Kita tidak mampu membayangkan lagi berapa
korban jiwa, harta dan air mata guna eksistensi Merah Putih di Bumi Pertiwi
ini, sejak menjadi salah satu simbol kenegaraan kita. Kegagahannya masih
tertoreh di sejarah berlangsungnya kehidupan bangsa ini. Namun kejernihan warna
putihnya telah dilusuhi segenap anak bangsa yang telah kehilangan moralitasnya.
Yang lebih memprihatinkan tentang realitas ini, adalah
hilangnya moralitas pada oknum pejabat/ pemimpin/tokoh nasional
yang telah membumikan
budaya malu yang seharusnya justru dikedepankan. Padahal modal moralitas malu tersebut, sebenarnya suatu instrument
yang mampu dijadikan senjata tajam demi membela nasib
si kecil yang sedang terhimpit hidupnya. Padahal performan moralitas ini telah berlangsung
hampir setengah abad. Salah satu indikator sosial yang mampu dijadikan potret sosial terhadap distorsi nilai
luhur bangsa kita seperti di atas, adalah realitas tendensius adanya perilaku
anarkis dari masyarakat, bila mereka harus membela kebutuhan hak hajat hidup
mereka yang dilakukan dengan cara anarkis, entah itu upaya
penuntutan hak mereka yang telah diambil paksaoleh pihak tertentu atau bila mereka merasa terbebani dengan adanya kebijakan pemerintah yang
kontroversi, misalnya kenaikan BBM pada beberapa bulan silam.
- Korupsi
Hampir di setiap lini kehidupan anak bangsa ini
selalu direbaki korupsi, yang terbentang
dari orde ke orde, rezim ke rezim pemerintahan. Hingga dari mulai Gayus hingga
Angelina Sondakh dan oknum petinggi Partai Demokrat lainnya. Nampaknya korupsi
adalah way of life anak bangsa, yang justru bermentalitas mengedepankan
kekayaan pribadinya ketimbang mewujudkan amanha rakyat kecil yang berada di
pundaknya. Ataukah amanah ini telah tidak lagi menjadi tugas utama seorang petinggi
yang dipilih rakyat, yang hanya dijadikan sebuah “lagu kuno” yang tidak up
to date lagi. Tebukti selama ini perilaku korupsi menjadi perilaku yang
menjadi trade mark para oknum petinggi.
Wacana demi wacana mampu kita peroleh dari multi media tentang korupsi
hampir tiap hari, rating berta inipun telah menurun dibandingkan dengan laporan
telisik kehidupan selebritis. Hal ini dikarenakan kita sudah bosan mendengar
tentang tindakan korupsi ini. Namun hingga kini suatu langkah yang stategis dan
ambisius untuk menepisnya tidak tampak sama sekali. Karena memberangus suatu
distorsi nilai luhur yang sudah membudaya, tidak cukup hanya dari aspek yuridis
saja. Tetap harus mengikis benih korupsi yang telah bergayut di akar hidup
secara kokoh, sehingga penanganan korupsi inipun harus mampu memberlangsungkan
tindakan dari upaya penjernihan akar
akar hidup bangsa kita, dengan merekonstruksikan nial nilai luhur yang
telah terkubur jauh di dalam bumi kita.
Bukan hanya diera reformasi sekarang saja pendoliman uang negara semacam ini berlangsung, Tetapi sudah sejak jaman Orde Lama Tahun 1951 – 1956, wartawan Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. mengendus sebuah tindak korupsi yang
dilakukan Ruslan Abdulgani (Menteri Luar Negeri era PM Ali Sastroamidjojo). Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan sebuah koran yang
mengeksposenya kemudian di bredel. Pendoliman
yang dilakukan sang menlu itu, adalah berdasarkan pengakuan Lie
Hok Thay yang memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, untuk mendapatkan tender ongkos cetak kartu suara pemilu. Kasus tersebut
disemat sebagai Kasus14 Agustus 1956.
Tindak pidana korupsipun tak luput dilakukan oleh negarawan
besar pendiri Orde Baru. Kita akui
bersama bahwa kala itu Soeharto berhasil melakukan perubahan besar pada
beberapa sektor, seperti pendidikan, keluarga berencana, kesehatan ,
keamanan dan stabilitas politik, keutuhan wilayah Indonesia.
Selama negarawan yang piawai ini menanamkan rezimnya terdapatnya
kebocoran anggaran negara sebesar 30 % , sebagai akibat budaya korupsi
yang diidap oknum mpejabat negara dari bawah hingga pusat,
menyebabkan kian terperosoknya Indonesia dalam badai krisis dan Soehartolah
yang pertama kali dituding sebagai penyebab kehancuran ekonomi
Indonesia.. Sehingga pada Tahun 1977 terjadilah gelombang demo
besar – besaran yang menuntut pengunduran diri Soeharto. Termasuk
tuntutat Soeharto atas tuduhan korupsi selama 30 tahun, melalui yayasan –
yayasan yang didirikan keluarga Soeharto.
Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas
setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta
dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang
pernah dibentuk Kejaksaan Agung,
sejak tahun 1999. Menurut Transparency
International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak
dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 15–35 miliar
dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya.
- Jangan Menengok ke Belakang
Demikian mudah dan enjoynya para koruptor di negeri ini terus saja
membahana di persada ini. Mereka sama sekal tidak terbebani dengan berbagai
dimensi nilai norma. Hal ini diharapkan
mampu menyadarkan kita bersama bahwa internalisasi sikap anti korupsi atau
menganggap korupsi adalah perilaku berdosa kepada Tuhan yang Maha Kuasa atau
dosa terhadap nilai luhur telah gagal. Karena secara dini kita telah gagal
melengkapkan pada hati nurani mereka.
Sudah sepantasnya dan seharusnya kita bersama mengambil langkah
sigap, taktis, transparans dan penuh dengan supremasi hukum untuk memberangus
korupsi, bukan dengan meratifikasi regulasi yang baru tentang anti korupsi.
Tetapi kita perlu menstimultankan pembentukan karakter anti korupsi sejak dini,
dengan mengoptimalkan fungsi edukasi yang mampu berakibat timbulnya perasaana
anti korupsi sejak anak anak kita duduk di bangku sekolah dasar hingga sekolah
lanjutan atau hingga perguruan tinggi ***
SemarMoncer, Tegal, 25 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar