Bulan purnama masih
mengulurkan tangannya guna memberi kehangatan kepada alam semesta yang
dilingkunginya, sementara itu di sebuah padang gersang terdengar dengus nafas
beberapa manusia yang duduk saling melingkar. Wajah mereka semua tiada satu
bilahpun menyisakan canda tawa. Pertanda sesuatu telah berkecamuk dalam
ssnubari masing-masing.
Dalam keremangan tersebut mereka mencoba untuk
menggapai wewangian dalam busuknya puing kehidupan, yang telah mencekam
mereka.Kentara dari nanarnya pandang mata mereka, yang berhasrat menembus
“tabir keremangan malam”.
Sesekali suara lolong
anjing melecut bagai pecut berapi yang membelah udara malam menjadi keping-keping
misterius bersamaan dengan mantra-mantra kegelapan,yang lepas begitu saja dari
mulut yang bersambung dengan jiwa yang kering. Tapi mantra mantra itu berlalu
begitu saja, tiada satu sapaanpun lemah gemulai bidadari malam ataupun
kunang-kunang yang menelisik ke tengah hati mereka.
Lantas angin dingin
fajarpun bersorak bagai batu yang runtuh, menggugah alam sadar mereka. Malam
yang dinginpun kini melintang dan membujur di depan mereka tanpa bisa mengantarkan
mereka dalam “menyambut pertemuan mereka dengan di luar batas bumi yang
berputar”.
“Mana lagi arah yang akan kutempuh,
untuk membawa segumpal anganku, hai istriku”.Samekto mulai menelanjangi dirinya
sendiri dengan tatapan yang redup,di depan istrinya.
Istrinyapun masih
menggenggam kemisteriusannya terhadap suaminya yang tiada lagi mampu menyatukan
nalarnya dengan “episode kehidupan mereka” yang melekang. Satu dua rentetan
peluru keluh kesah suaminya, dibiarkan begitu saja, meski peluru peluru itu
kadang mampu menghujam hatinya, hingga menebari luka goresan yang dalam. Namun
Sawitri segera membungkusnya dengan “air dingin dan sejuk di pagi hari”
. Sawitripu tahu bila suaminya
memang sedang dihantui iblis pengikat
sukma, sehingga selalu saja memburu kekayaan dengan jalan melintas alam gurun hitam pekat, yang
tak berujung, Semakin suaminya mengayuh perahu angan, semakin jauh batas gurun
kepekatan itu..
“Istirahatlah dulu, Mas !.
Kan masih ada bulan purnama lagi. Malam yang mampu mengantar Kangmas meraih
gunung emas itu!” sesekali Sawitri
mencoba meneduhkan angan suaminya yang terlanjur menebas deru dan debu
yang tiada akhir.
“Kau tahu apa, Sawitri !.
Kalau aku berhasil menemui penjaga empat penjuru bumi, maka semua keluh
kesahmu, akan segera terbungkam. Berganti dengan dandanan kamu yang ayu seperti
istri-istri Panjengan Dalem,
barulah engkau Sawtri istri Juragan Samekto”.
“Selama aku jadi istrimu,
tiada pernah aku lontarkan sebuah keluh kesah. Wajahku ini selalu menggambar
kehidupan yang nyata, suamiku !, Aku tidak ingin bersolek dengan harta yang
engkau dapatkan dengan menembus kegelapan malam. Aku lebih suka menjadi Sawitri
meski Cuma jualan makanan di pasar, dengan penghasilan yang tidak seberapa,
tapi itulah hidup,Mas !”
“Sawitri,jangan kamu ajari
aku tentang hidup, tahu apa kamu !. Tidak ada salahnya hidup bertabur
kemuliaan, entah dari mana asalnya, yang jelas aku tidak mencuri dari siapapun,
Toh sudah menjadi suratan takdir, bila sesama yang hidup saling menolong satu
sama lainnya. Sudahlah Sawitri !, engkau jangan memprotes, apapun yang akan aku
dapatkan semuanya untuk kamu dan anak-anak kita !”.
Rumah tua berasitektur Jawa dengan dinding terbuat dari kayu jati
kini lengang, hanya suara cengjkerik yang terdengar dari kebun sayur sekeliling
rumah tua itu. .Nyala lampu minyakpun
kini mulai redup,Rupanya malam benar benar memingit kedua insan yang berdiri saling
bersebrangan, Sawitri hanya diam dengan mengelus perasaannya itu, apapun
Samekto laki laki sekeras batu karang dari Laut Kidul, adalah suaminya yang
terikat dengan benang sakral, beruntai ratna mutumanikam yang sempat
membahagiakan hidupnya dengan Samekto.
Kala Samekto masih memiliki
penghidupan sebagai anemer bangunan, kala itu Samekto adalah laki-laki yang
hadir dalam kanvas lukisan penuh makna. Kehidupan yang
mensiratkan hasrat yang
menyatu antara dua anak adam yang berhak mencintai dan dicintai, hingga dari
cintanya membuahkan empat putra mereka. Tapi ternyata Sawitripun baru tahu
bahwa sudah menjadi hak Sang Maha Pencipta, untuk membawa mereka dalam liku
hidup yang berduri dan berkelok dengan
diselingi bibir jurang yang menganga siap untuk melumatkan tubuh dan keempat
putranya. Setelah Sawitri bermandikan madu merangkai hidup penuh bahagia, kini merekapun harus hidup disela
gerigi jaman yang tajam.
Samektopun menjerit menemui
kenyataan hidupnya, lantaran sawah penghidupanya telah mongering di tengah
musim kemarau, ibarat padang gersang
yang hanya dihuni belalang dan cengkerik saja. Samektopun tidak mau bila apa
yang pernah dia dapatkan, akan lepas begitu saja. Lantas diapun berusaha
membalikan arah berputarnya bumi demi lembalinya secercah kehidupan yang pernah
di hirup bersama Sawitri, sang bunga
desa yang tiada satupun pria yang sanggup merobohkan hatinya kala itu.
Roda waktu terus saja
menggilas siapa saja yang memiliki asa,
demikian juga purnama di bulan ini telah diambang senja. Samekto tiada
terdengar suaranya sejak malam kemarin, hanya sekali sekali terdengar lirih
mengharap purnama ini menjadi purnama yang berarti bagi dirinya, Ingin sekali
Samekto segera mendandani Sawitri mirip dengan dandanan istri sang tumenggung
atau istri sang demang di desanya, dengan dandanan wanita terpandang, bukan
Sawitri yang menjual panganan di Pasar Besar Kadipaten Surakarta..
Lingkaran Samekto dan semua
pengikutnya telah berkumpul dan menjadi bagian dari purnama yang membelah
langit hitam. Sepanjang malam Samekto terus saja melantunkan mantra mantra
saktinya, menembus tepi bulan purnama hingga keremangan malam di empat penjuru angin,
Mantra yang dimuntahkan semakin bertambah keras, namun tetap saja Samekto
kesepian dengan dirinya sendiri. Lantaran tiada satupun yang terpanggilkan
menumpahkan belas kasihan,
hingga terdengarlah kokok ayam jantan yang menghadirkan cakrawala fajar.
Semua yang melingkar kini didera kemasgulan hati,
lantaran tiada satupun asa yang membuahkan hasil. Mereka kini menatap Samekto
dengan tatapan yang nanar seakan ingin segera menelan Samekto hidup-hidup.
Sebagian lagi berlalu mengikuti arah angin fajar yang telah menggigit tulang,
hinggi kini tinggal Samekto yang meratapi nasibnya. Lantaran seribu angannya
yang terlanjur singgah dihatinya, kini bagaikan serbuk kayu yang beterbangan
tertiup angin kegagalan. Rasa sedih yang mendalam sesekali hadir, kala dia
melihat di cermin hatinya dandanan Sawitri ketika hendak menghadap gusti ratu,
semerbak kembang melati memenuhi rongga hidungnya.
Senyum madu istri
tercintanya dibayangkan akan hadir meruntuhkan pilar langut yang kokoh. Namun
dengan terbujur kakunya sang bulan purnama kini semua harapan menjadi surut
entah hinggap di mana.
Langkah gontai kini
menemani anak manusia yang disarati angan tak menentu, tubuhnya menjadi lemas
disertai keringat dingin membasahi kulitnya. Dadanya menjadi sesak dan wajahnya
pucat layaknya dilapisi kapas. Kini lemas tubuh dan kesedihan disatukan dengan
ranjang tua disebelah Sawitri.
“Mas, kamu tidak
apa-apa ?”
‘Nggak tahu, tiba
tiba saja tubuhku lemas, aku tidak mendapatkan apa-apa malam ini. Lain kali
akan aku sempurnakan mantraku,hingga malam purnama nanti, aku akan menjadi
Samekto yang terkaya seperti dahulu”
“Kali ini saja
badanmu tidak kuat, apalagi purnama
berikutnya,sadarlah Kangmas
“Sadar, yang
bagaimana Sawitri ?”
“Carilah
penghidupan kita dengan tidak bediri di bibir neraka”
“Apa maksudmu ?,
siapa yang mengajarimu, Kamu jangan sok pintar di depanku”
“Aku istrimu Mas,
yang hampir 20 tahun suka duka mendampingimu. Apapun yang terjadi dengan
dirimu, akupun ikut mersakan “
“Lantas apa
maksudmu aku berdiri di bibir neraka”
“Caramu mencari
penghidupan tidak di jalan yang benar, tidak dikehendaki Tuhan yang Kuasa”.
“Tuhan !, apa Dia
mendengarkan keluh kesah kita, Sawitri ?”
5
“Pernahkan Mas
dengar aku menyanggahmu, tak pernah kan ?. Hanya kali ini saja aku
menyanggahmu, demi kehidupan kita Kangmas !”.
“Ya memang begitu Sawitri,kehidupanku harus
sepadan dengan Bekel Sosro Wardoyo, yang tungganganya kini kuda dari negara
Belanda atau Ki Demang yang memiliki andong pesanan dari Batavia, yang dipenuhi
monel-monel berkilauan.Mereka semua memiliki kerbau dan sapi ratusan, serta
sawah yang ratusan hektar. Apa kamu tidak meri istriku ?”.
“Kita masih
memiliki beberapa hektar sawah, meski sudah banyak yang terjual. Bisa kita
paron dengan petani sekitar kita dan kita bisa mulai dagang kecil-kecilan,yang
penting penuh kemuliaan, bukan dengan alam lembut untuk sebongkah emas.Kangmas
hanya berangan-angan. Percaya padaku !, Mas Samekto ,aku istrimu!. Semua lelakon urip pernah kita lalui, “
“Aku
tidak bisa Sawitri, Samekto harus mengalahkan para piyayi se Kadipaten Surakarta, mereka yang sombong harus tahu
siapa Samekto !”.
Tubuh Samekto yang sudah tiada
memiliki daya, kini berada di pelukan Sawitri. Di dekatkan bibirnya ke telinga
Samekto untuk sebuah rayuan yang hangat demi menaklukan batu karang yang
semakin mengeras. Dari dalam rongga matanya, kini sorot mata laki-laki itu
semakin meredup, semakin pula hilang angannya untuk menggapai kekayaan yang
kini hilang. Dia sekarang lebih menghargai makna sebuah cinta dengan Sawitri
sang bidadari dari sorga yang mendampinginya selama 20 tahun. Peraduan di rumah tua itu kini senyap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar