Hanya sepotong baju, namun telah penuh mozaik
direnda resah, semua benang tak harus “genit” dalam warna,
terus menantang angin, meski tepinya tak kokoh
berpegang pada petuah langit,
Aku terperanjat,
di sela anyelir
membidik dan menghempaskan
semua putik dan sari
hingga lunglai kelopaknya
Hanya engkau yang ada
Setiap yang dijinjing, menunggu “Sang Pembawa Warna”
untuk menautkan jingga di ketiak pelangi,
sementara praharapun berselingkuh pada
birama yang tak lapang...sepi
aku tetap meniti jalan kodrat
meski samar tak harus mengurungkan niat
angin pagi dari setiap lekuk alam
telah aku gapai.....
dengan seutas senja yang merabun
aku yang
tertatih, tanpa memungut episoda yang hilang
aku yang sendiri dalam diriku.....(Tegal, 17
November 2011).
bertepi
pelangi
bila kuberikan sepotong
dahaga
Engkaupun menuai dengan sebuah telaga,
bila aku sodorkan sekerat singkong rebus
dari usungan hidup
engkaupun tajam merenda warna pelangi
bila kita adalah
belukar, maka janganlah
kita saling mengenyahkan rasa,
engkaupun tulus tersenyum
untuk biji mentimun yang semi
menjaga warna langit
dalam biru yang menelikung peraduan
sebuah hasrat,
adalah pewarna dinding kamar pengantin
berkelambu jingga.... di tepi senja
pelangi inipun milik kita berdua.....
.....(Tegal, 17 November 2011).
dalam
detik
kita yang terbawa kereta
waktu
entah di pemberhentian
mana
kita menukar baju,
hingga daun-daun palma
memberikan sekilas kagum
engkau yang bergaun milik Putri Kaca
tak pernah mengerling mata
pada jalan tanah liat
berbatu durhaka,iri dan dengki
dengan kembang setawan
kau urai semua prosa
dalam “kelam dan benderang”
skulah yang memiliki
detik ini
sementara engkau
memberikan kado
pada detikmu sendiri
kita dalam detik demi
detik.... .....(Tegal, 17 November 2011)
bungalow berdinding bambu
meski hanya kecil, dikelilingi “peluh dan kulit legam”
dari bambu yang tak melapuk,
Namun sebuah prosa nukilan sepotong hidup,
telah bersatu dengan “gaun berenda biru”
milikmu
tiada satupun debu dan deru
mampu mengemas dalam angin pasat
yang memisahkan kita pada dua cakrawala…
bungalow kitapun masih menghitung waktu
untuk menyambut datangnya tahun baru
kala perdu dan belukar, ikut terbang
mengikuti kemana arah “kembang api jaman”
namun tak akan memasang gendang telinga
pada terompet yang melengking
menggulung “negri santun”.
kita hadapkan pada yang
menggiring dan meniup angin,
biarlah bungalow kita nampak senyap
asalkan lidah kita telah basah, memasang benang
ke langit biru…......(Tegal,
18 November 2011).
sayur
asam
kita hanya mampu
menopang diri kita,
dalam pilu, resah dan was-was
tentang berputarnya bumi,
ke arah tak tentu, hingga tertinggalah
bilik “rumah gadang”
dalam perjalanan
memburu waktu
Kita hanya menyandarkan pada rasa,
Sayur asam dari bumbu kebon kita
Apalagi “Hotdog” dan “Hamberger”
Hanya ada di meja noni dan menir,
telah menggeliat, menelan mentah mentah
kita yang tak
punya harap
Namun dalam rasa sayur asam
Kita berbagi kemarau dan hujan
Meski hanya di atas meja bambu
Inilah bumi………
Tempat ilalang bermandi kasih ….( Tegal, 18 November 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar