Pada tiap
penjuru “Negeri dengan dandanan sulaman beludru biru”. Menapaki “Tanah
tanah legam Papua”.....
dan sebentar
membasuh wajahya, di “ Pemandian Arafuru”
Kita
mengulum senyum, dengan bola mata
menyisir
setiap “ Lekuk tubuh Borneo dan Minahasa”.
Dalam
telanjangnya nafas ,
dan sejauh
kita mampu meluruskan pandang mata,
Sejauh itu
pula, bersolek bukit, lembah dan pematang sawah,
dengan bedak
dari halimun
dari celah
bukit dan puncak puncak gunung.
Bibir gincu
perawan desa, adalah apa yang harus kita
saksikan.
Dari eksotis tiap ramahnya padang dan sawah.
Apakah masih
ada, sebuah keluh dari sepotong peluh
Hingga
merontanya tangan kita, yang telah kosong
dari
guratan-giratan
petuah nenek moyang kita
ataukah kita
hanya ingin menjadi “tiupan prahara”
yang merontangkan
tiap bunga bunga persembahan
sang
pengantin baru.
Lantas sepi,
hanya asap kedurjanaan.
Kita
bentangkan tudung saji berkain biru,
Melengkung
dari dua samudra lepas
Mengait pada
“Laut Kidul” dan “Laut China Selatan”
Agar “Sang
Atmosfer” di atas sana
Tidak
menyeruakan lagi tentang kabar sumbang
Tentang
ngarai yang hijau
di pinggir
permadani kuning padi padi yang masak.
“Puncak
Mahameru”, tak kan mungkin goyah
Untuk sebuah
tambatan, dari hati yang menerjangkan
Bara api.
Kita jaga
bersama
Agar sawah dan
ngarai
Terus hadir
dalam mimpi kita (Tegal, 21 Nopember
2011)
Gadis Desa
Si gadis
desa mengecup pagi ini,
Lantaran
hanya itu yang dia miliki,
Berjajar
beribu bunga menjadi pagar rumahnya
Dan sebuah
basuhan air embun
Nurlela berikan
tiap, mentari di Timur.
Karena
hanyalah hidup damai yang dia
impikan.
Gadis desa
sejenak menyambangi cermin miliknya
Di dinding
bambu rumah panggung
Keriput dan
lipatan wajahnya
Kini lebih kentara
Apa karena
ini gambaran hidupnya ?
Dari apa
yang pernah ia dengar
tentang
dandanan seronok kehidupan ini.
Gadis desa,
Lebih memilih,
merapikan tiap pagi
Yang hadir,
pada tiap sendi tulangnya
Ketimbang
menikam hidup
ini menjadi
“pecahan kaca yang tajam” ….(Tegal, 21 Nopember 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar