Langit telah
membuka jendelanya, sehingga turunlah beribu berkas sinar kesyahduan diantara
yang terindah selama 30 hari. Tanpa ada keraguan lagi, sinar-sinar itupun meliuk
bagai kepala naga yang hendak mencari mangsanya. Walau mereka hanya berniat membawa
sekeping berita kemenangan untuk diberikan kepada manusia yang berjejer dan
berhias dengan kesungguhan, di balik Mahameru dengan menggambar warna langit
yang biru-terharu.
Diantara
gerimis wewangian bunga itu, sebentar-sebentar terdengarlah, lengkingan sejuta jubah
hitam yang membelit bahu manusia, untuk meradang membiramakan nada-nada yang
telah disunting dari balik kaki langit
“Akulah sinar
putih dari beranda langit”
“Enyahlah,engkau
sinar-penjaja ketidak- tahuan. Biarkan malam ini aku sepelaminan dengan manusia
untuk mencicipi manisnya madu. Lantaran banyak manusia yang dahaga”. .Protes
durjana bermuka hitam kelam. Nampak dari kedua matanya, tersorot bola api, yang
mampu menembus kedalaman sebuah samudra.
“Biarlah
sesukamu engkau membentang sayap, biarlah sesukamu menebar angin kembara.
Sehingga mampu meniupkan manusia dalam penjelajahan tiada akhir. Aku tak
berminat sedikitpun berseloroh denganmu ”
“Lantas mampukah
engkau menerbangkan manusia dengan sejuta sayapmu, menuju pelabuhan yang berhias kenikmatan dan kesyahduan.dimana
manusia mampu menyandarkan angan, merebahkan badanya sambil menikmati tembang Asmarandhana,
layaknya mempelai menikmati malam pertama penuh sendau-gurau”
“Enyahlah kau
dari dekatku, kembalilah ke asalmu bersama bangunan istanamu, yang lama kau
tinggalkan. Tiada sedikitpun kau punya hak untuk melarangku. Aku hanya mau
menyunting kekasihku yang bersemayam di tiap akhir malam untuk membasahi
lidahnya, mereka yang dari kedua tanganya mampu memancarkan air gunung, mereka
yang setiap malam menggambarkan kanvas dengan garis penuh warna, enyahlah kau
jauh-jauh !!!”...
Berdesirlah
angin malam yang kuat saat itu, angin yang mengikat takbir, tahlil dan takhmid
dalam satu ikatan. Lantas ujung-ujung ikatan segera saja memelantingkan “dahaga
di ujung jiwa”, bagi tiap manusia yang tiada pernah lagi hirau akan episode ego,maka
biar saja baju-baju mereka berenda sulaman dengan benag surga.
Sesampainya
mereka di hadapan wajah wajah yang tunduk di tengah gema takbir, sinar sinar
putih itupun merebahkan diri di lantai
bumi.Seketika itu bumipun bergetar, dan segera bumipun dengan dandanan yang
telah pongah egera mengikuti sinar putih tersebut dalam mendekam makna.
“Hai bumi
mengapa engkau kini berdandam penuh kepongaha, warna bajumu telah luntur,
sementara wajahmu kini di berhias belatung belatung kebusukan yang menjijikan.
Tiada kau lupa bahwa engka dikandung alam semesta selama enam peraduan, dan
engkau tempat manusia bergelantung menghirup segar nafasmu. Dari tubuhmu itulah
manusia menggenapkan manka hidup, maka janganlah kamu lupakan malam ini. Malam
yang berisi kesegaran untuki jiwamu yang renta”
“Benar sekali
apa yang kau katakan, maka biarkan saja aku melengking menerbangkan syahwat
durjanaku agar manusia terpelanting dari tepiku, dan berkelana entah ke mana. Akupun muak dengan tabiatnya
yang angkuh”.
“Sejak kapan
kamu bisa bersikap keblinger seperti itu. Engkau adalah biduk nabi Nuh, ketika
biduknya yang dulu kandas di puncak Himalaya. Memang engkau telah membawa beban
muatan yang terpilih, dan lagi mereka
memiliki raut wajah yang beraneka-ragam. Hingga nanti saat kabut batas
tersingkap, engkaupun akan melihat mereka dalam lakon hidupnya masing-masing”.
Sejenak
keduanya terpagut dalam kesyahduan malam takbir penuh kunang-kunang, malam itu
bertepi setiap kalbu yang telanjang dengan hanya hiasan Tawadhu, malam yang
menderangi jalan temaram karena RidhoNYA.
Sesekali
terdapat juga manusia yang berkulit muka
tebal, dengan pandangan mata lurus ke depan dan terkadang tengadah untuk menepis
pasrah dan menyelipkan angkuh, wajah yang selalu menjinjing senyum kedurjanaan.
Mereka menyimpan nafsu keduniawian dalam perutnya yang membusung, dada mereka
kinipun disodorkan pada roda jaman gengan membusung, tanpa mengindahkan
kehalusan untuk orang lain.
“Hai..manusia
mengapa engkau demikian”, Tanya sebiuah wujud dari sudut hati mereka, saat
mereka melepas lelah dari letih yang mencekam.
“Lantas aku
harus berbuat apa lagi..?”
“Apa kamu
tidak pernah menggunakan hatimu untuk menggambarkan akan semua yang
melingkungimu dan ada apa di balik itu ?”
“Perjalanan
ini sungguh meletihkan.Mana sempat aku berikan sebagian dari tubuhku, untuk
mengintip sesuatu dari balik ini semua. Bukankah aku sudah memiliki jalanku
sendiri untuk mencapai tujuan. Tujuanku tiada lain hanya mengakhiri keletihan
ini”
“Justru saat
itulah yang menjadi bagian yang sangat essensi tentang keletihanmu itu”.
“Aku mau
diberi apa lagi ?”
“Nanti kamu
bisa mendapatkan seteguk air penghaopus dahaga”
“Dari mana
asalnya air itu ?”
“Dari yang
Mencipta”
“Mengapa
tidak selarang saja diberikan”
‘Karena
tenggorokanmu masih menolak mendapatkan air itu !”
“Ah..biarkan..aku
hanya memejamkan mata hanya sejenak..saat aku terbangun, tentunya akan menjadi
bagian dari perjalananku sendiri.Biar saja aku berselimut apa yang aku
sukai.Biar saja lampu-lampu taman tempatku berjalan berhias guratan penuh
maghfiroh..biarkan saja “
“Tetapi bukan
dengan cara memalingkan wajahmu”
“Wajahku biar
saja miliku”
“Namun nanti
akan menghadap sisi paling cerah, saat kamu mengakhiri babak sandiwaramu”
“Akupun sudah
tahu sisi yang paling cerah itu, tidak usah kau banyak celoteh. Ikuti saja
perjalanan ini”
Tiada pernah
sepi kanvas wajah samudra yang membujur dari ujung satu sama lainya, dari rona
manusia seperti itu. Hingga tiada beda warna malam beruntai asmaNYA dengan
malam lainnya.Mereka telah membuat sinar putih menjadi meradang dan meregang
karena dada mereka yang membusung, mereka telah pula menjadi kekasih hati
dengan lantunan cinta jubah-jubah hitam pekat yang bergelantungan di bibir
neraka.
Namun apa
arti mereka semua, lebih baik manusia yang sedang menunggu panggilan untuk ,menjenguk
wajah kelanggengan, untuk tetap membasahi lidah dengan Takbir, Tahlil dan
Tahmid,untuk menuju gerbang fitri yang sudah berdandan ayu. Bumipun masih setia
memutarkan Kodrat dan IradatNYA, tiada pernah terpaku sejengkalpun pada
perjalanan mengantarkan Sunatullah.
Biarkanlah
manusia manusia itu terperangkap dalam angin segar beraroma kefitrian.
Merekapun kini berhias dengan pintu sorga bergurat kayu cendana bertulisan
pintu untuk ahli puasa. Semoga aku salah satu manusia yang terjebak dalam Lazuardi
AsmaMU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar