Senin, 28 Mei 2012

Dari Majapahit hingga Reformasi


Setiap pantai berbuih lembut.
Dari hamparan Laut Utara hingga Selatan, bersemilir angin
penyejuk sepasang mata kita,
petir dan halilintarpun memasang bantal peraduanya,
mentaripun menjaga tidur pulas mereka,
diapun terus saja mengipaskan kuning rambutnya
agar menusuk sanubari kita masing masing
tentang “Negeri Tautan Keramahan Alam”

Negri ini,
telah menopang kita dengan bahunya yang lebar
senyum gadis desa,  mandi di sungai bening
mengalir sepajang lembah hijau.
Tak ada teriakan panjang  memantul
Dari dinding-dindang kedurjanaan.

Aku berusaha mengintipnya dari sela sela
pagar  tanaman tanaman beluntas, beribu membiusku
tatkala semua anak cucu  terbawa angin katulistiwa
telah terdampar pada lembah “senyum menawan”
kita bersemayam, dalam nafas yang lentur

Sang punggawa kraton Majapahit  beramai- ramai,
Menawan hati “Sang Mahapatih Gajah Mada”
menarikan gemulai hasrat, lembut tari kemanusiaan
Mengusung sebuah kabar, datang dari mega Mahameru”
Untuk menyunting “Negeri Katulistiwa”
Borneo bermandi wangi bunga, pada jambangan bunga
Telaga Bukit Barisan, Burung Cendrawasih menatapkan
sorot mata sejuik, mampu melipat halimun pagi

Titian pelangi senja, telah mengokohkan sebelah kakinya
di Gunung Jaya Wijaya….
Namun duka merayap di tiap tulang iganya
Ketiga pelangi merambah “Negeri Reformasi”
“warna merah bara menyalak memenuhi tiap pagi,
biru menyendukan kemanusiaan yang tertsedu.
Warna putih berselingkuh dengan awan gela,
2
Di tepi wara jingga, yang memudar
tentang “cinta kasih” antara ilalang Negeri Reformasi
sang dara penjaga awan
telah basah pipinya tertusuk asap hitam
yang membumbung dari gedung-gedung menteri
yang terbakar angin prahara

semua berteriak nyaring dalam deru
di atas jalan aspal yang mengelupas
kala anak kota tawur melemparlan semua kebohongan
yang mengalir bersama air sungai yang hitam
dan bermuara pada perut buncit punggawa kraton

aku berlari mencari pagar yang kokoh
tak ada lagi muslihat atau pertikaian
tapi pagar itupun menghardiku kuat kuat
sudah tak  ada lagi pohon tempat nyanyi kenari
meninabobokan anaknya yang mencicit
terbelit uang SPP,

aku menjerit hingga terjagalah dari tidur siang
sang penjual bakso, mi ayam, abang becak,
tukang bangunan, kenet mikrolet yang mengakar
pada permadani hijau Negeri Reformasi
dalam kereta yang tidk pernah singgah
di stasiun berhalaman beluntas***

(Tegal,  6 Nopember 2011)

Senyum Malu Bidadari
Senyum malu dari Anggrek Bulan, tanaman bidadari
Menyeruak memenuhi halaman  Prambanan dan Borobudur
Lantas Serambi Mekah di Plataran Malaka,
telah tersapu bersih dari sampah sampah “tak berarti”
saat lesung pipi bidadari menemani petani desa,
menata benih padi bersiram air hujan ramah
Menggurati kanvas kehidupan kita semua


Senyum kembali menghampar pada kungkungan langit
Kala birunya telah ditelan hidup- hidup “Bhatara Kala”
Lambing kebimbangan dan kemusykilan.
Namun senyum tak berlesung pipit
lantaran telah usang pantun dan gurindam
serta sajak sajak tentang nasionalisme

Jangan kau tertunduk galau dan risau…bidadariku
Kembalilah dengan senyum malumu…beruntai
tembang manis negri berpagar hujan
Mari kita kembali lagi bertanam patriotisme
hingga anak anak kita kokoh menggenggam
gula gula manis, mengejar nurung pipit hingga
ke tengah sawah, bermandikan air bening kali desa***
(Tegal, 6 Nopember 2011)

Fatamorgana
Kemarin “emak” telah memberiku
Sepotong dongeng, tentang aku dan bagaimana
aku memungut nafas, di tengah liukan “jalan tak berujung”
Emak menerpakan aku sebuah pandang mata
yang jauh menebariku “semai kemanusiaan”
hingga ke tengah hati ini.

Anaku;
Jangan kau iri dan dengki
Jangan kau menyelipkan hidup
dari “uang Negara”, yang nantinya
melumatkan sendi tulangmu
Jangan kau tertawa di padang ilalang
Padahal kelopak bunganya telah tegak
menghadap langit.

Anaku,
bersatulah dalam ikatan jalan panjang
menuju bangunan kokoh di balik “dongeng emak”
tanpa fatamorgana, meski kabut masih melilit
aku menggeliat *** (Semarang, 6 Nopember 2011)

Ilalang Ilalang Negeri

 Bunga ilalang ilalang telah kusam bunganya
Tiada angin padang yang menjenguknya…
kian sepi dan meluruh tulang daunya
kala sepatu laras merebahkan

Ilalang, menembus pagi berpagar Flamboyan
Tapi tak pernah menemui harum selaksa kembang
Ilalang kembali jadi lakon
Dalam panggung lenong betawi
Hingga tiada pagar yang mampu menepis***
(Tegal , 6 Nopember 2011)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar