Kamis, 31 Mei 2012

taman bunga berajut benang emas


Dalam jambangan berlapis emas,
Semua bunga  tergelar di petak taman bunga berlantai “perlente”
Bunga Tulip, melonggarkan “stelan ketatnya” agar tak tertikam
basahnya embun tropis,  Bunga Sakura menyeringai girang
karena telah mendinginya cincin api,
sementara Bunga Levender menutup kencang kelopaknya
agar tidak tertusuk nyamuk nyamuk bugil penghias jaman

“Bunga Ilalang” hanya mengkituti Angin Tenggara,
Dari titik kulminasi atmosfer, sang bunga yang ringan tanpa daya
Menundukan wajahnya agar lebih kentara menyaksikan
perhelatan di tengah taman bunga….seribu warna.
Sang bunga ilalang berniat menggemakan gamelan jawa
Agar perhelatan bertambah serempak dan “berornament pluralisme”
Namun panas mentari menyengatnya dan menghardik sehingga
sang bunga ilalangpun meluruh dalam nafas sesak dan dada terguncang

Dalam lakon yang memainkan beribu pucuk bunga-bunga keramat
Mahamerupun  tiada pernah memberikan sepotong angin,
Agar Ilalang, Kamboja dan Sedap Malam mampu berias
layaknya penari “Tari Bali”,  yang tiada penah kehabisan nafas.
Namun tepian langitpun menepisnya
Mengapa mereka memenuhi taman bunga, disaat “Sang Anak Krakatau”
telah kesepian dan menutup jendela langit dengan tirai
hitam kelam……
Disaat sawah-sawah negeri bertumbuh perdu bergerigi
Dan kali yang melintanginya telah berwarna hitam airnya.

Jangan ada lagi langkah galau, ilalangku !
Nantikan tergelarnya tirai sepanjang pantai mutumanikam
Yang berkain beludru lembut berwarna biru muda
Tempat yang ramah agar kau mampu merebahkan punggungmu
yang sakit di lemparkan oleh aspal-aspal jalan yang berlobang.
Biarlah Sang Dewa bersemayam di “Indrakila”
Biarkan sang empu taman bunga berlapis emas, menengadah wajah
Dan terus tertawa, karena angin senja telah menawanya dalam kubangan
Jaman, yang berangin semilir dan sejuk.

Kita hanya mampu memincingkan mata
Agar lengan lengan kita terus bertambah tangguh
Untuk menghimpun, tarian jaman yang tercecer.
Kita bersatu dalam tautan akar meski lemah, tapi
Akan mampu menahan Angin Tenggara dalam keranjang bambu
Milik kita sendiri,…..
(Semarang, 28 Nopember 2011).

Anggrek Bulan  di Pantai Biru

Kini jalan panjang di depan, adalah milikmu, Sang Angger Bulan
Jangan kau lupakan jalan yang menauti “Jembatan Ampera”
Di sana telah tertinggal batu hitam untuk menoreh sejarah
Basuhlah dengan embun dini hari
Agar mampu menyungging senyum cerah

Bukankah sebuah buku harian yang harus kau tutup rapat
Dengan bingkai keagungan “Samudra Pasai” hingga “Majapahit”
Namun kini tertutup mendung tebal….
Karena debu debu jalan, yang merebak memenuhi angkasa
Dan tergerus meradangnya nafas binal
Dari penghuni yang nanar matanya

Entah kapan kawanan burung yang lunglai sayapnya
Mengabarkan adanya pantai biru
Yang dihiasai nyiur melambai dan bakau yang tersenyum pilu
Untuk sebuah rumah bambu,
Agar semua bunga bisa mencengkeramkan akarnya  
(Semarang, 28 Nopember 2011).

Senyum

Mengapa kanvas lukisan hanya menampakan gurat warna
Yang hambar, pucat dan mengurungkan sebuah eksotis
Apakah gambaran alam telah menepikan sinar mentari
Ataukah memang jalan panjang telah terkubur,
dalam …ganasnya alam yang berpaling muka.
Karena bernyali ciut pada pekikan dan hardikan
Angin-angin gila dan putting beliung menyeret
Padi padi yang berjejer rapi di sawah,

Hanya seutas senyum cukuplah
Penawar dahaga untuk bidadari penghuni “Swargaloka”
(Semarang, 28 Nopember 2011).

Kini Tinggal Bunga Bunga Semi

Semerbak wewangi bunga di taman telah
terbawa nafsu angin kembara,
Dalam saku saku baju, mereka mengerti hidup
di batas itulah. Sorot matahari yang melegam
telah dijadikan musuh.
Jagalah diantara batas itu,
Untuk bunga yang muda perkasa
Agar mereka tidak saling beradu berseteru benci
(Semarang, 28 Nopember 2011).





Tidak ada komentar:

Posting Komentar