Rabu, 30 Mei 2012

sebuah negeri hujan


Awalnya hanya senyum ranum....sekumpulan beluntas
yang memagari sebuah ladang bertanam pengharapan, sebuah bunga
berkelopak “merah segar” meminang hari dari sekumpulan
Pinisi, biduk dan sampan dalam rajutan pelangi
di timur sang katulistiwa ,
menyusun prosa dari “antah berantah hingga Majapahit”.
Mereka menyebutnya seikat ilalang
Dalam sauh yang jauh menembus dalamnya bumi
Untuk berlabuh “Dalam Pekik Bumi Merdeka”.

Jangan bicarakan Jiran “sang kokok ayam jantan berkeling mata”
Dengan bulu berderu debu, mengusung atmosfer pekat durjana
Meski kita berkalang pagar bambu, dengan bertepi Melati harum mewangi
Namun episoda “Negri Hujan” bergincu angin lembut
Selembut perawan desa, berselingkuh padi menguning.
Damai dan tentram, bersama sarapan pagi “Nasi yang bersorot Mesra”.

Kita tak memiliki lagi “Anjing NICA”  berlidah menjulur
Menggeleparkan ilalang dengan mata-mata kosong

Kita tak dekat lagi dengan “Beruang Merah” meradangkan bara
Kita hanya menyusun serumpun pandan wangi
Bertangkai lurus ke atas menuju jendela langit.
Dalam hujan setahun, mengalirkan gemercik air pancuran
Untuk membasuh jiwa, bergurat fajar bersama sang mentari
Yang mengurai rambut suteranya.

Dalam hujan, basahi kita dalam damai

(Semarang, 5 Januari 2012 )

Galau  Sang  Guru 
Aku  dinginkan semua peluh tubuhku,
Meski hidup ini bukan miliku sendiri, akulah  sang pemburu,
tiap jengkall waktu..untuk merebah
dalam buaian halus menyelorohkan suka,
namun sepi,…..diterkam sang haus telaga tinta,

Akulah yang beruntung,
tak pernah hirau badai, prahara apalagi beliung
memincingkan mata untuk gerigi tajam sang jaman
untuk merobek dan menerjang atmosfer angan…..

Jangan pernah menakar tepi dan luasnya jaman ! ”
 Masih basah lidah emak di telingaku, kala di kampung
memberikan goresan prosa  dan “pitutur”  indah.
Seindah tidur sang permaisuri raja,
dalam  ayunan dan meliuknya benang globalisasi.

Tajamnya mantra dan sihir hidup dan kehidupan
Menawarkan ketidakpastian  dan menghimpit tulang iga
Akupun lelap  dalam semai  “Mawar Bunga” ditiup,
angin lembut, menerbangkan benih ilalang tak tentu arah
Aku hanya berkaca pada senja,
Kala daun-daun palma berhenti mengatur nafas
Tak ada lagi, angin pagi  yang menyambangi.

Aku tak pernah terpelanting dalam magnet hidup
Yang mengosongkan debar jantung,
dari daun daun kering meranggas, mereka hanya
mampu berteriak menghardik ganasnya matahari
mereka tak memiliki lagi bahu- bahu legam
hanya lumpur hitam membenamkan
dalam dan galau…lahir pada rona wajah.

Pernahkah ada yang peduli ?.
Bila nyanyian jiwa telah parau, senyaring burung hantu
bercengkerama di tengah gersangnya padang.
Akulah yang hadir dengan sekerat dada yang lapang
Biarlah basah tubuhku karena peluh

Kucoba menepis “Panggung Hiburan Ronggeng”
yang dihinggari “Sinden Kuntilanak dan Banaspati”

Apakah masih ada lagi nyanyian jaman ?
yang  mampu   manja sendu dalam rindu
sang mempelai wanita menantikan pria pujaan
ataukah tepian telaga telah menyatu dengan “Wedus Gembel”
yang tajam dan mewarnai kehidupan
dengan kedurjanaan.

Akulah sang guru,
Dalam remang “padang dolanan”
Akulah anak desa yang menepi …. (Tegal, 7 Desember 2011).




Di batas kota
Aku yang kau lempar...di sudut kota
Medadak tak bernyali
Seribu belati menikamku, mencerai...
Hingga kuraut sendiri
Tajamnya hari pengganti,
Yang kau cibirkan

Masih kokohkah lembut sang mega
Menjadi pengganti wajahmu
Biarkan aku terpingit...
Berselingkuh dengan diriku sendiri

Biar aku eratkan, mega bersusun
Menuju langit,  menanti terbukanya
Jendela cakrawala,
Akan aku pungut batas kota
Kusedu dalam aroma teh hangat
Secawan kita berdua

(Tegal, 3 Januari 2012).

 Bila Harus
Bila kita harus memandang, pandanglah....
Hingga sepotong buku harian, bisa  engkau genapi
Mumpung rembulan masih mau menyisir rambutnya
Dalam salam canda dengan sang mentari
Untuk apa kita bersuara lantang,
Jika hanya belalang yang hanya bisa menelanya
Dengan lidah yang sependek tenggorokanya.

Nyanyian merdu setiap bulir kembang Anggrek Bulan
Terasa parau,  bila  telah tersumbat genderang telinga kita
Jangan lupa kerikil tajam, yang menyayat luka
Lantas kau sertakan bukit kokoh dalam bilah hatimu
Tanpa suara ucapan selamat, pada senja

Aku bawa engkau untuk menyelinap
Dalam kawanan perdu yang bernyanyi ceria
Sehingga mereka membagi kasih
Sebuah sikap santun, melonggarkan nadimu

Tentang negeri hujan yang kau pandangi
Aku bawakan segumpal awan pembawa hujan
Dari batas yang tak mampu kita pandang
Hingga langit, berdentang dengan cahayanya
Sudahkah kau bicarakan dengan alam,
Sayap-sayapmalaikatpun akan membawakan

Janganlah iri dan dengki
Sunyilah dalam malam berbintang

(Tegal, 5 Januari 2012).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar