Dalam jambangan berlapis emas,
Semua bunga tergelar di petak taman bunga berlantai
“perlente”
Bunga Tulip, melonggarkan “stelan
ketatnya” agar tak tertikam
basahnya embun tropis, Bunga Sakura menyeringai girang
karena telah mendinginya cincin api,
sementara Bunga Levender menutup kencang
kelopaknya
agar tidak tertusuk nyamuk nyamuk bugil
penghias jaman
“Bunga Ilalang” hanya mengkituti Angin
Tenggara,
Dari titik kulminasi atmosfer, sang
bunga yang ringan tanpa daya
Menundukan wajahnya agar lebih kentara
menyaksikan
perhelatan di tengah taman bunga….seribu
warna.
Sang bunga ilalang berniat menggemakan
gamelan jawa
Agar perhelatan bertambah serempak dan
“berornament pluralisme”
Namun panas mentari menyengatnya dan
menghardik sehingga
sang bunga ilalangpun meluruh dalam
nafas sesak dan dada terguncang
Dalam lakon yang memainkan beribu pucuk
bunga-bunga keramat
Mahamerupun tiada pernah memberikan sepotong angin,
Agar Ilalang, Kamboja dan Sedap Malam
mampu berias
layaknya penari “Tari Bali”, yang tiada penah kehabisan nafas.
Namun tepian langitpun menepisnya
Mengapa mereka memenuhi taman bunga, disaat
“Sang Anak Krakatau”
telah kesepian dan menutup jendela
langit dengan tirai
hitam kelam……
Disaat sawah-sawah negeri bertumbuh
perdu bergerigi
Dan kali yang melintanginya telah
berwarna hitam airnya.
Jangan ada lagi langkah galau, ilalangku
!
Nantikan tergelarnya tirai sepanjang
pantai mutumanikam
Yang berkain beludru lembut berwarna
biru muda
Tempat yang ramah agar kau mampu
merebahkan punggungmu
yang sakit di lemparkan oleh aspal-aspal
jalan yang berlobang.
Biarlah Sang Dewa bersemayam di
“Indrakila”
Biarkan sang empu taman bunga berlapis
emas, menengadah wajah
Dan terus tertawa, karena angin senja
telah menawanya dalam kubangan
Jaman, yang berangin semilir dan sejuk.
Kita hanya mampu memincingkan mata
Agar lengan lengan kita terus bertambah
tangguh
Untuk menghimpun, tarian jaman yang
tercecer.
Kita bersatu dalam tautan akar meski
lemah, tapi
Akan mampu menahan Angin Tenggara dalam
keranjang bambu
Milik kita sendiri,…..
(Semarang, 28 Nopember 2011).
Anggrek Bulan di Pantai Biru
Kini jalan panjang di depan, adalah
milikmu, Sang Angger Bulan
Jangan kau lupakan jalan yang menauti
“Jembatan Ampera”
Di sana telah tertinggal batu hitam
untuk menoreh sejarah
Basuhlah dengan embun dini hari
Agar mampu menyungging senyum cerah
Bukankah sebuah buku harian yang harus
kau tutup rapat
Dengan bingkai keagungan “Samudra Pasai”
hingga “Majapahit”
Namun kini tertutup mendung tebal….
Karena debu debu jalan, yang merebak
memenuhi angkasa
Dan tergerus meradangnya nafas binal
Dari penghuni yang nanar matanya
Entah kapan kawanan burung yang lunglai
sayapnya
Mengabarkan adanya pantai biru
Yang dihiasai nyiur melambai dan bakau
yang tersenyum pilu
Untuk sebuah rumah bambu,
Agar semua bunga bisa mencengkeramkan
akarnya
(Semarang, 28 Nopember 2011).
Senyum
Mengapa kanvas lukisan hanya menampakan
gurat warna
Yang hambar, pucat dan mengurungkan
sebuah eksotis
Apakah gambaran alam telah menepikan
sinar mentari
Ataukah memang jalan panjang telah
terkubur,
dalam …ganasnya alam yang berpaling
muka.
Karena bernyali ciut pada pekikan dan
hardikan
Angin-angin gila dan putting beliung
menyeret
Padi padi yang berjejer rapi di sawah,
Hanya seutas senyum cukuplah
Penawar dahaga untuk bidadari penghuni
“Swargaloka”
(Semarang, 28 Nopember 2011).
Kini Tinggal Bunga Bunga Semi
Semerbak wewangi bunga di taman telah
terbawa nafsu angin kembara,
Dalam saku saku baju, mereka mengerti
hidup
di batas itulah. Sorot matahari yang
melegam
telah dijadikan musuh.
Jagalah diantara batas itu,
Untuk bunga yang muda perkasa
Agar mereka tidak saling beradu
berseteru benci
(Semarang, 28 Nopember 2011).