Meski hidup ini bukan miliku
sendiri, akulah sang pemburu,
tiap jengkall waktu..untuk
merebah
dalam buaian halus menyelorohkan
suka,
namun sepi,…..diterkam sang haus
telaga bermata juling,
Akulah yang beruntung,
tak pernah hirau badai, prahara
apalagi beliung
memincingkan mata untuk gerigi
tajam sang jaman
untuk merobek dan menerjang
atmosfer angan…..
“Jangan pernah menakar tepi dan
luasnya jaman ! ”
Masih basah lidah emak di telingaku, kala di kampung
memberikan goresan prosa dan “pitutur”
indah.
Seindah tidur sang permaisuri
raja,
dalam ayunan dan meliuknya benang globalisasi.
Tajamnya mantra dan sihir hidup
dan kehidupan
Menawarkan ketidakpastian dan menghimpit tulang iga
Akupun lelap dalam semai
“Mawar Bunga” ditiup,
angin lembut, menerbangkan benih
ilalang tak tentu arah
Aku hanya berkaca pada senja,
Kala daun-daun palma berhenti
mengatur nafas
Tak ada lagi, angin pagi yang menyambangi.
Aku tak pernah terpelanting
dalam magnet hidup
Yang mengosongkan debar jantung,
dari daun daun kering meranggas,
mereka hanya
mampu berteriak menghardik
ganasnya matahari
mereka tak memiliki lagi bahu-
bahu legam
hanya lumpur hitam membenamkan
dalam dan galau…lahir pada rona
wajah.
Pernahkah ada yang peduli ?.
Bila nyanyian jiwa telah parau,
senyaring burung hantu
bercengkerama di tengah
gersangnya padang.
Akulah yang hadir dengan sekerat
dada yang lapang
Biarlah basah tubuhku karena
peluh
Kucoba menepis “Panggung Hiburan
Ronggeng”
yang dihinggari “Sinden
Kuntilanak dan Banaspati”
Apakah masih ada lagi nyanyian
jaman ?
yang mampu manja sendu dalam rindu
sang mempelai wanita menantikan
pria pujaan
ataukah tepian telaga telah
menyatu dengan “Wedus Gembel”
yang tajam dan mewarnai
kehidupan
dengan kedurjanaan.
Akulah sang guru,
Dalam remang “padang dolanan”
Akulah anak desa yang menepi ….
(Tegal, 7 Desember 2011).
Mendung di Langit
Kala disodori
bunga warna-warni
Beralas nampan berenda bunga
emas
Langit hitam pekat menepisnya,
menghardik
dan mencoba membius “gelora”
anak jaman
yang terpingit dalam tirai kelam
beraroma kebusukan jiwa
Ke mana lagi mereka akan
merebah,
Sorot lampu jalanan menyilaukan
mata
dan kerikil tajam tempat mengadu
sang keluh
telah menggigit kulit kaki
telanjang
haruskah mereka ganti dengan
kepalan tangan….(Semarang, 7 Desember 2011).
Bangkit
Sebuah teriakan panjang, dari
punggung Mahameru
bergema suara “bisa”.
memantul ke semua hunian perdu
dan belukar
Kebon sayur sementara menurunkan
kelopak dan tangkainya,
menyambangi
huma dan belalang untuk
menyambutnya
Kita “Bisa”……. ….(Tegal, 7
Desember 2011).
Tidur Panjang
Mengapa mesti sebuah tidur
panjang,
Bila lentik
sinar matahari menyelinap
Pada retakan
dinding papan rumah kita
Tubuh inipun
akan tersengat,
oleh roda-
roda lapar dan geram menerjang
menelan hidup kita, ….(Tegal,
7 Desember 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar