Rabu, 30 Mei 2012

Tuhanku



Tuhanku, ….
bila aku tak mengenal hariku lagi
terbawa sudah buih ombak di jinjinganku

kulempar sudah jauh, hingga “Edelweis” berhasrat layu
untuk menjenguk kekasihnya, di kerontang padang
tempat  “Bunga Sepatu” melengking teriak
seikat duka menghujamkan kelopaknya

Tuhanku,….
di telaga ini, aku mengalirkan air  sejuk
agar tersingkap tirai yang terajut tajam
bertepi  sembilu jauh mengatur nafas jantungku
aku terhenyak dalam roman kelam di putan bumi
hingga siang dan malam kehilangan batasnya
hingga fajar dan senja hanya berkeling mata

Tuhanku,…..
Aku sendiri harus mengarungi malam,
Agar mampu mengokohkan pagar bambu  rumahku
Tak lagi lembab lantai tanah bilik tidurku
Hingga kelambu peraduanku tak lagi kusam
Untuk mengais sorot mataku jauh ke tebing
Di halaman depan,  tempat ilalang membasuh
kuning sinar mentari

Tuhanku,…..
Aku hanya sebungkus tulang dan daging
Tidak pernah lekat dengan “Humberger “ atau “Pisa”
Kerbau di sawahku adalah “Lamborgini”  tempat Sang Bintang
berbantal keranjang ratusan ribu uang,
aku hanya akrab dengan angin gunung bersyahwat
dengan bulir padi di sawah
aku hanya menjaring musim untuk ayahku yang
melepuh kulitnya, karena memburu  arah musim

Tuhanku,….
Berilah aku setangkai bunga sejuk, agar mampu
kutanam di hati emak yang mengeriput kulit wajahnya
berilah aku juga setangkai mawar merah jambu
agar belahan cintaku tak lagi memburu rajutan pelangi
dengan seribu warna di mahkotanya, akupun telah nanar
mataku sendiri,


Tuhanku, ….
kuatkan kaki dan tangan kasihku
Agar dia mampu berjaga di terik mentari,
Bersolek palawija, mentimun dan sayuran
Dan mengukir mimpi di malam hari,
Kasihku….
Aku bukan sekerat Humberger
Atau Pisa di atas liuk sang jaman

(Tegal, 15 Januari 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar