman yang tajam.

Samektopun menjerit menemui kenyataan hidupnya, lantaran sawah penghidupanya telah mongering di tengah musim kemarau,  ibarat padang gersang yang hanya dihuni belalang dan cengkerik saja. Samektopun tidak mau bila apa yang pernah dia dapatkan, akan lepas begitu saja. Lantas diapun berusaha membalikan arah berputarnya bumi demi lembalinya secercah kehidupan yang pernah di hirup bersama Sawitri,  sang bunga desa yang tiada satupun pria yang sanggup merobohkan hatinya kala itu.


Roda waktu terus saja menggilas siapa saja yang memiliki asa,  demikian juga purnama di bulan ini telah diambang senja. Samekto tiada terdengar suaranya sejak malam kemarin, hanya sekali sekali terdengar lirih mengharap purnama ini menjadi purnama yang berarti bagi dirinya, Ingin sekali Samekto segera mendandani Sawitri mirip dengan dandanan istri sang tumenggung atau istri sang demang di desanya, dengan dandanan wanita terpandang, bukan Sawitri yang menjual panganan di Pasar Besar Kadipaten Surakarta..

Lingkaran Samekto dan semua pengikutnya telah berkumpul dan menjadi bagian dari purnama yang membelah langit hitam. Sepanjang malam Samekto terus saja melantunkan mantra mantra saktinya, menembus tepi bulan purnama hingga keremangan malam di empat penjuru angin, Mantra yang dimuntahkan semakin bertambah keras, namun tetap saja Samekto kesepian dengan dirinya sendiri. Lantaran tiada satupun yang terpanggilkan
menumpahkan belas kasihan, hingga terdengarlah kokok ayam jantan yang menghadirkan cakrawala fajar.

Semua yang  melingkar kini didera kemasgulan hati, lantaran tiada satupun asa yang membuahkan hasil. Mereka kini menatap Samekto dengan tatapan yang nanar seakan ingin segera menelan Samekto hidup-hidup. Sebagian lagi berlalu mengikuti arah angin fajar yang telah menggigit tulang, hinggi kini tinggal Samekto yang meratapi nasibnya. Lantaran seribu angannya yang terlanjur singgah dihatinya, kini bagaikan serbuk kayu yang beterbangan tertiup angin kegagalan. Rasa sedih yang mendalam sesekali hadir, kala dia melihat di cermin hatinya dandanan Sawitri ketika hendak menghadap gusti ratu, semerbak kembang melati memenuhi rongga hidungnya. 

Senyum madu istri tercintanya dibayangkan akan hadir meruntuhkan pilar langut yang kokoh. Namun dengan terbujur kakunya sang bulan purnama kini semua harapan menjadi surut entah hinggap di mana.

Langkah gontai kini menemani anak manusia yang disarati angan tak menentu, tubuhnya menjadi lemas disertai keringat dingin membasahi kulitnya. Dadanya menjadi sesak dan wajahnya pucat layaknya dilapisi kapas. Kini lemas tubuh dan kesedihan disatukan dengan ranjang tua disebelah Sawitri.

“Mas, kamu tidak apa-apa ?”
‘Nggak tahu, tiba tiba saja tubuhku lemas, aku tidak mendapatkan apa-apa malam ini. Lain kali akan aku sempurnakan mantraku,hingga malam purnama nanti, aku akan menjadi Samekto yang terkaya seperti dahulu”
“Kali ini saja badanmu  tidak kuat, apalagi purnama berikutnya,sadarlah Kangmas
“Sadar, yang bagaimana Sawitri ?”
“Carilah penghidupan kita dengan tidak bediri di bibir neraka”
“Apa maksudmu ?, siapa yang mengajarimu, Kamu jangan sok pintar di depanku”
“Aku istrimu Mas, yang hampir 20 tahun suka duka mendampingimu. Apapun yang terjadi dengan dirimu, akupun ikut mersakan “
“Lantas apa maksudmu aku berdiri di bibir neraka”
“Caramu mencari penghidupan tidak di jalan yang benar, tidak dikehendaki Tuhan yang Kuasa”.
“Tuhan !, apa Dia mendengarkan keluh kesah kita, Sawitri ?”
5
“Pernahkan Mas dengar aku menyanggahmu, tak pernah kan ?. Hanya kali ini saja aku menyanggahmu, demi kehidupan kita Kangmas !”.
 “Ya memang begitu Sawitri,kehidupanku harus sepadan dengan Bekel Sosro Wardoyo, yang tungganganya kini kuda dari negara Belanda atau Ki Demang yang memiliki andong pesanan dari Batavia, yang dipenuhi monel-monel berkilauan.Mereka semua memiliki kerbau dan sapi ratusan, serta sawah yang ratusan hektar. Apa kamu tidak meri istriku ?”.
“Kita masih memiliki beberapa hektar sawah, meski sudah banyak yang terjual. Bisa kita paron dengan petani sekitar kita dan kita bisa mulai dagang kecil-kecilan,yang penting penuh kemuliaan, bukan dengan alam lembut untuk sebongkah emas.Kangmas hanya berangan-angan. Percaya padaku !, Mas Samekto ,aku istrimu!. Semua lelakon urip pernah kita lalui, “
            “Aku tidak bisa Sawitri, Samekto harus mengalahkan para piyayi se Kadipaten Surakarta, mereka yang sombong harus tahu siapa Samekto !”.
            Tubuh Samekto yang sudah tiada memiliki daya, kini berada di pelukan Sawitri. Di dekatkan bibirnya ke telinga Samekto untuk sebuah rayuan yang hangat demi menaklukan batu karang yang semakin mengeras. Dari dalam rongga matanya, kini sorot mata laki-laki itu semakin meredup, semakin pula hilang angannya untuk menggapai kekayaan yang kini hilang. Dia sekarang lebih menghargai makna sebuah cinta dengan Sawitri sang bidadari dari sorga yang mendampinginya selama 20 tahun. Peraduan  di rumah tua itu kini senyap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar