Dari
hamparan Laut Utara hingga Selatan, bersemilir angin
penyejuk
sepasang mata kita,
petir
dan halilintarpun memasang bantal peraduanya,
mentaripun
menjaga tidur pulas mereka,
diapun
terus saja mengipaskan kuning rambutnya
agar
menusuk sanubari kita masing masing
tentang
“Negeri Tautan Keramahan Alam”
Negri
ini,
telah
menopang kita dengan bahunya yang lebar
senyum
gadis desa, mandi di sungai bening
mengalir
sepajang lembah hijau.
Tak
ada teriakan panjang memantul
Dari
dinding-dindang kedurjanaan.
Aku
berusaha mengintipnya dari sela sela
pagar
tanaman tanaman beluntas, beribu
membiusku
tatkala
semua anak cucu terbawa angin
katulistiwa
telah
terdampar pada lembah “senyum menawan”
kita
bersemayam, dalam nafas yang lentur
Sang
punggawa kraton Majapahit beramai-
ramai,
Menawan
hati “Sang Mahapatih Gajah Mada”
menarikan
gemulai hasrat, lembut tari kemanusiaan
Mengusung
sebuah kabar, datang dari mega Mahameru”
Untuk
menyunting “Negeri Katulistiwa”
Borneo
bermandi wangi bunga, pada jambangan bunga
Telaga
Bukit Barisan, Burung Cendrawasih menatapkan
sorot
mata sejuik, mampu melipat halimun pagi
Titian
pelangi senja, telah mengokohkan sebelah kakinya
di
Gunung Jaya Wijaya….
Namun
duka merayap di tiap tulang iganya
Ketiga
pelangi merambah “Negeri Reformasi”
“warna
merah bara menyalak memenuhi tiap pagi,
biru
menyendukan kemanusiaan yang tertsedu.
Warna
putih berselingkuh dengan awan gela,
2
Di
tepi wara jingga, yang memudar
tentang
“cinta kasih” antara ilalang Negeri Reformasi
sang
dara penjaga awan
telah
basah pipinya tertusuk asap hitam
yang
membumbung dari gedung-gedung menteri
yang
terbakar angin prahara
semua
berteriak nyaring dalam deru
di
atas jalan aspal yang mengelupas
kala
anak kota tawur melemparlan semua kebohongan
yang
mengalir bersama air sungai yang hitam
dan
bermuara pada perut buncit punggawa kraton
aku
berlari mencari pagar yang kokoh
tak
ada lagi muslihat atau pertikaian
tapi
pagar itupun menghardiku kuat kuat
sudah
tak ada lagi pohon tempat nyanyi kenari
meninabobokan
anaknya yang mencicit
terbelit
uang SPP,
aku
menjerit hingga terjagalah dari tidur siang
sang
penjual bakso, mi ayam, abang becak,
tukang
bangunan, kenet mikrolet yang mengakar
pada
permadani hijau Negeri Reformasi
dalam
kereta yang tidk pernah singgah
di
stasiun berhalaman beluntas***
(Tegal, 6 Nopember 2011)
Senyum Malu Bidadari
Senyum
malu dari Anggrek Bulan, tanaman bidadari
Menyeruak
memenuhi halaman Prambanan dan Borobudur
Lantas
Serambi Mekah di Plataran Malaka,
telah
tersapu bersih dari sampah sampah “tak berarti”
saat
lesung pipi bidadari menemani petani desa,
menata
benih padi bersiram air hujan ramah
Menggurati
kanvas kehidupan kita semua
Senyum
kembali menghampar pada kungkungan langit
Kala
birunya telah ditelan hidup- hidup “Bhatara Kala”
Lambing
kebimbangan dan kemusykilan.
Namun
senyum tak berlesung pipit
lantaran
telah usang pantun dan gurindam
serta
sajak sajak tentang nasionalisme
Jangan
kau tertunduk galau dan risau…bidadariku
Kembalilah
dengan senyum malumu…beruntai
tembang
manis negri berpagar hujan
Mari
kita kembali lagi bertanam patriotisme
hingga
anak anak kita kokoh menggenggam
gula
gula manis, mengejar nurung pipit hingga
ke
tengah sawah, bermandikan air bening kali desa***
(Tegal, 6 Nopember 2011)
Fatamorgana
Kemarin
“emak” telah memberiku
Sepotong
dongeng, tentang aku dan bagaimana
aku
memungut nafas, di tengah liukan “jalan tak berujung”
Emak
menerpakan aku sebuah pandang mata
yang
jauh menebariku “semai kemanusiaan”
hingga
ke tengah hati ini.
Anaku;
Jangan
kau iri dan dengki
Jangan
kau menyelipkan hidup
dari
“uang Negara”, yang nantinya
melumatkan
sendi tulangmu
Jangan
kau tertawa di padang ilalang
Padahal
kelopak bunganya telah tegak
menghadap
langit.
Anaku,
bersatulah
dalam ikatan jalan panjang
menuju
bangunan kokoh di balik “dongeng emak”
tanpa
fatamorgana, meski kabut masih melilit
aku
menggeliat *** (Semarang, 6 Nopember
2011)
Ilalang Ilalang Negeri
Bunga ilalang ilalang telah kusam bunganya
Tiada
angin padang yang menjenguknya…
kian
sepi dan meluruh tulang daunya
kala
sepatu laras merebahkan
Ilalang,
menembus pagi berpagar Flamboyan
Tapi
tak pernah menemui harum selaksa kembang
Ilalang
kembali jadi lakon
Dalam
panggung lenong betawi
Hingga
tiada pagar yang mampu menepis***
(Tegal , 6 Nopember 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar